Tuesday, February 2, 2010

Penambangan di Kalimantan Memprihatinkan: Kawasan Konservasi Pun Dikeruk

Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat.

Pantauan Kompas selama sepekan terakhir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menunjukkan, penambangan di kedua provinsi itu semrawut dan tidak terkontrol. Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kaltim dan Hutan Lindung Pegunungan Meratus di Kalsel, yang mestinya dilindungi, pun tak luput dari operasi penambangan batu bara.

Di Tahura, lahan yang digarap penambang justru yang masuk kawasan hutan Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Samarinda, seluas 40 hektar. Pengelola PPHT mengatakan, pihaknya tak berdaya karena izin penambangan dikeluarkan Kementerian Kehutanan, dengan alasan sebelum Menteri Kehutanan menetapkan batas Tahura dengan Surat Keputusan Nomor 577 Tahun 2009, lokasi itu berada di luar kawasan hutan konservasi tersebut.

Yang lebih menyedihkan, lanjut Chandradewana Boer, Direktur PPHT Unmul, lahan Unmul lainnya seluas 51.000 hektar, yang dirancang untuk pembangunan Kompleks Laboratorium Rumah Kaca di Telukdalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, pun tak lepas dari ketamakan penambang. Pelakunya, kontraktor yang dipercaya untuk membangun proyek tersebut dan tak memiliki kuasa pertambangan.

”Kami memercayakan proyek itu kepada dua kontraktor. Ternyata, ketika mereka mengetahui kandungan batu bara di lahan itu cukup banyak dan bagus, mereka menggarap tambangnya lebih dulu,” kata Boer, Sabtu (23/1).

Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Udiansyah, mengungkapkan, kondisi Hutan Lindung Pegunungan Meratus lebih mengkhawatirkan lagi. Di hutan lindung tersebut tak cuma ada banyak pemilik kuasa pertambangan, tetapi juga bertebaran lubang besar yang batu baranya sudah habis dikeruk.

”Di kawasan tersebut terdapat 299 kuasa pertambangan. Artinya, ada 299 pihak yang diberi izin menambang batu bara di Hutan Lindung Pegunungan Meratus. Ironisnya, hanya beberapa kuasa pertambangan saja yang meminta izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” kata Udiansyah.

Izin lainnya, lanjut Udiansyah, dikeluarkan bupati setempat karena yang bersangkutan tidak tahu bahwa lokasi yang diizinkan untuk ditambang itu berada di kawasan hutan lindung.

Menurut catatan Kompas, selama enam tahun terakhir (sampai 2009), di empat provinsi di Kalimantan saat ini ada 2.047 kuasa pertambangan. Kaltim berada di peringkat pertama yang mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa pertambangan, disusul Kalsel (400- 578), Kalimantan Tengah (427), dan Kalimantan Barat (40).

Jika luas wilayah satu kuasa pertambangan sekitar 2.000 hektar, lahan yang sudah dikapling untuk pertambangan itu berarti mencapai 4,09 juta hektar, lebih luas dari daratan Provinsi Kalsel yang 3,75 hektar.

Tentang banyaknya kuasa pertambangan di Kaltim, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, pihaknya tak bisa berbuat banyak mengingat Menteri Kehutanan dan kepala daerah tingkat dua (bupati/wali kota) memiliki kewenangan mengeluarkan kuasa pertambangan.

Pernyataan Awang setidaknya diperkuat oleh fakta penambangan batu bara di Samarinda. Saat ini sekitar 70 persen luas wilayah kota itu (71.823 hektar) habis dikapling sebagai kawasan pertambangan. Sebagian sudah jadi kolam raksasa yang ditinggalkan pengeruknya. Jika hujan turun, air pun memenuhi kolam tersebut, bahkan melimpah dan menggenangi permukiman.

Warga di Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, merupakan salah satu korban pertambangan tak bertanggung jawab itu. ”Kami sudah sangat terganggu dengan penambangan batu bara di sekitar ini. Permukiman kami

hanya sekitar 25 meter dari lubang bekas tambang. Akibat lubang itu, perumahan kami sering diterjang banjir,” kata Karnain, Ketua RT 25, Kelurahan Sempaja Selatan.

Petani Desa Separi dan Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, pun mengaku pertanian mereka terganggu oleh aktivitas pertambangan. ”Kami sering gagal panen karena air limbah tambang (batu bara) masuk ke sawah kami. Karena itu, tidak sedikit petani di sini yang akhirnya menjual sawah mereka ke pemegang kuasa pertambangan. Tapi, harga jualnya lumayan tinggi,” papar beberapa petani Desa Separi yang ditemui Kompas pekan lalu.

Mereka juga mengatakan, tak sedikit lahan sawah yang dibeli pemegang kuasa pertambangan itu kini sudah berubah jadi kawasan pertambangan batu bara.

Di Kalsel, selain Hutan Lindung Pegunungan Meratus, kerusakan parah akibat penambangan batu bara ditemukan di sejumlah desa. Sebagian jalan di beberapa desa, misalnya, hilang ”tertelan” kawasan tambang. Bahkan, ada jalan yang sudah diaspal terpotong akibat jalan itu digarap pemegang kuasa pertambangan (dijadikan lahan galian tambang).

Warga yang tinggal di Kecamatan Lok Paikat (antara Desa Parandakan menuju ke Miawa) dan Kecamatan Siani, Kabupaten Tapin, merupakan contoh korban ”jalan hilang”. Kini mereka tak lagi bebas berlalu lalang di jalan desa akibat sebagian jalan terkait sudah masuk kawasan tambang.

Di jalan-jalan seperti itu warga selain harus berhati-hati terhadap kendaraan proyek yang lewat, tak jarang pula mereka mesti minta izin untuk lewat. Hal serupa terjadi di Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang di Kabupaten Banjar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul, mengatakan, selain lingkungan rusak, pertambangan terbuka (open pit) seperti yang banyak ditemukan di Kaltim, juga mengubah fungsi kawasan. ”Pembabatan hutan memusnahkan 7-12 ton karbon organik setiap tahun. Karbon itu amat diperlukan mikroorganisme untuk keberlangsungan suatu ekosistem,” katanya mengingatkan.

Pernyataan senada dikemukakan Udiansyah. Menurut dia, penambangan batu bara yang berlangsung selama ini tak banyak memajukan daerah. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai 22 triliun (untuk produksi 80-100 ton per tahun), yang menjadi pendapatan asli daerah tidak mencapai Rp 1 triliun,” ujarnya.

Meski demikian, kalangan pengusaha tetap berpendapat bahwa yang mereka kerjakan memberi efek positif. ”Tambang menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi warga, seperti munculnya warung dan jasa sewa tempat tinggal,” kata Maskur Achmad, Manajer Proyek PT Satria Bahana Sarana, kontraktor pertambangan batu bara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (BRO/AHA/WER/FUL)

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Samarinda, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/25/03590432/penambangan.memprihatinkan

Penambangan di Kalimantan: Kami Tak Sanggup Menghentikan Kerakusan Ini

Rakus. Begitu kesan pertama saat melihat sebagian hutan pendidikan dan penelitian milik Universitas Mulawarman, Samarinda, di kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto, digerogoti.

Pihak kampus tak bisa berbuat banyak, bahkan ketika hutan yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tersebut ditambang secara liar oleh berbagai kalangan. ”Kami tidak mampu menghentikan kerakusan ini. Kewenangan kami cuma memakai hutan ini untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, tidak lain dari itu,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul) Chandradewana Boer.

Tanggal 14 Januari lalu, Boer menunjukkan seluk-beluk hutan di wilayahnya, termasuk melihat seberapa parah penambangan yang telah berlangsung saat ini. Benar saja, hati tersayat melihatnya.

Betapa tidak. Hutan seluas lebih dari 40 kali lapangan sepak bola atau sekitar 40 hektar dari 20.271 hektar hutan yang dikelola Unmul itu sedang dihancurkan. Permukaan tanah dikupas dan materialnya dipindah-pindah. Perut bumi diacak-acak dan dibongkar agar batu bara bisa diambil dan dijual.

Pertambangan masih berlangsung, tetapi sudah menyisakan lubang galian (pit) yang amat lebar dan sangat dalam, mencapai 150 meter. Dasar dan dinding pit itu hitam sebagai bukti bahwa hutan Unmul itu mengandung batu bara yang melimpah. Buldoser, eskavator, traktor, truk, dan mobil gardan ganda berseliweran di jaringan jalan dalam pit, seperti berlomba.

Kegiatan seperti itu bukan hanya di lahan Unmul saja. Di sekeliling Tahura Bukit Soeharto beroperasi 19 perusahaan pemilik kuasa pertambangan dengan izin dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Yang ironis, 12 kuasa pertambangan di antaranya mengelola lahan konsesi yang ternyata tumpang tindih, seluas 1.156 hektar, dengan hutan Unmul.

Meskipun ditunjuk sebagai pengelola oleh Kementerian Kehutanan, Unmul tidak mampu menghentikan pertambangan. Yang mengenaskan, operasi tambang batu bara itu ternyata legal akibat adanya tiga Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan yang saling berbeda mengenai koordinat tata batas Tahura Bukit Soeharto. Padahal, SK-SK itu menjadi dasar bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk meminta rekomendasi Kementerian Kehutanan guna penerbitan kuasa pertambangan.

Dalam konteks itu, SK terbaru bernomor 577 Tahun 2009 membatalkan SK 270/1991 dan SK 419/2004. Namun, kuasa-kuasa pertambangan yang telanjur keluar berdasarkan dua SK terdahulu tetap berlaku sampai izinnya habis.

Untuk mencapai pelabuhan harus melalui jalan-jalan dalam hutan ini. Boer dan kami pun harus ditanyai ini-itu oleh satuan pengamanan perusahaan tambang batu bara untuk masuk ke kawasan Unmul tersebut. Tuan rumah ternyata tidak leluasa menyusuri hutan milik mereka.

Di hutan Unmul bahkan juga ada ladang, permukiman, menara telekomunikasi, dan instalasi listrik. Kerusakan bertahun-tahun akibat pembalakan, perambahan, dan pertambangan mengakibatkan tidak lebih dari 6.000 hektar hutan Unmul yang masih berkondisi baik meskipun tidak terlalu lebat.

Tidak ada lagi hutan perawan karena Tahura Bukit Soeharto pernah terbakar hebat. Hutan berkondisi baik yang tersisa adalah generasi kedua yang masih selamat dari ancaman penghancuran. ”Kami berharap diberi kewenangan mengelola hutan secara mandiri, meski tidak luas, cukup yang 6.000 hektar yang masih bagus ini,” tambah Boer.

Kerakusan perlahan juga memangsa bumi Samarinda. Tidak hanya dirasakan kampus yang notabene memiliki kepentingan penelitian, yang memiliki kepentingan jauh ke depan, batu bara juga meresahkan warga. Warga di RT 25 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, contohnya.

Saat ini, permukiman RT 25 yang berjarak sekitar 25 meter dari bekas pertambangan batu bara sering kebanjiran akibat tiga danau bekas galian (pit) tidak direklamasi. Setiap sehabis hujan, air tiga danau yang bercampur lumpur dari erosi tanah bekas tambang meluap ke permukiman warga.

Masih di Kecamatan Samarinda Utara, tambang batu bara sudah tiga tahun ini menyusahkan warga RT 28 Kelurahan Tanahmerah. Sebelum ada tambang, warga memanfaatkan Sungai Rimbawan di belakang permukiman untuk mandi dan mencuci. Warga kadang berani mengonsumsi air sungai itu.

Namun, setelah ada tambang, sungai mendangkal akibat endapan lumpur dan pasir yang tebal dan hampir setinggi permukaan jalan. Air sungai masih ada, tetapi sangat sedikit. ”Kalau air dipakai mandi bisa membuat badan gatal-gatal. Air tidak bisa dipakai minum lagi sehingga kami harus membeli air isi ulang,” kata warga RT 28, Dominicus.

Pemerintah Kota Samarinda telah menerbitkan 76 kuasa pertambangan pada lahan konsesi 50.808 hektar atau 71 persen dari luas Kota Tepian yang 71.823 hektar. Sebanyak 55 kuasa pertambangan di antaranya sudah berproduksi pada lahan konsesi 38.814 hektar atau lebih dari separuh luas Samarinda. Kuasa-kuasa pertambangan itu ada di sekeliling bahkan di segala penjuru dalam kota.

Padahal, dari batu bara, Samarinda cuma mendapat pendapatan asli daerah Rp 399 juta atau 4 persen dari total PAD tahunan yang Rp 112 miliar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul mengatakan, Samarinda kian rentan kebanjiran karena dikepung tambang. ”Reklamasi memang mahal, tetapi dampak bencana bagi masyarakat sebenarnya jauh lebih mahal sebab menyangkut kerugian material dan sosial,” katanya. (wer/ful)

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso dan A Handoko

Monday, January 11, 2010

Kelautan: Bunaken Jangan Diusik Rehabilitasi

Kelestarian Taman Laut Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, hendaknya tidak diusik dengan berbagai proyek rehabilitasi semu dari pemerintah maupun lembaga peneliti yang berakibat merusak rona asli taman laut tersebut.

Pakar terumbu karang Dr Yani Khusen dan pakar bioekologi kelautan Dr Winda Mingkid dari Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sabtu (9/1), mengkhawatirkan intervensi berlebihan melalui berbagai proyek penelitian di Taman Laut Bunaken akan berakibat buruk sehingga mengganggu ekosistem yang sudah ada.

Menurut Winda, tindakan introduksi, yaitu memasukkan organisme baru ke dalam satu habitat, apabila tidak diawali dengan penelitian dengan baik bakal mengganggu ekosistem dari perairan tersebut. ”Bunaken harus dijaga dari intervensi seperti itu,” katanya.

Aktivitas gencar

Yani Khusen mensinyalir belakangan ini aktivitas rehabilitasi oleh sejumlah lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat di kawasan taman laut Bunaken cukup gencar.

Intervensi itu dimulai dengan melakukan restorasi karang dengan media keramik, kemudian diikuti dengan penanaman mangrove serta melepas penyu di sekitar Laut Bunaken.

Menurut Yani, masuknya unsur dari luar akan merusak rona asli alam dan taman laut Bunaken.

Beberapa waktu lalu dia pernah menegur sejumlah oknum LSM dari Jakarta yang melepas ikan kerapu bebek di sana. ”Itulah yang saya bilang rehabilitasi semu demi proyek,” katanya.

Ia mengatakan, restorasi karang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Tokyo University Marine Science and Technology sejak tahun 2006.

Ia menilai, cara restorasi karang itu kurang tepat. Semestinya karang-karang rusak di Bunaken direhabilitasi dengan program transplantasi.

Beberapa waktu lalu sejumlah ahli karang dari Jepang menemukan cara baru untuk menyelamatkan sekaligus melakukan restorasi populasi terumbu karang atau koral di sejumlah wilayah laut dunia, terutama laut Bunaken dan Manado Tua. Cara itu dengan membuat ecoreef berbentuk jari-jari dari bahan keramik.

Menurut Yani, pemerintah Provinsi Sulut mestinya mengeluarkan larangan untuk kegiatan rehabilitasi yang tidak diawali dengan penelitian terlebih dahulu. ”Jika tidak (ada larangan), Bunaken hanya menjadi obyek eksploitasi orang luar tanpa memerhatikan aspek ekosistem yang sudah ada,” katanya.(zal)

Senin, 11 Januari 2010 | 04:06 WIB

Manado, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/11/0406125/bunaken.jangan.diusik.rehabilitasi

Tuesday, January 5, 2010

PERUBAHAN IKLIM: Potensi Ikan Kita Bisa Turun

Hasil Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen sangat mengecewakan karena melenceng jauh dari harapan masyarakat dunia. Hasil Kopenhagen mengandung ketidakpastian dalam pembatasan emisi CO ke atmosfer. Hal lain yang jadi pertanyaan, mengapa isu kelautan tidak masuk dalam teks ”Copenhagen Accord”.

Jadi, laut tidak diperhitungkan dalam mitigasi perubahan iklim. Keputusan ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Chris Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan kawan-kawan. (2004) melaporkan, pada era sebelum industri, laut global adalah pelepas karbon ke atmosfer. Kondisi pada waktu itu adalah seimbang.

Ketika revolusi industri terjadi di Eropa, maka emisi CO di atmosfer mulai bertambah dan seiring dengan itu laut berubah menjadi penyerap CO di atmosfer. Akan tetapi, dalam 20 tahun terakhir ini, ada indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan laut sehingga besar kemungkinan laut akan berbalik menjadi pelepas karbon.

Gambaran di atas menegaskan bahwa laut selalu mencari kesetimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer. Jadi, peranan laut untuk mitigasi tidak relevan dan tidak tepat masuk dalam mekanisme perdagangan karbon, seperti halnya hutan.

Secara sederhana, negara manakah yang berhak mendapatkan kompensasi untuk perairan samudra belahan bumi utara dan selatan yang tingkat penyerapannya sangat tinggi? Bagaimanakah kompensasi bagi negara-negara tropis yang sebagian besar wilayah lautnya berfungsi sebagai pelepas karbon?

Rekomendasi kebijakan

Saat ini, sudah saatnya kita melupakan perdagangan karbon laut apalagi memperdebatkannya. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.

Laporan terbaru dari Cheung, dkk (2009) di jurnal Global Change Biology menyebutkan, dari skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 ppm (parts per million) pada tahun 2100, maka Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi pada level sekarang, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.

Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan- ikan dari perairan tropis ke subtropis sehingga negara-negara lain akan mengalami surplus tangkapan ikan. Selain itu, migrasi ikan yang semakin jauh juga akan berimplikasi kepada biaya penangkapan ikan yang semakin mahal.

Di sisi lain, kita menghadapi banyak permasalahan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Padahal, wilayah pesisir ini adalah daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, dan banyak lagi fungsi ekologis lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.

Beberapa catatan sebagai usulan dalam kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Penyehatan ekosistem pesisir. Ini berkaitan dengan usaha untuk mengembalikan dan menjaga vegetasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang demi keberlangsungan fungsi ekologis dan jaminan ketahanan pangan.

2. Prioritas perikanan budidaya dan teknologi pascapanen. Dengan adanya jaminan ”kesehatan” ekosistem pesisir, maka pengembangan perikanan budidaya menjadi solusi yang menarik dalam menghadapi persoalan perubahan migrasi ikan. Nelayan-nelayan yang tadinya berorientasi perikanan tangkap, perlu memikirkan dan mempersiapkan diri untuk perikanan budidaya. Jepang adalah contoh negara yang berhasil dalam pengembangan budidaya perikanan laut, termasuk ikan-ikan pelagis besar (tuna). Budidaya juga meliputi penyebaran benih-benih ikan tertentu ke ekosistem pesisir secara bebas. Ini dikenal dengan konsep restocking. Prioritas ekspor ikan segar juga perlu dievaluasi kembali.

3. Adaptasi kenaikan permukaan laut bagi pemukiman, infrastruktur lainnya, dan dampak intrusi air laut.

4. Peninjauan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pendekatan yang selama ini berorientasi skala-skala kecil untuk lokasi tertentu perlu beralih pada pendekatan kepulauan Indonesia yang komprehensif.

5. Variabilitas iklim dan perubahan iklim. Hal ini membutuhkan perhatian serius pada masa mendatang dan membutuhkan data dasar yang panjang untuk melihat dampaknya terhadap perikanan. Sebagai contoh, Jonson L Gaol, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), dan beberapa rekannya (2004) melaporkan di suatu jurnal internasional bahwa saat terjadi El Nino tahun 1997 ada peningkatan klorofil yang ekstrem di Selat Bali sampai awal 1998. Hal ini kemudian diikuti oleh produksi ikan lemuru yang ekstrem pada 1998 itu. Tetapi, produksi ikan yang melimpah mengakibatkan anjloknya harga di pasar akibat ketidaksiapan dalam menghadapi dampak variabilitas iklim ini.

6. Basis data dan peralatan standar untuk studi karbon laut. Pada kenyataannya, tidak ada peralatan standar (sesuai protokol JGOFS-Joint Global Ocean Flux Study) yang menunjang studi karbon laut di Indonesia. Peralatan yang dimaksud adalah untuk pengukuran tekanan parsial CO, total karbon dan buoy-buoy untuk pengamatan real-time fluks karbon udara-laut. Salah satu kegunaan peralatan tersebut adalah pengembangan algoritma khusus laut Indonesia untuk data satelit. Hal ini penting untuk pemantauan berkala saat audit emisi CO karena Indonesia telah berjanji untuk menurunkannya sebesar 26 persen (walaupun sebenarnya tidak diwajibkan). Jika kita tidak memiliki algoritma sendiri, penggunaan algoritma global dari data satelit mungkin saja merugikan kita dalam perhitungan capaian 26 persen. Apalagi, laut kita yang tropis cenderung melepaskan karbon sehingga algoritma dalam data satelit harus mengeluarkan faktor pelepasan laut. Hal ini perlu diantisipasi karena pelepasan laut bukan hasil antropogenik.

Senin, 4 Januari 2010 | 03:07 WIB

Penulis: Alan F Koropitan Dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB

China Menuju Tiga Besar Pembangkit Tenaga Angin

China lagi-lagi menarik perhatian dunia. Setelah membukukan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan dan menjadi salah satu negara berkembang pesat yang ”ditakuti” negara maju, China menuju negara terbesar ketiga penghasil listrik tenaga angin pada tahun 2010. Klaim itu disampaikan kantor berita pemerintah Xinhua seperti dikabarkan AFP. Pemasangan sejumlah pembangkit listrik tenaga angin dalam waktu dekat, menurut otoritas energi nasional (National Energy Administration’s New Energy Department) akan meningkatkan daya listrik tenaga angin mereka menjadi 20 gigawatt. Hal itu akan menggusur Spanyol, yang saat ini berada pada urutan ketiga di bawah Amerika Serikat dan Jerman. Menurut data Dewan Energi Angin Global (GWEC), AS menduduki posisi pertama dengan potensi produksi 25,2 gigawatt pada 2008 atau 20,8 persen total global. China pada tahun 2008 masih 12,2 gigawatt. 

Akhir tahun 2008, kemampuan energi angin di Spanyol mencapai 16,8 gigawatt. Langkah China tersebut sekaligus diharapkan mengurangi ketergantungan sumber-sumber pembangkit listrik mereka dari batu bara (saat ini diperkirakan 70 persen). Ketergantungan akan batu bara itu menjadikan China sebagai negara berkembang pesat dengan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global, di bawah AS. Tahun 2020, China menargetkan 20 persen sumber pembangkit listriknya dari energi terbarukan, utamanya dari angin dan air. Niat China mengubah sebagian energi mereka menjadi ramah lingkungan didukung keputusan pemerintahnya mengadopsi ketentuan hukum baru, yang mewajibkan kebutuhan listrik industri-industri diperoleh dari sumber energi terbarukan. (AFP/GSA)

Senin, 04 Januari 2010

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...