Wednesday, March 10, 2010

Sawit Rawan Pelanggaran HAM

Dinilai Hambat Pemenuhan Target Emisi

Pembukaan jutaan hektar perkebunan kelapa sawit berisiko mengancam keanekaragaman hayati dan memunculkan pelanggaran hak asasi manusia. Pembukaan kebun kelapa sawit pun menyulitkan Indonesia memenuhi target reduksi emisi 26 persen pada 2020.

Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad menyatakan, pemerintah telah menyetujui pembukaan 26,7 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Hal itu disampaikannya dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (8/3), terkait sengketa lahan pasca-pembukaan lebih dari 6.140 hektar perkebunan sawit oleh sebuah perusahaan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

”Izin yang diterbitkan pemerintah itu mencakup pembukaan kawasan hutan dan lahan gambut. Dari izin itu telah dibuka 9 juta hektar kebun kelapa sawit yang tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, dan lokasi lainnya,” kata Chalid.

Ia mengingatkan, setiap hektar kelapa sawit harus dirawat dengan satu hingga tiga liter herbisida per tahun.

”Jika ada 26 juta hektar sawit, artinya setiap tahun ada 50 juta liter herbisida disiramkan di Indonesia. Itu mengancam keanekaragaman hayati. Pembukaan kebun sawit juga memperparah dampak perubahan iklim” kata Chalid.

Dia menyatakan, pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran juga berpotensi memunculkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut dia, sengketa lahan pasca-pembukaan 6.140 hektar lebih perkebunan sawit di Kabupaten Tapanuli Tengah hanya salah satu pembukaan kebun sawit yang sarat pelanggaran HAM.

”Sawit Watch mencatat, pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia memunculkan lebih dari 630 kasus sengketa tanah,” kata Chalid.

Sengketa

Pembukaan perkebunan sawit tersebut memunculkan sengketa tanah antara perusahaan tersebut dan 806 warga di lima kecamatan di Tapanuli Tengah. Pastor Martinus Rantinus Manalu Pr dari Keuskupan Sibolga selaku pendamping para warga menjelaskan, sengketa terjadi karena izin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit tumpang tindih dengan lahan seluas 1.319,82 hektar milik warga.

”Dan, sebagian lahan warga itu sudah bersertifikat hak milik. Izin pembukaan 6.140 hektar lahan di Kecamatan Manduamas dan Sirandorung diterbitkan Bupati Tapanuli Tengah pada 9 Desember 2004. Namun, kebun kelapa sawit PT Nauli Sawit dibuka di lima kecamatan, yaitu Manduamas, Sirandorung, Andam Dewi, Sorsorgadong, dan Sorkam Barat. Pembukaan kebun sawit itu merampas tanah transmigran, pengungsi dari Nanggroe Aceh Darussalam, menyerobot tanah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi seluas 666 hektar,” kata Manalu.

Tokoh agama setempat, Ustaz Muhammad Sodikin Lubis menuturkan, upaya para warga menuntut pengembalian tanah mereka justru berujung dengan intimidasi dari sejumlah pihak.

”Ada PNS yang dimutasi karena menuntut pengembalian tanah. Ada 10 warga divonis bersalah melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena menuntut pengembalian tanah mereka. Ada warga ditikam, dibakar rumahnya. Kasus itu sudah diadukan kepada DPR, tetapi tidak kunjung ada penyelesaian. Seolah-olah banyak pihak kebal hukum dalam kasus itu,” kata Lubis dalam keterangan pers tersebut.

Staf Kampanye dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara, Sahat Tarida menyatakan, sengketa sebagaimana terjadi di Tapanuli Tengah akan semakin sering terjadi di Sumatera Utara. ”Rencana penataan kawasan itu hingga 2013 menunjukkan, ada lebih banyak kebun kelapa sawit yang akan dibuka,” kata Tarida.

Chalid menyatakan, pembiaran sengketa tanah sebagaimana terjadi di Tapanuli Tengah menunjukkan pembukaan kebun sawit di Indonesia berlangsung tanpa kendali. ”Itu semakin menunjukkan pemerintah tidak memiliki rencana yang jelas bagaimana memenuhi target penurunan emisi 26 persen pada 2020,” kata Chalid. (ROW)

Selasa, 9 Maret 2010 | 03:49 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/09/03492985/sawit.rawan.pelanggaran.ham

Monday, March 1, 2010

DANAU DAN WADUK: Cermin dari Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan situasi yang saat ini kita hadapi dan tidak dapat ditawar lagi kecuali dengan meredam lajunya. Adalah dengan memahami proses- proses yang terjadi di alam, wawasan kita dapat dibuka tentang bagaimana dan mengapa iklim itu berubah.

Dari situ kita akan sadar bahwa secara alamiah iklim itu memang akan berubah walau tanpa campur tangan manusia. Dan, dengan adanya aktivitas manusia, berawal dari revolusi industri hingga kini, iklim berubah dengan drastis.

Mungkin semua orang tahu bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di udara yang menyebabkan temperatur di permukaan bumi meningkat.

Hampir semua negara di dunia berusaha untuk menurunkan emisi GRK-nya masing-masing walau dengan perdebatan yang cukup alot mengenai besaran yang harus diturunkan. Dan, menurut hemat saya, hal tersebut cukup sulit karena banyak faktor yang harus dipantau dan dievaluasi, serta yang jelas harus ilmiah.

Kita mungkin paham bahwa hutan kita adalah paru-paru dunia dengan kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO) sehingga kita berusaha untuk menjaga hutan agar tetap hijau dan menghijaukan area terbuka.

Namun, belum banyak yang paham bahwa perairan kita yang sangat luas itu juga memiliki potensi dalam mengatur kesetimbangan CO di atmosfer. Potensinya adalah dapat sebagai penyimpan dan atau penyumbang CO. Tetapi, kita belum tahu persis potensi yang mana yang kita miliki.

Ekosistem perairan

Di sini saya sedikit mengulas bagaimana ekosistem perairan selain lautan, yaitu danau dan waduk, dan apa kaitannya dengan emisi GRK.

Indonesia memiliki 521 danau alami, terbanyak di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 waduk.

Danau dan waduk adalah ekosistem yang menerima input materi dari ekosistem daratan, termasuk di dalamnya karbon. Apabila materi tersebut adalah makhluk hidup atau sisa dari makhluk hidup, suatu saat materi tersebut akan terdegradasi menghasilkan inorganik karbon yang salah satunya adalah CO.

Memang benar, material organik tadi dapat terbenam di dasar danau, tetapi hampir semua danau yang ada di Indonesia dapat mengalami pengadukan sempurna sehingga CO dan material lainnya di dasar itu mampu kembali ke permukaan. Adanya aktivitas fotosintesis-respirasi memengaruhi CO di permukaan, tetapi tidak cukup signifikan karena keduanya berada cukup seimbang.

Lebih lanjut jika konsentrasi CO di lapisan permukaan air sangat tinggi dan jenuh, CO akan terlepas ke udara.

Secara global Cole dkk. (1994) menghitung bahwa sekitar 87 persen dari 4.665 danau—termasuk waduk—yang ada di dunia (sekitar 2 x 106 kilometer persegi) berpotensi menyumbang CO ke atmosfer dengan total kisaran 0,14 x 1.015 gram karbon per tahunnya. Sayangnya mereka tidak merekam danau-danau di Indonesia yang sedemikian banyaknya (± 3 persen luas total daratan) dengan masing-masing karakternya.

Hasil kalkulasi saya, berdasarkan data dari Lehmusloto dkk (1997), yang pernah meneliti sangat banyak danau di Indonesia, danau-danau di Indonesia memiliki tekanan parsial CO (pCO) sebesar 194,79 µatm-947,49 µatm dan waduk sebesar 102,19 µatm-843,38 µatm. Artinya, danau dan waduk di Indonesia memiliki potensi yang sama dalam mengikat dan melepaskan CO ke udara.

Namun, kisaran pCO danau dan waduk di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan danau di belahan bumi lainnya. Danau-danau di Afrika memiliki pCO hingga 59.900 µatm, hampir 60 kali lipat danau-danau di Indonesia.

Danau dan waduk hanyalah salah satu bagian dari siklus karbon yang mungkin terlewatkan dalam pemikiran kita untuk menurunkan GRK.

Wajib dipahami bahwa untuk menurunkan emisi GRK kita haruslah menelaah semua segi kehidupan, termasuk perilaku kehidupan sehari-hari karena manusia merupakan pemeran utama dalam beberapa siklus yang ada di muka bumi.

Sumbangsih danau pada emisi GRK di udara bertolak secara alamiah. Namun, pengelolaan danau yang salah arah dapat menyebabkan danau itu berperan sebagai penghasil GRK yang sangat potensial. Cukup banyak danau dan waduk di Indonesia yang mengalami tekanan lingkungan sehingga memiliki potensi melepas GRK dalam jumlah yang besar.

Material organik, seperti sisa aktivitas pertanian, pakan ikan, lumpur, dan pencemar lainnya sangat berpotensi untuk terdegradasi menjadi GRK. Memang, perlu ada penelitian lebih lanjut dan detail pada ekosistem ini agar peran masing-masing dapat lebih dipahami.

Namun, peran serta seluruh pihak, baik dari masyarakat, pemerhati maupun pemerintah sangatlah dibutuhkan dalam menyikapi isu perubahan iklim ini.

Dan, menurut hemat saya, danau dan waduk adalah cermin keberhasilan usaha kita semua dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang bermanfaat untuk menurunkan emisi GRK.

Senin, 1 Maret 2010 | 03:31 WIB

Penulis: Arianto B Santos

Penghijauan Tidak Asal Menanam Pohon

REBOISASI

Sebanyak 2.767 pohon trembesi ditanam di sepanjang ruas jalan pantai utara Jawa Tengah yang menghubungkan Semarang-Kudus sepanjang 52 kilometer. Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pada acara penanaman itu mengingatkan, penghijauan tidak boleh asal menanam pohon.

”Kalau sekadar menanam, itu gampang. Yang penting merawatnya sehingga tanaman bisa tumbuh baik,” kata Bibit pada acara penanaman pohon trembesi di jalan raya Kecamatan Buyaran, Demak.

Peneliti trembesi dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, yang turut menghadiri seremonial penanaman trembesi atau ki hujan (Albizia saman) tersebut, mengatakan, trembesi cocok untuk penghijauan di tepi jalan. Selain pertumbuhannya relatif cepat dan dahannya tidak regas, kanopi trembesi juga bisa mencapai diameter 40 meter, bahkan lebih. Selain itu, trembesi juga sangat baik dalam menyerap berbagai polutan di udara.

Meskipun demikian, Endes menyayangkan masih adanya kegiatan penghijauan yang tidak memenuhi syarat. Misalnya, kualitas bibit dan kondisi tanah kurang diperhatikan sehingga bibit yang sudah ditanam mati beberapa saat kemudian.

”Mestinya, untuk daerah yang berlalu lintas ramai dan tingkat polutan udaranya tinggi, bibit yang ditanam ketinggiannya sekitar 2-2,5 meter dengan batang dan akar yang kuat sehingga bisa bertahan hidup dan pertumbuhannya baik,” kata Endes.

Direktur PT Djarum Thomas Budi Santoso mengatakan, pemeliharaan trembesi di sepanjang Semarang-Kudus menjadi tanggung jawab perusahaannya.

Penanaman trembesi, dijanjikan Budi, sebagai kegiatan berkelanjutan hingga sepanjang jalan pantura Jawa Tengah bisa hijau, rindang, dan nyaman dilalui masyarakat. (NAW)

Baru 0,025 Persen Hutan yang Tersertifikasi

Baru 1,5 juta (0,025 persen) dari total 60 juta hektar hutan di Indonesia yang mendapat sertifikat hutan lestari versi Lembaga Ekolabel Indonesia. Tahun 2001, hutan yang mendapat sertifikat 90.000 hektar, yang mencakup hutan konsesi hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, dan hutan rakyat.

Sementara yang memperoleh sertifikat internasional dari Forest Stewardship Council (FSC) baru empat dari total 200 pemegang HPH di Indonesia—untuk kawasan hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Hal ini terungkap dalam konsultasi publik kawasan gambut di Semenanjung Kampar yang digelar Tropenbos International Indonesia Programme (TBI). ”Masih sedikit sekali hutan yang mendapatkan sertifikasi untuk kelestarian lingkungan. Selain hutan alam, kami juga mendorong hutan tanaman, hutan rakyat, dan perkebunan untuk juga memerhatikan wilayah mana yang memiliki nilai konservasi tinggi,” kata Direktur Program TBI Petrus Gunarso, Rabu (24/2) di Semenanjung Kampar.

FSC mencakup beberapa kriteria. Salah satunya adalah high conservation value forest (HCVF) atau hutan bernilai konservasi tinggi yang meliputi nilai ekologi dan sosial.

Salah satu pemetaan HCVF yang akan dimulai di Semenanjung Kampar, menurut Petrus, adalah untuk kawasan hutan gambut. Kawasan yang luasnya sekitar 700.000 hektar itu pernah dieksplorasi dalam bentuk konsesi HPH tahun 1970-1980-an. ”Kini banyak pemegang hak yang sudah tidak aktif karena pohon yang berdiameter di atas 50 sentimeter yang layak tebang telah habis,” katanya.

Pemetaan akan dilakukan secara independen, antara lain oleh TBI, tim independen dari Badan Litbang Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Lampung, serta Universitas Mulawarman, dan didanai PT Riau Andalan Pulp and Paper. (eki)

Ancol Bangun "Ecopark"

Lapangan golf seluas 33,6 hektar di kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara, Rabu (24/2) pagi, berubah total. Ratusan murid kelas IV dan V dari 10 sekolah dasar di sekitar Ancol sibuk menggali lapangan berumput itu. Di setiap lubang ditanam bibit pohon.

Targetnya, akan ada 10.000 pohon bakal mengisi lapangan golf itu. Tindakan para murid SD itu bukan aksi anarki, melainkan mendapatkan restu penuh dari manajemen Ancol Taman Impian.

”Di bekas lapangan golf ini, segera dibangun wahana baru, ecopark yang berbasis edutainment. Ecopark akan dilengkapi berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan bagi pendidikan lingkungan hidup, seperti taman flora, fauna, dan fasilitas multifungsi untuk permainan petualangan di lahan terbuka,” kata Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budikarya Sumadi.

Devan Ramadhan (10), murid kelas V SD Raudhatul Janatin Na’im di Pademangan, Jakarta Utara, menjadi salah satu peserta penanaman pohon di lahan yang dirintis menjadi ecopark Ancol. Bagi Devan, berada di lapangan golf, menggali, dan menanam pohon menjadi pengalaman istimewa. ”Masuk lapangan golf saja belum pernah. Waktu masuk, boleh gali-gali, asyik. Bisa nanam pohon lagi,” kata Devan.

Dadang Zarkoni, Kepala Sekolah SD Raudhatul Janatin Na’im, menambahkan, selama ini golf terkesan eksklusif hanya terbuka untuk kalangan berpunya. Kini, setelah disulap menjadi ecopark, ia dan para muridnya berpeluang beraktivitas di sana.

”Saya rasa ecopark ini akan lebih bermanfaat bagi warga sekitar, juga Jakarta secara umum, dan tentu saja anak-anak. Mudah-mudahan program ini berhasil. Saya berencana sering mengajak anak murid beraktivitas di sini. Mereka bisa belajar langsung di lapangan soal lingkungan,” kata Dadang.

Bagi Ancol sendiri, ambisi untuk mewujudkan ecopark adalah bagian dari impian menjadikan kawasan wisata terbesar di Asia Tenggara. Wahana itu tidak hanya menyajikan berbagai wahana menarik, tetapi juga turut mengajak pengunjung beraktivitas serta memahami arti pentingnya membangun lingkungan yang sehat. Ancol berhasrat menata kawasannya dengan memperkaya elemen natural pada daratan dan pantai yang disebut konsep ”Ancol Hijau (Green Ancol)” dan ”Ancol Biru (Blue Ancol)”.

Selain dihijaukan, taman ini juga akan dilengkapi kanal air. Fungsi kanal adalah menambah tempat tampungan air dan drainase. Kanal itu diharapkan bisa mengantisipasi air pasang, gelombang laut, dan curah hujan tinggi. Selain itu, kanal juga bisa sebagai saluran transportasi air yang bakal menghubungkan berbagai unit wahana di Ancol.

Dalam upaya mewujudkan impian Green Ancol dan Blue Ancol, Ancol didukung Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Saat peresmian pembangunan ecopark kemarin, Direktur Kehati MS Sembiring menyumbangkan buku terbaru yang belum resmi diluncurkan untuk umum berjudul ”Keanekaragaman Hayati: Hutan Kota dan Jenis Pohon di Jabodetabek”. Buku itu ditulis Ismayadi Samsoedin, Tarsoen Waryono, dan Latipah Hendarti.(nel)

Kamis, 25 Februari 2010 | 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03211897/ancol.bangun.ecopark

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...