Thursday, December 3, 2009

Industri Kelapa Sawit: Prinsip Kelestarian Alam Tetap Utama

Pemerintah bersedia melakukan apa pun untuk mendukung pengembangan kelapa sawit nasional, tetapi tetap mengedepankan prinsip kelestarian alam. Berbagai insentif dan regulasi akan diberikan untuk mempercepat pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit mentah.

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Pertanian Suswono seusai membuka Konferensi Minyak Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference/IPOC) 2009 di Nusa Dua, Bali, Rabu (2/12).

Hadir dalam acara itu, antara lain, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Mangga Barani, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joefly J Bahroeny, dan Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Daud Dharsono.

Isu lingkungan relatif dominan terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal ini karena sebagian besar lahan yang digunakan adalah areal hutan. Menko Perekonomian menegaskan, Indonesia mengadopsi prinsip kelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam.

”Saya yakinkan Anda, kami punya hukum dan regulasi untuk menyeimbangkan aspek ekonomi dan sosial dengan isu lingkungan dalam mengembangkan industri (CPO) ini,” kata Hatta dalam konferensi yang dihadiri 165 peserta dari 13 negara.

Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia dengan volume 19,2 juta ton tahun 2009. Tahun 2008 ekspor CPO Indonesia 16 juta ton senilai 12,4 miliar dollar AS. Indonesia memasok 47 persen kebutuhan CPO dunia. Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen pasar CPO dunia.

Sekitar 2,7 hektar dari 7,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia adalah perkebunan rakyat.

Mentan menjelaskan, pemerintah telah menerbitkan izin prinsip 9,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit, 1,8 juta hektar di antaranya belum ditanami.

Indonesia, kata Mentan, memiliki potensi lahan kelapa sawit sesuai keadaan iklim seluas 18 juta hektar. ”Tetapi, pemanfaatannya harus disesuaikan dengan tata ruang. Tidak mungkin mengabaikan lingkungan,” ujarnya.

Pemerintah, kata Bayu, menyiapkan lima kawasan industri terpadu untuk CPO, yaitu di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Papua, untuk mengakselerasi pertumbuhan agroindustri. Sekitar 3 juta tenaga kerja terserap langsung di bisnis kelapa sawit.

Joefly menegaskan, harga CPO yang relatif murah dibanding minyak nabati lain menjadi peluang bagi Indonesia melakukan ekspansi pasar. (Ham)

GreenFest 2009: Pemanasan Global Jadi Isu Sentral Green Festival 2009

Pemanasan global kembali menjadi isu sentral dalam Green Festival 2009, 5 dan 6 Desember 2009 di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Kali ini pengunjung akan diajak melakukan langkah nyata demi mengurangi dampak pemanasan global.

Green Festival yang diselenggarakan untuk kedua kalinya ini didukung tujuh perusahaan, yakni Pertamina, PT Unilever Indonesia Tbk, Panasonic, Sinar Mas, MetroTV, Radio FeMale, dan Kompas. Green Festival 2009 mengusung tema ”Apa yang sudah kamu lakukan…?”

”Kalau Green Festival tahun lalu lebih fokus kepada pengenalan tentang pemanasan global dan edukasi, tahun ini kami mengajak masyarakat melakukan sesuatu dalam mengurangi dampak pemanasan global,” ujar Ketua Pelaksana Program Green Festival, yang juga General Manager Public Relations Kompas Gramedia, Nugroho F Yudho, dalam jumpa pers, Rabu (2/12) di Jakarta.

Ada empat area utama di Green Festival, yaitu Experience Tunnel, Zona, Workshop, dan Entertainment.

Di area pertama pengunjung diajak mengalami langsung konstruksi es di kutub yang mencair akibat pemanasan global. Pengalaman lain di area ini adalah berdiri di atas tanah kering dan pecah-pecah, udara yang panas, tumbuhan kering, serta hutan yang gundul. Di akhir area ada paparan tentang aneka hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi pemanasan global.

Di area Zona, ada lima tema yang diusung, yakni listrik, sampah, kendaraan, air, dan pohon. Aneka penjelasan tentang yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Bumi dari dampak pemanasan global akan dipaparkan di setiap area sesuai tema.

Di area Workshop ada penjelasan tentang upaya pencegahan dampak pemanasan global dengan narasumber dari Green Initiative Forum dan The Climate Project Indonesia.

Pada area Entertainment disajikan aktivitas anak-anak. Area ini didukung oleh majalah Bobo, NGkids, kidnesia.com, Jalan Sesama, dan lainnya. Benny dan Mice meramaikan dengan aneka karikatur tentang kebiasaan buruk manusia.

Panitia menyediakan 10.000 keping CD berisi aneka informasi yang ada di sana. Jika tidak kebagian CD, informasinya dapat diunduh dengan flash disk pengunjung. Kegiatan ini terbuka dan gratis untuk umum. (ART)

30 Bank Di Dunia Masuk Daftar Pengawasan

Badan Stabilitas Keuangan yang dibentuk menteri-menteri keuangan dalam G-20 telah membuat daftar berisi 30 lembaga keuangan dan bank bertaraf internasional yang perlu mendapatkan perhatian khusus.

Hal ini dilakukan untuk mencegah kegagalan keuangan global akibat kekacauan yang berpotensi dilakukan oleh bank dan lembaga keuangan itu.

”FSB (Financial Stability Board/Badan Stabilitas Keuangan) telah memasukkan 30 bank dan lembaga keuangan sebagai sumber krisis sistemik karena wilayah kerjanya yang mendunia sehingga tergolong dalam perusahaan yang too big too fail (terlalu besar untuk gagal). Perilaku pemegang saham dan kebijakan manajemennya masuk dalam pengawasan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (2/12).

Pada laporan Financial Times ada 24 bank dan 6 lembaga asuransi multinasional yang masuk dalam daftar FSB. Mereka tersebar di Inggris, Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Ke-24 bank itu adalah Bank of America Merrill Lynch (BAC), Citigroup, Goldman Sachs, JPMorgan Chase, Morgan Stanley, Royal Bank of Canada, Barclays, HSBC, Royal Bank of Scotland, Standard Chartered, Credit Suisse, dan UBS AG. Selain itu juga ada BNP Paribas, Société Générale (Perancis), BBVA (Spanyol), Santander (Spanyol), Mitsubishi UFJ, Mizuho, Nomura, dan Sumitomo Mitsui (Jepang).

Lalu ada Banca Intesa dan UniCredit (Italia), kemudian Deutsche Bank (Jerman), serta ING Group (Belanda). Adapun enam kelompok usaha asuransi adalah Aegon, Allianz, Aviva, Axa, Swiss Re, dan Zurich.

”Dalam pengawasan FSB, bank dan lembaga keuangan itu harus memiliki living will (keinginan untuk hidup). Sebab, kalau ada kesulitan, mereka harus menyelesaikan sendiri masalahnya sebelum meminta bantuan kepada pemerintah masing-masing,” ujar Sri Mulyani.

Secara terpisah, Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan, stabilitas sistem keuangan domestik akan tetap terjaga.

Hal itu ditandai dengan rasio kecukupan modal yang rata-rata ada di level 17,7 persen dan kredit berkinerja rendah yang kurang dari 5 persen. BI juga memberlakukan Giro Wajib Minimum sekunder sebesar 2,5 persen sejak 24 Oktober 2009. (OIN)

Keamanan Nasional dan Keamanan Alam

Kalangan pertahanan di banyak negara mulai memusatkan perhatian pada dampak perubahan iklim atas keamanan nasional.

Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman membahasnya dalam rangka kajian tentang keamanan nasional masing-masing untuk 10-15 tahun mendatang. Mereka mengkaji dampak perubahan iklim di sejumlah wilayah dunia yang potensial mengganggu kepentingan nasional Amerika dan Eropa.

Kemarau panjang Gurun Darfur di Sudan, pencairan gumpalan es di Kutub Utara, dan konflik permukiman Arab-Palestina masing-masing dinilai dapat memacu pertambahan jumlah imigran gelap dari Afrika ke Amerika Utara dan Eropa, mengubah nilai strategis alur laut Kutub Utara, dan mengganggu pasokan minyak-gas dari Timur Tengah.

Militer dan iklim

KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-17 Desember 2009, akan ikut menyinggung perkaitan peran militer dengan perubahan iklim, mengingat departemen pertahanan di mancabenua umumnya adalah pengelola terbanyak atas markas, pangkalan, daerah latihan, dan hutan.

Tentara adalah pengguna energi fosil terbesar untuk kendaraan tempur, kapal perang, dan pesawat terbang. Karena itu, perubahan iklim dan keamanan nasional menyatu sebagai masalah keamanan nasional dan keamanan alam.

Perubahan iklim dan keamanan nasional tidak lepas dari dampak perubahan iklim global dan keamanan internasional. Baik penanganan iklim global maupun keamanan nasional hanya dapat ditangani dalam kerangka lima tataran kebijakan sekaligus: global, regional, nasional, provinsial, dan lokal. Dalam era global, tidak ada kedaulatan mutlak.

Keamanan nasional dan keamanan alam Indonesia, misalnya, tidak bisa lepas dari semburan buangan gas industri berat di Asia timur laut yang banyak menggunakan batu bara. Sebaliknya, hampir tiap tahun kepentingan nasional Malaysia dan Singapura terganggu oleh sebaran asap dari pembakaran liar di sejumlah kabupaten dan provinsi Sumatera.

Sebagai negara anggota G-20, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu sepakat menetapkan kebijakan keamanan nasional dan keamanan alam dengan menyertakan pakar ilmu lingkungan, hukum, politik, ekonomi, energi, sains, dan teknologi.

Tak kalah penting adalah penyertaan pakar antropologi, budaya, dan sejarah. Bagaimanapun, pola pemakaian energi dan bahan bakar mengandung unsur- unsur budaya lokal. Penggunaan bahan bakar fosil dan nonfosil amat berbeda dari lokasi ke lokasi dan dari waktu ke waktu.

Sejumlah pakar strategi militer di Amerika Utara, Eropa, dan Asia belum lama ini mengajukan tiga skenario besar menghadapi perubahan iklim global akibat pemanasan global.

Skenario pertama, sebagai yang ”paling mungkin” adalah apabila suhu rata-rata global naik 1,3 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang diperkirakan terjadi adalah pertentangan di dalam dan antarnegara akibat migrasi besar-besaran. Karena berkurangnya hujan, lahan, hutan, dan air, akan meluaslah berbagai penyakit, seperti paru- paru, tenggorokan, dan pernapasan. Negara dan pemerintahan yang tak sanggup menanggung beban konflik sosial yang terjadi di dalam negeri akan mengalami kekacauan, bahkan disintegrasi, politik, dan ekonomi.

Skenario kedua, yang ”parah” adalah jika kenaikan suhu global mencapai 2,6 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang terjadi adalah kian gencarnya migrasi intranegara dan antarnegara yang bertetangga, perubahan besar-besaran terhadap pola pertanian dan pengairan, serta menjangkitnya pandemik seperti flu A-H1N1 dan flu burung. Sengketa dan kekerasan sekitar sumber daya alam dapat memicu perang suku, perang etnik, dan konflik antarumat beragama. Semua pihak akan mencari dukungan untuk mencari pembenaran menurut ajaran suku, adat, dan Tuhan masing-masing.

Perubahan lahan pantai di negeri Belanda, di sepanjang Sungai Nil antara Mesir dan Sudan, antara India dan Banglades serta di negara pulau seperti Maladewa dan Pasifik Selatan, dapat berubah secara drastis pandangan diri manusia tentang jati diri dan mengenai hubungan diri dengan alam sekitar.

Skenario ketiga, ”malapetaka besar” adalah kenaikan suhu  dunia sebesar 5,6 derajat celsius per tahun menjelang tahun 2100. Malapetaka besar terjadi jika pusat-pusat ekonomi kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan RRC, mengandalkan keamanan energinya dari pemakaian energi fosil dengan gas
buangan yang amat banyak. Apabila sepanjang abad ke-21 keempat kutub ekonomi besar ini tidak mengurangi pemakaian energi fosil, masyarakat dan negara-negara lain akan menempuh teror internasional dengan menggunakan ideologi sekuler maupun agama. Atau menempuh perang asimetris melalui penyelundupan senjata pemusnah massal, migrasi ilegal, perluasan obat bius, atau perang biokimia.

Menyesatkan

”Perubahan iklim global” mengandung makna yang agak menyesatkan. Tidak semua benua, samudra, gunung, dan lahan di dunia menjadi korban yang sama parahnya dari pemanasan global yang disebabkan pola konsumsi energi perekonomian negara-negara besar.

Namun, melalui suatu kerja sama nasional, regional, dan global yang berkesinambungan, pemerintah dan masyarakat ASEAN bisa melakukan pemetaan lokal, provinsial, nasional, regional, dan global melalui kerja sama KTT ASEAN, APEC, Asia Timur, dan medan-medan internasional yang bermitra.

Peran Indonesia

Perguruan tinggi dan lembaga penelitian—negeri dan swasta—di seluruh Tanah Air dapat menyusun kajian berlanjut tentang kedudukan dan peran Indonesia dalam tatanan ekonomi, politik, dan militer Asia Pasifik khususnya dan di dunia pada umumnya.

Pola konsumsi energi dan bahan bakar alternatif ”dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote” hendaknya disusun dan dimutakhirkan secara berkala. Pola energi alternatif di wilayah padat penduduk seperti Jawa dapat tersambung secara efisien dan wajar dengan wilayah jarang penduduk, tetapi kaya sumber alam seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua.

Akhirnya, keamanan nasional Indonesia terpulang pada pengamanan alam di seluruh wilayah Indonesia. Meski bineka dalam ragam pola konsumsi lokal, tetap ika dalam komitmen bersama mengedepankan keamanan alam Indonesia.

Rabu, 2 Desember 2009 | 02:36 WIB

Penulis: Juwono SudarsonoGuru Besar Universitas Indonesia, Jakarta

"Diet Karbon" Melalui Hemat Energi

Green Festival 2009 ingin memopulerkan istilah ”diet karbon” sebagai bagian gaya hidup adaptif dan merupakan langkah mitigasi terhadap dampak pemanasan global. Diet karbon, salah satunya, bisa dilakukan melalui langkah hemat energi.

”Diet karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global,” kata Ketua Panitia Green Festival 2009 Nugroho Ferry Yudho, Selasa (1/12) di Jakarta.

Nugroho mengatakan, Green Festival atau Greenfest menunjang hal-hal aplikatif yang dapat dilakukan setiap orang. Diet karbon melalui hemat energi dapat dilakukan dengan menghemat listrik, yang hingga kini sebagian besar masih diproduksi dengan bahan bakar fosil.

Diet karbon melalui hemat listrik banyak ragamnya. Mengganti komputer personal dengan komputer jinjing yang dapat menyimpan arus listrik, menurut Nugroho, bisa menghemat listrik sampai 80 persen.

Posisi standby televisi, pengatur suhu (AC), komputer, atau alat-alat elektronik lainnya masih menggunakan listrik 5 watt. Akan berbeda halnya jika dimatikan atau dicabut koneksi listriknya. Tindakan menghemat listrik seperti ini menjadi salah satu diet karbon.

Diet karbon tidak hanya dengan cara menghemat penggunaan energi atau listrik. Namun, diet karbon juga dapat diwujudkan dalam hal memproduksi energi atau listrik secara ramah lingkungan.

”Masyarakat agar menerapkan energi alternatif yang ramah lingkungan dan pemerintah perlu didorong menciptakan sistem insentif yang menarik,” kata Nugroho.

Dia mencontohkan, listrik dari sel surya semestinya mendapatkan insentif pemerintah. Dalam hal ini, listrik sel surya yang tidak digunakan seharusnya dapat dibeli PLN dengan sistem meteran yang berputar terbalik atau mundur. ”Meteran mundur itu untuk mengurangi jumlah beban listrik yang dibeli dari PLN,” kata Nugroho.

Listrik dari sel surya secara otomatis dihasilkan pada siang hari. Saat ini listrik sel surya itu biasanya disimpan terlebih dahulu ke dalam baterai.

Pada malam hari listrik dari baterai itu digunakan. Persoalan yang sering dihadapi, panel surya yang memiliki usia pakai sampai 25-30 tahun diimbangi baterai yang hanya dua tahun. Harga baterai pun relatif mahal.

Berbeda halnya jika produksi listrik dengan sel surya itu tanpa baterai atau langsung dipakai untuk keperluan pada siang hari, seperti untuk pendingin ruang atau sistem komputer. Penghematan biaya tanpa baterai cukup signifikan.

Menjadi persoalan manakala produksi listrik dengan sel surya melebihi kapasitas penggunaan, sedangkan baterai tidak disediakan. Menurut Nugroho, semestinya pemerintah menyediakan insentif berupa meteran mundur itu tadi. Artinya, listrik dari sel surya bisa masuk jaringan PLN dan PLN harus membelinya.

Mengenai peran pemerintah dalam menangani masalah energi, menurut peneliti pada Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Herliyani Suharta, sangat memungkinkan. Herliyani menunjukkan, ketika pemerintah menilai penggunaan minyak tanah tidak lagi efisien, nyatanya substitusi dengan gas tabung hijau itu kini berhasil.

”Sekarang masyarakat tidak lagi menggunakan minyak tanah untuk memasak, tetapi memakai gas,” kata Herliyani.

Di antara keragaman berbagai lapisan masyarakat, Herliyani mengingatkan, ada masyarakat tertentu yang tidak bisa mengakses bahan bakar gas tabung kecil itu. Mereka menggunakan biomassa atau kayu-kayuan untuk bahan bakar memasak.

”Kalau biomassa mudah ditemui dan melimpah, tidak menjadi persoalan. Tetapi, bagaimana kalau masyarakat yang menggunakan biomassa itu berada di lingkungan yang gersang dan tumbuhan pun sulit hidup?” kata Herliyani.

Penggunaan biomassa dari tanah gersang menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk mengurangi risiko itu, Herliyani merancang sebuah tungku yang dapat menghemat penggunaan biomassa, tetapi manfaat panas yang diperoleh akan sama.

”Kalau pemerintah dapat merealisasikan tabung gas, semestinya bisa pula membuat tungku yang dirancang mampu menghemat 80 persen biomassa ini,” kata Herliyani.(NAW)

Rabu, 2 Desember 2009 | 02:47 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...