Wednesday, August 26, 2009

LIPI Mendata Kekayaan Intelektual atas Tanaman

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendata kekayaan intelektual atas pengembangan dan riset berbagai jenis tanaman yang ada di kebun raya. Bunga picis kecil atau Hoya lacunosa menjadi contoh tanaman bunga hias yang diprioritaskan mendapatkan perlindungan varietas tanaman dari negara layaknya paten.

”Perolehan hak atas kekayaan intelektual pada jenis tanaman tertentu berarti menghargai perisetnya. Selain itu, juga memberi kontribusi perlindungan ekonomi bagi negara ketika tanaman tersebut dibudidayakan dan menjadi komoditas perdagangan internasional,” kata Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Subiyanto, Selasa (25/8).

Bambang ketika dihubungi sedang berada di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, untuk memberikan sosialisasi mengenai pentingnya pendataan jenis tanaman yang berpotensi ekonomi. Sosialisasi juga akan dilanjutkan di kebun raya lainnya, seperti Kebun Raya Bedugul, Bali.

Beberapa kebun raya yang dikelola LIPI saat ini meliputi Kebun Raya Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bedugul.

Berdasarkan riset Sri Rahayu dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor di bawah LIPI, jenis tanaman hias hoya itu berbunga sepanjang tahun, kecuali pada Mei-Juni. Pembentukan bunga secara majemuk dan bertandan ini berlangsung cukup lama 4-5 minggu.

Satu tandan menghasilkan belasan bunga yang tumbuh secara berurutan. Saat satu kuncup bunga mekar dapat bertahan selama tiga sampai empat hari kemudian layu. Selama mekar bunga mengeluarkan nektar berwarna kuning dan menimbulkan aroma harum.

”Jenis bunga ini berpotensi untuk dibudidayakan. Hak atas kekayaan intelektual yang diupayakan sekarang menjadi perlindungan dari negara ketika bunga ini menjadi komoditas ekspor,” kata Bambang. (NAW)

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:53 WIB
Jakarta, Kompas - http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/26/03531467/lipi.menda

Kewajiban Sertifikasi Halal Meresahkan



Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal meresahkan dunia usaha. Dalam RUU itu, sertifikasi halal yang semula bersifat sukarela diubah menjadi wajib.

Keresahan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Hariyadi Sukamdani dan sejumlah asosiasi di Jakarta, Selasa (25/8).

RUU Jaminan Produk Halal kini dibahas di DPR. RUU ini akan berdampak langsung pada produsen makanan, minuman, farmasi, produk kosmetik, dan rekayasa genetika.

Menurut Hariyadi, muncul semangat dari sejumlah fraksi di DPR untuk mewajibkan sertifikasi halal. Kewajiban sertifikasi akan berdampak pada biaya komponen produksi. Apalagi bila label halal yang sudah tercantum dalam kemasan produk sebuah industri diragukan oleh tim sertifikasi, baik dari aspek peralatan, proses produksi, asal bahan baku, maupun kompetensi sumber daya manusia. Jika itu terjadi, industri harus menyiapkan dana untuk tim sertifikasi guna mengecek aspek tersebut.

”Biaya sertifikasi memang Rp 1 juta-Rp 2 juta, tetapi proses pengecekan oleh tim sertifikasi butuh tiket dan biaya akomodasi. Bayangkan, industri farmasi yang bahan bakunya didatangkan dari luar negeri,” kata Hariyadi.

Oleh karena itu, Kadin meminta agar RUU tersebut dikaji lebih dalam dengan berbagai pihak yang kompeten agar tidak berbenturan dengan UU kesehatan dan pangan.
Pemerintah juga harus menyosialisasikan RUU itu ke kalangan pengusaha makanan dan minuman, terutama yang skala kecil dan menengah, karena konsekuensi hukumnya berat.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani berpendapat, kewajiban sertifikasi halal itu tidak akan efektif dalam pelaksanaannya. ”Sebab, negara hanya bikin peraturan yang sesungguhnya tidak bisa diimplementasikan,” katanya.

Bila RUU itu disahkan menjadi UU, lanjut Franky, dunia usaha akan hancur karena seakan dipaksa berinvestasi baru untuk mesin yang sesuai dengan aturan sertifikasi halal.

”Dari bahan baku, misalnya, industri makanan dan minuman butuh sedikitnya 15 jenis kandungan bahan makanan. Kalau semua kandungan diwajibkan bersertifikasi halal, industri harus menarik semua produknya di pasaran supaya tidak dinilai melanggar hukum,” ungkap Franky.

Pendapat senada disampaikan Chrisma Albandjar, pengusaha farmasi. Dia menjelaskan, untuk satu jenis obat, misalnya, dibutuhkan sekitar 13.000 kandungan bahan. ”Proses sertifikasi butuh waktu panjang. Industri farmasi bisa hancur,” katanya. (OSA)

Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:24 WIB

Tuesday, August 25, 2009

Stop Impor Bahan Pangan: Perlu Kebijakan Berani

Komoditas Beras Bisa Menjadi Pelajaran Berharga
 
Perlu ada kebijakan berani dari pemerintah untuk menghentikan impor bahan pangan secara bertahap. Tanpa itu, selamanya Indonesia berkubang dengan impor pangan. Dalam kasus ini, komoditas beras bisa dijadikan pelajaran berharga.

”Kalau tidak ada keberanian dari pemerintah, apalagi kalau hanya saling menyalahkan antarmenteri maupun departemen, dalam lima tahun ke depan tidak akan tercapai keinginan untuk swasembada pangan,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, Senin (24/8) di Jakarta.

Indonesia kini tergantung cukup dalam pada impor pangan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa dikeluarkan untuk mengimpor pangan. Indonesia, yang punya panjang pesisir 95.181 kilometer dengan luas perairan 5,7 juta kilometer persegi dari luas total sekitar 8 juta kilometer persegi, bahkan harus mengimpor 1,58 juta ton garam per tahun senilai Rp 900 miliar. Indonesia juga mengimpor ikan kembung.

Keberanian itu, kata Hidayat, bisa dalam bentuk penghentian kebijakan impor bahan pangan secara bertahap. ”Atau dengan memberikan disinsentif terhadap importir. Kalau itu dilakukan, tahun-tahun mendatang, saya yakin satu demi satu swasembada akan tercapai,” katanya.

”Saya ingat ketika bangsa kita ada masalah dengan impor beras. Kemudian kita bertekad impor distop dan Bulog diberi kewenangan penuh (membeli beras dalam negeri). Ada upaya bersama antardepartemen dan akhirnya berhasil swasembada dan ekspor,” katanya.

Hidayat juga mengungkapkan rasanya malu sebagai negara maritim Indonesia harus mengimpor garam dan ikan. Padahal, laut terbentang luas dan kalau mau, kita mampu melakukannya.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kondisi pangan dalam negeri tidak separah yang diberitakan.

Menurut Sri Mulyani, hal itu karena pemerintah sudah memiliki sejumlah program prioritas yang dilakukan untuk mengamankan pasokan dan memperkuat industrinya, yakni untuk komoditas daging sapi dan kedelai.
”Pemerintah sudah memiliki program mendorong produksi daging sapi dan kedelai menjadi prioritas di Departemen Pertanian. Lalu pemberian subsidi bunga kepada peternak sapi dan petani kedelai. Itu adalah kebijakan pemihakan.

Memang pada saat harga di luar tinggi, petani akan bersemangat bertahan di komoditas ini. Namun, pada saat harga turun, para petani juga memiliki persepsi risiko terhadap harga itu,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Kompas, program peningkatan populasi sapi dilakukan dengan memberikan bantuan subsidi bunga kredit. Anggaran yang diberikan Rp 145 miliar. Adapun impor daging dan jeroan sapi per tahun mencapai Rp 4,8 triliun.

Begitu pula target peningkatan produksi kedelai Departemen Pertanian pada tahun 2008 dan 2009 tidak pernah tercapai. Nilai impor kedelai per tahun mencapai 595 juta dollar AS atau setara Rp 5,95 triliun.
Guru besar ekonomi pertanian Universitas Negeri Lampung, Bustanul Arifin, mengungkapkan, Indonesia tidak tepat mendesain kebijakan politik pertanian selama ini.

Sejak gerakan revolusi hijau dimulai, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, tahun 1970-1980, mengadopsi desain kebijakan politik pertanian negara maju dengan alih teknologi yang melupakan kearifan lokal.

Di satu sisi Indonesia berhasil meningkatkan produksi beras secara tajam, tetapi rupanya adopsi teknologi tak pernah sampai di level paripurna. Saat negara maju sampai di level aman karena kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari dalam negeri, Indonesia tak sanggup mewujudkannya. Strategi mekanisasi produksi pangan tidak sesuai dengan kearifan lokal bangsa yang mengutamakan sistem kekerabatan. Akibatnya, Indonesia terus tertinggal.

”Cara mereka (negara maju) agak sulit dipaksakan di sini sehingga kita sulit menyamai negara-negara yang sudah aman dalam pangan. Karena itu, kita tak bisa melepaskan masalah-masalah yang dirancang dari kacamata mereka,” ujar Bustanul.

Impor ikan kembung

Selain mengimpor garam, Indonesia dengan luas laut 5,7 juta kilometer persegi juga masih mengimpor ikan kembung. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Jumat, mengakui, industri perikanan di Indonesia mengimpor beberapa komoditas yang sebenarnya bisa diproduksi oleh pelaku usaha di dalam negeri, di antaranya ikan kembung. Padahal, Indonesia juga mencatat sebagai pengekspor komoditas serupa.
”Pasti ada kebutuhan-kebutuhan terhadap produksi. Memang kita harus share (impor) juga, tetapi seberapa jauh impor harus kita pertanyakan juga,” ujar Freddy.

Besaran impor, ujar Freddy, harus dipantau untuk tetap menjaga pasar dalam negeri. Karena itu, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan instansi, di antaranya Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan.

”Pembatasan impor produksi perikanan perlu memikirkan dampak terhadap industri dan tenaga kerjanya. Karena itu, diperlukan solusi yang paling tepat,” ujar Freddy.

Impor produk perikanan menunjukkan tren meningkat. Tahun 2008, volume impor produk perikanan 280.179,34 ton dengan nilai 268 juta dollar AS. Nilai impor itu naik 68 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 160 juta dollar AS dengan volume impor 120.000 ton.

Kenaikan impor perikanan antara lain dari produk ikan segar dan beku yang naik 150 persen dibandingkan dengan tahun 2007.

Tahun 2008, produk ikan kembung yang diimpor dari Pakistan yang beredar di pasaran domestik terbukti mengandung formalin.

Menurut Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, pemerintah hingga kini belum menerbitkan aturan tentang impor produk perikanan sebagai katup pengendali impor.(MAS/OIN/LKT)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 03:10 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/0310416/perlu.kebijakan.berani

Investasi Butuh Rp 1.631 Triliun

Ada Tujuh Sumber Pertumbuhan Ekonomi
 
Untuk mendorong pertumbuhan investasi 6,3 persen pada tahun 2010, dibutuhkan dana Rp 1.631 triliun. Sumber dananya diharapkan dari swasta, baik domestik maupun luar negeri, yakni Rp 450 triliun atau 27,59 persen dari total kebutuhan.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal itu di Jakarta, Senin (24/8), dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR.

Pemerintah mencatat, ada tujuh sumber pertumbuhan investasi 2010. Pertama, anggaran belanja modal pemerintah senilai Rp 198 triliun. Kedua, anggaran belanja modal badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp 182 triliun. Ketiga, kucuran kredit dari perbankan nasional Rp 297 triliun.

Keempat, laba ditahan dari perusahaan yang diharapkan mencapai Rp 153 triliun. Kelima, pasar modal Rp 188 triliun. Keenam, penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri Rp 450 triliun. Ketujuh, sumber investasi lainnya, antara lain dari investasi rumah tangga Rp 162 triliun.

Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan investasi tahun 2010 akan sangat bergantung pada tiga kondisi. Pertama, niat perbankan untuk mengucurkan kredit. Kedua, dukungan pasar modal. Ketiga, pertumbuhan impor.
Saat ini perbankan sudah menunjukkan kecenderungan untuk menurunkan suku bunga kredit sehingga diharapkan akan menumbuhkan minat investasi.

Akan tetapi, impor (bahan baku dan barang modal untuk kegiatan produksi) belum bisa diandalkan karena kondisi perekonomian global yang diperkirakan belum pulih.

”Namun, dengan pemulihan pasar modal dan kredit perbankan, saya memperkirakan peluang investasi tumbuh di kisaran 6-8 persen bisa terjadi. Jika itu tercapai, pertumbuhan ekonomi bisa terdorong ke 5,5 persen,” ujar Sri Mulyani.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut bertolak belakang dengan pernyataannya pekan lalu yang menyebutkan bahwa tahun 2010 pemerintah tidak menetapkan target pertumbuhan lebih tinggi dari 5 persen karena ketidakpastian perekonomian masih tinggi. (Kompas, 24/8).


Infrastruktur buruk

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Natsyir Mansur, mengingatkan, kondisi infrastruktur yang buruk bisa jadi faktor perlemahan investasi.

Pemerintah juga perlu mewaspadai sikap perbankan yang begitu lama menurunkan suku bunga kredit meskipun sudah didorong oleh penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga 250 basis poin sejak awal 2009.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution berjanji, kesepakatan antara BI dan 14 bank besar nasional akan segera terwujud dalam bentuk turunnya suku bunga kredit.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara memperkirakan pertumbuhan kredit 2010 akan mencapai 20 persen seiring dengan penurunan suku bunga kredit. (OIN/FAJ)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:23 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/04231175/investasi.butuh.rp.1.631.triliun

2010, Tercipta 1,875 Juta Lapangan Kerja Baru

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 5 persen pada tahun 2010 diperkirakan dapat menciptakan 1,875 juta lapangan kerja baru. Dengan catatan, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan 375.000 lapangan kerja baru.

Demikian disampaikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta di Jakarta, Senin (24/8).

Dia menjelaskan, lapangan kerja baru itu cukup untuk menampung angkatan kerja baru yang pada 2010 diperkirakan mencapai 1,8 juta orang. Namun, belum dapat ditampung sisa penganggur yang sudah ada. Oleh karena itu, penganggur masih akan mencapai 9,1 juta orang.

”Itu setara dengan tingkat pengangguran 8 persen terhadap angkatan kerja. Lebih rendah dibandingkan dengan 2009, yakni lebih dari 8 persen,” ujar Paskah.

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, mempermasalahkan angka penyerapan tenaga kerja dari setiap persen pertumbuhan ekonomi yang diungkapkan pemerintah. Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 700.000 lapangan kerja baru.

”Pemerintah perlu menjelaskan, apakah lapangan kerja yang tercipta itu cukup berkualitas. Jangan sampai angka penyerapan itu termasuk lapangan kerja sektor informal,” kata Dradjad.

Kepala BPS Rusman Heriawan menjelaskan, dalam jangka panjang, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan 400.000 lapangan kerja baru. Namun, setiap tahun selalu ada tantangan yang muncul dari sisi pasokan dunia kerja dan lapangan kerja, terutama di sektor pendidikan.

Pendidikan, kata Rusman, bisa berdampak pada peningkatan angkatan kerja jika akses ke pendidikan sangat sulit. Namun, jika dunia pendidikan memberikan peluang lebih banyak, angkatan kerja bisa ditekan.

”Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen, lapangan kerja baru yang tercipta mencapai 2 juta. Padahal, angkatan kerjanya selalu ada pada kisaran 2 juta-2,4 juta per tahun,” tutur Rusman.

Dengan demikian, lanjutnya, itu berarti, jika kebijakan yang dilakukan biasa saja, tidak ada tambahan program yang projob (berorientasi menyerap tenaga kerja), tingkat pengangguran 2010 tidak akan berkurang signifikan. ”Karena angkatan kerja barunya bertambah lebih besar,” ujar Rusman. (OIN)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:20 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/04201837/2010.tercipta.1875.juta.lapangan.kerja.baru

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...