Friday, July 31, 2009

RESAPKAN AIR HUJAN KE TANAH SEBANYAKNYA

Musibah banjir makin kerap terjadi, kini saatnya warga berkontribusi agar air hujan tetap tinggal di dalam tanah. Itulah prinsip ideal merancang rumah untuk berkontribusi kepada kota seperti Jakarta yang makin kerap dilanda banjir, seperti dikatakan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta Ahmad Djuhara, Kamis (13/3).



Bagaimana mewujudkannya? Djuhara menunjuk pengalamannya saat merancang rumah perkotaan dengan ukuran 6 meter x 15 meter atau seluas 90 meter persegi. Djuhara merancangnya dengan menyisihkan celah 60 sentimeter di sekeliling tembok. “Tembok rumah tidak dibuat berimpit dengan tembok rumah tetangga. Ada ce1ah 60 sentimeter untuk mendapat intensitas cahaya matahari serta sirkulasi udara yang cukup,” katanya.



Lantai rumah juga dibuat tidak menyatu dengan permukaan tanah.Ketika air hujan datang, hamparan tanah itu siap menyerapnya. “Ada perkiraan hitungan daya tampungnya, sebidang tanah seluas 90 meter persegi. harus dibuat mampu menampung genangan air minimal 4-5 sentimeter,” kata Djuhara. Sayang, rancangannya tidak disetujui pemilik rumah. Akhirnya rumah itu dibangun seperti lazimnya rumah-rumah yang ada di setiap kapling perumahan sederhana. ”Kini saatnya masyarakat memberi kontribusi yang makin kerap dilanda banjir, ”katanya.



Daur ulang



Meresapkan air hujan ke dalam tanah sebanyak-banyaknya sangat dianjurkan untuk mengembalikan kuantitas dan kualitas cadangan air bawah tanah.



Selama ini pemanfaatan air bawah tanah masih menjadi tumpuan pemenuhan air bersih sebagian masyarakat. Bahkan, masyarakat perkotaan yang seharusnya disuplai air bersih oleh PerusahaanDaerah Air Minum (PDAM) juga memanfaatkan cadangan air tanah tersebut. Bangunan komersial seperti hotel dan mal juga memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan meyedot air tanah karena kebutuhannya tak terpenuhi oleh PDAM setempat. Tindakan seperti itu seharusnya menjadi pilihan terakhir.



Menurut Sudaryati Cahyaningsih, peneliti bidang teknologi lingkungan pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kuantitas maupun kualitas air bawah tanah serta air bersih PDAM memililki kecenderungan menurun. Ini disebabkan eksploitasi cadangan air bawah tanah, khususnya di wilayah perkotaan, tidak sebanding dengan jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah. Ketersediaan air baku PDAM makin lama makin menyusut akibat perebutan dengan sektor pertanian. Kualitas air bakti air minum PDAM kian lama kian terbebani polutan. Polutan itu bisa berasal dari limbah industri, bisa dari limbah domestik atau rumah tangga. “Sejauh ini komposisi limbah domestik lebih tinggi, sekitar 60 persen dari tingkat pencemaran air,” kata Sudaryati.



Oleh karena itu perlu dipikirkan pemrosesan daur ulang air limbah di tingkat domestik atau komunal. “Prinsip pengolahan air limbah domestik itu diendapkan secara anaerob atau tidak terkontaminasi dengan oksigen di lokasi yang dipersiapkan;” ujarnya.



Kondisi air yang relatif jernih kemudian dialirkan ke sungai dan menjadikan air sungai tetap jernih. Tetapi ini telah menjadi menjadi kisah usang. Kini segala limbah masuk ke sungai. Manakala kerepotan pemenuhan air bersih sungguh-sungguh menjelma, baik Djuhara maupun Sudaryati menyarankan saatnya untuk menerapkan efisiensi air.



Ada prinsip reuse atau pemanfaatan kembali air yang sudah digunakan yang biasanya menjadi limbah terbuang, “Pemanfaatan ulang seperti dilakukan di negara-negara maju itu untuk gardening (menyiram tanaman) dan flushing (mengguyur toilet),” kata Sudaryati.



Dia menyarankan, teknik pemanfaatan ulang air pada skala domestik dan komunal sebaiknya dengan cara biologis. Tanaman-tanaman yang mampu menyerap polutan dianjurkan ditanam di sekeliling penampungan air limbah domestik. Air yang kembali jernih bisa untuk gardening. Djuhara menjelaskan pentingnya pemanfaatan ulang air yang biasanya terbuang di skala domestik. Menurut dia, air hujan bisa ditampung melalui saluran air hujan dan genteng ke sebuah bak atau tangki. “Atau menjadikan bagian atap sekaligus menjadi bak penampung air hujan 1angsung,” katanya.



Penampungan air hujan secara langsung lebih bersih dibandingkan dengan pengaliran melalui genteng. Namun, beban air harus diperhitungkan. Untuk volume 1 meter kubik, atap rumah itu menanggung beban 1 ton.



NAWA TUNGGAL KOMPAS,JUMAT, 14 MARET 2008 Hlm. 14 GREEN FEST

Thursday, July 30, 2009

Dibangun, 1.744 Hektar Hutan Tanaman Rakyat

Hutan tanaman rakyat seluas 1.744 hektar mulai dibangun di Kecamatan Arut Utara dan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. HTR ini dibangun di kawasan seluas 11.924 hektar yang dicadangkan Menteri Kehutanan untuk pelaksanaan program tersebut.

”Kotawaringin Barat merupakan satu di antara tiga kabupaten di Indonesia, selain Mandailing Natal (Sumatera Utara) dan Sarolangun (Jambi) yang mulai membangun HTR,” kata Kepala Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XII Kus Darmodjo di Palangkaraya, Rabu (29/7).

HTR adalah program Departemen Kehutanan yang digagas tahun 2007. Selain untuk merehabilitasi lahan kritis dan tidak produktif di kawasan hutan, program itu juga bertujuan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Masyarakat diberi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR di suatu kawasan oleh Bupati atas nama Menteri Kehutanan.

Masyarakat dapat menanam, memelihara, dan memetik hasil hutan dari pohon yang mereka tanam di kawasan HTR. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR itu berlaku selama 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun. Tanaman pokok yang ditanam di HTR antara lain meranti, keruing, jati, sengon, sonokeling, akasia, durian, mahoni, dan kemiri.

Di sela tanaman pokok dapat ditanami tanaman sela (tumpang sari), seperti jagung atau padi, untuk menambah pendapatan. ”HTR di Kotawaringin Barat dikelola koperasi. Saat ini mereka sedang menyemaikan bibit, termasuk akasia,” kata Kus.

Dengan adanya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR, kata Kus, masyarakat memiliki jaminan hukum dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. ”HTR ini sekaligus dapat menjadi program terobosan dalam mengurangi lahan kritis yang ada di Kalteng,” katanya.

Berdasarkan data Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kahayan dan BP DAS Barito, luas lahan kritis di Kalteng mencapai 9,5 juta hektar. (CAS)

Kamis, 30 Juli 2009 | 03:33 WIB

Palangkaraya, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/03333073/dibangun.1.744.hektar.hutan.tanaman.rakyat

Satelit Lapan A-1 Akan Pantau Kekeringan

Satelit penginderaan jauh telah terbukti andal dalam memantau gejala kekeringan atau dampak yang ditimbulkan. Untuk mengantisipasi gangguan cuaca pada musim kemarau, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional akan mengaktifkan mikrosatelit Lapan A-1 atau Lapan-TUBsat untuk memantau tutupan lahan dan titik api atau kebakaran lahan.

Ini disampaikan Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lapan Soewarto Hardhienata di sela-sela acara ”Diseminasi Perkembangan Teknologi Roket dan Satelit di Indonesia” di Kantor Pusat Lapan, Jakarta, Rabu (29/7).

Satelit Lapan A-1—yang dirancang bangun peneliti Lapan dan TU Berlin—beredar pada orbit pola melewati wilayah Indonesia tiga kali sehari, yaitu pagi, sore, dan malam. Hasil citra terbaik adalah pagi hari sekitar pukul 9.

”Satelit yang mengorbit sejak 10 Januari 2007 ini akan menghasilkan citra penginderaan jauh yang optimal pada musim kemarau ketika tidak banyak tutupan awan,” ujar Soewarto.

Selama beredar di Indonesia kamera satelit ini dapat diarahkan ke daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Daerah sentra industri padi, sumber air baku, seperti danau dan situ, juga akan menjadi obyek observasi, ujar Soewarto.

Sejak dua setengah tahun lalu Satelit Lapan A-1 dengan resolusi 5 meter telah digunakan mengambil gambar aktivitas Gunung Merapi dan Kelud serta tumpahan minyak di Selat Malaka.

Lapan A-2

Untuk meningkatkan cakupan observasi wilayah Indonesia secara mandiri, Lapan kini tengah menyelesaikan satelit Lapan A-2. Satelit generasi kedua ini akan beredar di orbit khatulistiwa dan memiliki jangkauan lebih lebar. Satelit baru ini juga telah dilengkapi dengan sistem global positioning system (GPS).

Peluncuran Satelit Lapan A-2 dan Lapan-Orari, lanjut Soewarto, akan ditumpangkan pada roket peluncur milik ISRO–India.

Menurut rencana peluncuran dua satelit tersebut akan dilaksanakan awal tahun 2011. Rencana semula adalah tahun depan. Menurut Soewarto, pihaknya akan menguji komponen voice repeater dan ADRS dengan meluncurkannya pada Roket Uji Muatan di Yogyakarta, Oktober mendatang.

Ditemui di Pusat Penginderaan Jauh Lapan, Pekayon, mantan Kepala Lapan Mahdi Kartasasmita menyatakan, teknologi penginderaan jauh dengan satelit akan terus dikembangkan, terutama dalam hal standardisasi kualitas dan operasional produk citra satelit.

”Saat ini, selain Lapan, telah ada beberapa instansi yang dapat memantau hot spot (titik panas),” lanjutnya. (YUN)

Kamis, 30 Juli 2009 | 04:46 WIB

Jakarta, Kompas - http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/04465570/satelit.lapan.a-1.akan.pantau.kekeringan

AIR UNTUK SEMUA

”Hujan membasahi permukaan Bumi. Apakah semua warga Bumi dapat menikmati air yang berasal dari hujan tersebut?” bunyi pertanyaan No. 31 dalam Ramsar Game, papan permainan yang dibuat untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sumber, siklus, penggunaan dan perlindungan air. Ramsar sendiri diambil dari nama kota di Iran yang menjadi tuan rumah konvensi internasional tentang lahan basah pada 1971, dan sejauh ini telah ditandatangani 140 negara, termasuk Indonesia.

Papan permainan ini dikembangkan organisasi Ramsar, badan PBB untuk pendidikan UNESCO dan Danone-AQUA, disebarkan sejak 2006 ke 1.000 sekolah di Jawa, Bali dan Sumatra. Omong-omong, apa jawaban Anda untuk pertanyaan di atas? “Tidak?’ Tepat. Tanah pasir bebatuan tak bisa “menahan” air hujan.

Bekerja sama dengan LSM internasional, Action Contre La Faim, Danone-AQUA selama Maret 2007 — Juni 2008 membangun infrastruktur yang memperpendek jarak titik pengambilan air bagi penduduk setempat. Bersama ilmuwan setempat, penduduk dilibatkan untuk pemeliharaan, agar sarana ini terus tersedia. Jangan melulu menggantungkan pada proyek dadakan

Hal serupa dilakukan di tujuh desa di Pulau Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara dengan sungai tadah hujan dan tanah bebatuan, sejak 2004. Air bersih dikelola oleh dan untuk masyarakat sendiri, walau awalnya dimotori LSM Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, untuk menjembatani pengungsi Maluku yang sebenarnya merupakan perantau dari kedua pulau itu, dengan penduduk setempat.

Kaum ibu dan bapak bahu-membahu, kaum ibu menanam bibit pohon besar di sekitar sumber air di perbukitan - masih ingat, satu pohon besar bisa menahan 10 liter air? Kaum bapak membangun distribusi dari sumber air dengan pipa besi ke desa (disponsori program), dan dari rumah ke rumah dengan paralon (biaya sendiri). Ada iuran bulanan untuk perawatan Rp 2.000,-/bulan untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, dan Rp 1.000,-/bulan untuk keluarga kurang dan 5 orang.

Di Pulau Kelapa-Harapan, Kepeluan Seribu, Jakarta, penduduk harus menyediakan tangki besar air dengan corong kecil untuk menampung hujan yang turun sewaktu- waktu. Untungnya, sejak 2003, penduduk bisa menikmati air bersih lebih mudah. Dengan dana dari pengurangan subsidi BBM, Bina Marga buat instalasi penyulingan air laut dengan sistem Reverse Osmosis yang dikembangkan sejak l970-an. “Air RO,” kata orang pulau.

Prinsip kerjanya, pelarut pekat (air laut) dialirkan melalui sebuah membran (selaput penyaring) ke daerah lebih encer, dengan tekanan melebihi tekanan osmosis (mengalir dan pelarut encer ke pelarut pekat). Jadi, RO mendorong cairan pekat lewat selaput yang menangkap kepekatannya (garam) dan satu sisi, dan membiarkan air murni lewat. Hasilnya: air yang bisa langsung diminum tanpa dimasak! Untuk satu jerigen berisi 20 liter air, penduduk hanya membayar Rp 500,-. Bandingkan dengan harga air mineral botolan.

Hal-hal di atas membuat saya tersadar. Walau tak pernah benar-benar mengalami kesulitan air, kini saya kian berhemat. Misalnya, membiasakan diri mandi di atas baskom besar (untuk menampung sisa guyuran air, yang kelak digunakan untuk “minum” tanaman). O ya, siramlah tanaman di malam hari, untuk mengurangi penguapan.

Bagaimana dengan Anda?

Christantiowati HALAMAN HIJAU – INTISARI NO.530 / SEPTEMBER 2007 Hlm 110-111

AIR UNTUK SEMUA

”Hujan membasahi permukaan Bumi. Apakah semua warga Bumi dapat menikmati air yang berasal dari hujan tersebut?” bunyi pertanyaan No. 31 dalam Ramsar Game, papan permainan yang dibuat untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sumber, siklus, penggunaan dan perlindungan air. Ramsar sendiri diambil dari nama kota di Iran yang menjadi tuan rumah konvensi internasional tentang lahan basah pada 1971, dan sejauh ini telah ditandatangani 140 negara, termasuk Indonesia.



Papan permainan ini dikembangkan organisasi Ramsar, badan PBB untuk pendidikan UNESCO dan Danone-AQUA, disebarkan sejak 2006 ke 1.000 sekolah di Jawa, Bali dan Sumatra. Omong-omong, apa jawaban Anda untuk pertanyaan di atas? “Tidak?’ Tepat. Tanah pasir bebatuan tak bisa “menahan” air hujan.



Bekerja sama dengan LSM internasional, Action Contre La Faim, Danone-AQUA selama Maret 2007 — Juni 2008 membangun infrastruktur yang memperpendek jarak titik pengambilan air bagi penduduk setempat. Bersama ilmuwan setempat, penduduk dilibatkan untuk pemeliharaan, agar sarana ini terus tersedia. Jangan melulu menggantungkan pada proyek dadakan



Hal serupa dilakukan di tujuh desa di Pulau Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara dengan sungai tadah hujan dan tanah bebatuan, sejak 2004. Air bersih dikelola oleh dan untuk masyarakat sendiri, walau awalnya dimotori LSM Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, untuk menjembatani pengungsi Maluku yang sebenarnya merupakan perantau dari kedua pulau itu, dengan penduduk setempat.



Kaum ibu dan bapak bahu-membahu, kaum ibu menanam bibit pohon besar di sekitar sumber air di perbukitan - masih ingat, satu pohon besar bisa menahan 10 liter air? Kaum bapak membangun distribusi dari sumber air dengan pipa besi ke desa (disponsori program), dan dari rumah ke rumah dengan paralon (biaya sendiri). Ada iuran bulanan untuk perawatan Rp 2.000,-/bulan untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, dan Rp 1.000,-/bulan untuk keluarga kurang dan 5 orang.



Di Pulau Kelapa-Harapan, Kepeluan Seribu, Jakarta, penduduk harus menyediakan tangki besar air dengan corong kecil untuk menampung hujan yang turun sewaktu- waktu. Untungnya, sejak 2003, penduduk bisa menikmati air bersih lebih mudah. Dengan dana dari pengurangan subsidi BBM, Bina Marga buat instalasi penyulingan air laut dengan sistem Reverse Osmosis yang dikembangkan sejak l970-an. “Air RO,” kata orang pulau.



Prinsip kerjanya, pelarut pekat (air laut) dialirkan melalui sebuah membran (selaput penyaring) ke daerah lebih encer, dengan tekanan melebihi tekanan osmosis (mengalir dan pelarut encer ke pelarut pekat). Jadi, RO mendorong cairan pekat lewat selaput yang menangkap kepekatannya (garam) dan satu sisi, dan membiarkan air murni lewat. Hasilnya: air yang bisa langsung diminum tanpa dimasak! Untuk satu jerigen berisi 20 liter air, penduduk hanya membayar Rp 500,-. Bandingkan dengan harga air mineral botolan.



Hal-hal di atas membuat saya tersadar. Walau tak pernah benar-benar mengalami kesulitan air, kini saya kian berhemat. Misalnya, membiasakan diri mandi di atas baskom besar (untuk menampung sisa guyuran air, yang kelak digunakan untuk “minum” tanaman). O ya, siramlah tanaman di malam hari, untuk mengurangi penguapan.



Bagaimana dengan Anda?



Christantiowati HALAMAN HIJAU – INTISARI NO.530 / SEPTEMBER 2007 Hlm 110-111

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...