Sunday, August 16, 2009

Kependudukan, Kunci Masa Depan

Demokrasi politik melalui pemilihan langsung menghasilkan pelaku-pelaku baru di bidang pengambilan keputusan yang berorientasi jangka pendek. Kebanyakan dari mereka tak paham arti ”kebijakan publik”, terutama masalah kesejahteraan yang terkait dengan human capital investment melalui Program Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) yang berperspektif jangka panjang.

Karena orientasinya lima tahunan, para pemimpin berlomba-lomba mengklaim ”hasil karya”-nya agar dapat terpilih lagi. Kerja yang lebih banyak didasari kepentingan politik itu tak mampu (dan tak mau) melihat jauh ke depan, khususnya yang terkait dengan kualitas penduduk, sandaran masa depan bangsa.


Tidak jauh berbeda dari masa lalu, saat ini pun pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai mantra yang dapat mengatasi semua persoalan. Segala cara dilakukan untuk menggenjot ”pertumbuhan”, termasuk di antaranya pengaplingan dan eksploitasi sumber daya alam dengan pemberian izin kepada perusahaan- perusahaan transnasional maupun korporasi nasional, ekspor manusia (sebagian besar dengan tingkat pendidikan rendah) sebagai buruh di luar negeri, dan utang.

Banyak kebijakan lebih didasari kepentingan pihak yang kuat meski kerap mengatasnamakan ”kesejahteraan rakyat”. Adapun rakyat yang semakin kehilangan akses pada sumber daya lokal dengan mudah dijadikan obyek yang mudah dipecah belah.

Seluruh kerja dan upaya dengan perspektif panjang bukanlah wilayah yang ”menggiurkan” dalam politik kekuasaan karena hasilnya tak dapat ditengarai dalam waktu singkat. Hanya negarawan yang akan mengambil risiko itu.

Pembelajaran

Jejak sejarah memberikan gambaran yang seharusnya memberikan pembelajaran. Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive (2005) menyebutkan, penyebab kehancuran suatu bangsa pada masa lalu adalah musnahnya manusia karena degradasi lingkungan dan sumber daya alam yang parah, penyakit, perang antarnegara, maupun konflik karena elite politik terus-menerus berebut kekuasaan.

Proses itu terus berlanjut. Afrika adalah ”the lost continent” karena konflik dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus, kehancuran lingkungan, dan meruyaknya infeksi menular, khususnya tuberkulosis (TB), malaria, dan HIV/AIDS.

Kolaps pada zaman ini juga disebabkan ledakan pertumbuhan penduduk yang dibarengi rendahnya kualitas dan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, pengangguran dengan segala dampaknya, serta kehancuran lingkungan dan sumber daya alam dalam arti luas.

Faktor lain terkait dengan bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, penyakit akibat gaya hidup maupun kerusakan lingkungan, apalagi kalau ditambah ketegangan terus- menerus antarelite politik yang memicu konflik horizontal maupun vertikal. Ujung dari semuanya sama: kehancuran.

Semua persoalan itu terkait dengan masalah kependudukan sekaligus tercakup dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Sejarah menunjukkan, gagal atau berhasilnya suatu bangsa melewati masa-masa kritisnya dan terus maju tergantung dari bagaimana bangsa itu menghadapi masalah-masalah kependudukan, yang semuanya bermuara pada human capital investment.

Berjalan mundur

Kependudukan adalah persoalan rumit yang tak bisa lagi direduksi sebagai Program KB pada masa lalu, yang bersifat sentralistik dan koersif karena mereduksi seluruh pengalaman manusia sebagai angka. Namun, aspek kuantitas pun mengalami kemunduran pada Orde ”Reformasi” ini.

Indikatornya banyak. Selain penurunan tingkat fertilitas (TFR) yang mandek, penurunan angka kematian bayi dan balita (IMR) serta angka kematian ibu melahirkan (MMR) juga lambat, angka kurang gizi balita tetap tinggi, kinerja akademik anak tidak optimal, meningkatnya penyakit-penyakit yang menggerogoti produktivitas, seperti TB, malaria, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit-penyakit oportunistik akibat virus HIV/AIDS, diare, anemia, dan lain-lain.

Kemunduran juga dipicu perubahan sosial, terkait dengan ideologi. Pandangan ekstrem telah memasuki kelompok intelektual dan menengah dan dalam sistem politik. Bahkan, ada partai politik anti-KB. Pandangan pronatalis menguat pada era otonomi daerah, seiring dengan menguatnya identitas karena besarnya dana alokasi umum tergantung besarnya jumlah penduduk.

Jawaban terhadap semua tantangan itu menentukan apakah ”jendela peluang” dalam kependudukan akan terbuka atau menutup lagi. Program Kesehatan dan KB menentukan berhasil atau tidaknya meraih buah dari bonus demografi.

Namun, Program Kesehatan harus difokuskan pada yang sehat; program pendidikan tak hanya dilihat sebagai bekal kompetisi di pasar kerja, dan Program KB harus dipahami lebih luas dari pengendalian jumlah penduduk, terkait dengan human capital investment. Program Kesehatan Ibu-Anak (KIA) dengan pendekatan life-cycle approach penting untuk menjamin kualitas manusia.

Semua itu membutuhkan pemimpin yang visioner; yang tahu pentingnya human capital investment, dan menempatkan kesejahteraan serta martabat bangsa di atas segalanya. Mari kita tunggu hasil pemilu!

PENULIS: MARIA HARTININGSIH, Kamis, 16 April 2009 | 02:46 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/16/02464683/kependudukan.kunci.masa.depan

"Tax Haven", Tempat Penggelap Pajak Berlindung

EKONOMI GLOBAL

Lebih dari 400.000 perusahaan dunia memiliki alamat di sebuah pulau kecil di British Virgin Islands. Namun, jangan membayangkan alamat itu berwujud kantor-kantor mewah. Wujud ”perusahaan” di sana hanya berupa setumpuk dokumen yang berjejalan di gedung kumuh berlantai dua. Perusahaan yang hanya tercantum di atas secarik dokumen ini disebut sebagai perusahaan kertas (paper company).

Sebagian besar perusahaan di pusat finansial di Karibia itu tidak memiliki pegawai. Semua melaksanakan bisnisnya nun jauh dari Lautan Karibia, sebagian besar juga berniat menghindari pajak di tanah air asalnya.


British Virgin Islands (BVI) menerima keberadaan paper company dengan tangan terbuka. Tentu saja karena para pebisnis asing itu menyumbangkan lebih dari setengah pendapatan Pemerintah BVI. Kedatangan para pebisnis asing itu juga menjadikan BVI sebagai salah satu tempat yang paling makmur di kawasan.

Diperkirakan ada aset sekitar 7,3 triliun dollar AS disembunyikan di beberapa pusat finansial di dunia, selain di BVI, oleh perusahaan dan orang kaya. Mereka melakukan itu untuk melindungi operasional mereka. Salah satu tujuan utama adalah mengurangi beban pajak yang seharusnya mereka bayar.

Walau markas nyata dan bisnis utama mereka ada di AS, misalnya, bisnis mereka tercatat bermarkas di tax haven. Ini bertujuan menghindari pajak penghasilan yang bisa mencapai 50 persen di negara maju.

Perusahaan yang beralamat di wilayah tax haven biasanya menjadi alat saja untuk menghindari pajak di negara asalnya. Selain itu, di wilayah tax haven juga dapat dilakukan pengelabuan nilai aset, pencucian uang hasil kejahatan, serta pengalihan aset. Sekarang, tempat-tempat seperti itu mendapat sorotan dan kecaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Definisi

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengidentifikasikan tiga faktor yang membuat sebuah wilayah hukum dapat dikelompokkan menjadi tax haven.

Pertama, pajak yang sangat rendah, bahkan tidak ada pajak, dan menyediakan diri sebagai tempat pelarian bagi warga asing yang menghindari pajak.

Kedua, ada perlindungan ketat terhadap informasi mengenai nasabah. Dengan perlindungan ini, perusahaan atau individu memiliki keuntungan dengan menyembunyikan data sebenarnya dari otoritas pajak di negara asalnya dan hal itu sah menurut perundang-undangan di tax haven.

Faktor ketiga adalah tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven ini.

Ada beberapa alasan mengapa sebuah negara atau wilayah ingin menjadi tax haven. Beberapa negara menyatakan mereka tidak perlu membebankan pajak terlalu tinggi seperti yang dilakukan negara maju untuk memenuhi target penerimaan negara.

Beberapa tax haven menawarkan pajak rendah sebagai penarik bagi konglomerat negara lain untuk datang dan melakukan alih teknologi.

Banyak negara maju menyatakan tax haven bertindak tidak adil dengan mengurangi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka. Beberapa kelompok juga menyatakan bahwa para pencuci uang menggunakan tax haven secara masif.

Para pemimpin G-20 yang pekan lalu bertemu di London memperingatkan negara yang menolak berbagi informasi pajak akan mendapatkan sanksi berat. Sasaran G-20 adalah tax haven, yang melindungi korporasi penghindar pajak. Karena didera krisis finansial yang cukup hebat, negara-negara maju menginginkan agar pajak yang seharusnya menjadi hak mereka tetap jadi hak mereka.

Beberapa angka fantastis terlibat dalam permainan global, terkait tax haven. Antara 30-40 persen dari aktivitas perdagangan global, yang tidak tercatat

pada rekening bank, atau perusahaan transaksi perdagangan, tetapi di tax haven, setidaknya demikian laporan Jaringan Keadilan Pajak yang bermarkas di London.

Hilang setiap tahun

”Di AS saja, 100 miliar dollar AS pendapatan pajak hilang setiap tahun karena penggelapan pajak,” kata Senator Carl Levin yang telah mensponsori dua rancangan undang-undang yang menghancurkan tax haven.

Boston Consulting Group (BCG) memperkirakan ada aliran dana sebesar 7,3 triliun dollar AS ke pusat finansial di luar AS.

Di BVI, perusahaan terdaftar di Komisi Jasa Finansial (FSC) setempat yang berlokasi berseberangan dengan toko pemasok alat tulis kantor. Sebuah plakat di depannya bertuliskan ”Waspada, Integritas dan Terpercaya”.

Pemerintah menyatakan FSC terlibat tindakan pencucian uang, tetapi tidak memiliki kemampuan melakukan investigasi. Laporan keuangan tidak diharuskan disimpan. Dokumen perusahaan tidak melampirkan identitas pemegang saham maupun susunan dewan direksi.

Keadaan yang sangat ”permisif” itu membuat BVI sebagai salah satu tempat pendaftaran perusahaan terbesar di dunia. Demikian pula Delaware di AS, sebagian besar perusahaan menganggapnya tempat yang sangat penting untuk berbisnis.

Menurut OECD, bersama beberapa wilayah lainnya, BVI tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain. Karena itu, BVI dimasukkan ke dalam daftar abu-abu tax haven.

Upaya keluar

Empat wilayah yurisdiksi lainnya masuk daftar hitam OECD, yakni Filipina, Uruguay, Kosta Rika, dan Labuan di Malaysia.

Salah satu cara untuk keluar dari daftar itu adalah menandatangani setidaknya 12 kesepakatan mengenai kewajiban pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.

Beberapa negara atau teritorial tax taven bergegas setelah munculnya ancaman OECD. Maklum, di BVI, misalnya, sebanyak 24.000 orang khawatir kehidupan ekonomi mereka akan berakhir. Pendapatan dari pendaftaran perusahaan asing sudah dapat digunakan untuk membangun universitas dan sebuah rumah sakit di situ.

Perdana Menteri BVI Ralph T O’Neal, mantan guru sekolah berusia 75 tahun yang memimpin kepulauan itu, menyatakan, serangan terhadap tax haven merupakan serangan kolonialisme dari negara maju yang mendiktekan standar untuk operasi finansial, khususnya ketika mereka tidak taat terhadap aturan mereka sendiri.

Beberapa wilayah yang termasuk daftar hitam OECD akan kehilangan dukungan dari Bank Dunia dan IMF. Banyak kepulauan di Karibia yang masuk dalam daftar abu-abu, termasuk Monako, Liechtenstein, Panama, Bermuda dan beberapa kepulauan di Pasifik. Tempat-tempat itu akan diawasi dan dapat memperoleh sanksi jika tidak dapat memenuhi aturan perpajakan.

Wakil Menteri Keuangan Malaysia Kong Cho Ha dan pejabat Kosta Rika akan meminta klarifikasi dari OECD.

Menteri Keuangan Uruguay Alvaro Garcia cepat-cepat mengirim surat yang intinya menyatakan Uruguay bukanlah tax haven. (AFP/OECD/JOE)

Selasa, 7 April 2009 | 03:15 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/07/03153446/tax.haven.tempat.penggelap.pajak.berlindung

182 Mata Air di DIY Kritis

Perlengkapan Irigasi Banyak Dicuri Orang

Sebanyak 182 dari total 760 mata air yang tersebar di empat kabupaten di DI Yogyakarta dalam kondisi kritis atau bahkan telah mati. Hal tersebut disebabkan semakin berkurangnya vegetasi dan maraknya pembangunan fisik yang tak terkendali sehingga mengurangi wilayah resapan air.


"Banyaknya mata air yang mati terjadi sejak era reformasi ketika pembangunan gencar dilakukan," ujar Kepala Seksi Program Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Ayu Dewi Utari, dalam seminar peringatan Hari Air Dunia ke-17 di Embung Tambakboyo, Sleman, Selasa (5/5).

Lebih jauh, Ayu mengatakan dari data tahun 2007 itu wilayah paling banyak kehilangan mata air adalah Kabupaten Bantul sebanyak 103 mata air, Gunung Kidul (44), dan Sleman (32). Jumlah itu belum termasuk 273 mata air yang berkategori masih berfungsi, tetapi debetnya mengecil.

Mata air yang masih dalam kondisi baik di DIY dan bisa digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hanya berjumlah 305 buah. Akibat banyaknya mata air yang mati itu, kebutuhan air bersih masyarakat jadi tidak tercukupi, khususnya menjelang musim kemarau nanti.

"Warga terpaksa membeli atau mendatangkan air dari tempat yang jauh untuk kebutuhan sehari-hari dan mengairi sawah," kata Ayu. Jika perusakan vegetasi dan pembangunan fisik yang mengurangi resapan air tidak dikendalikan, ia khawatir hal ini akan memicu krisis air bersih di DIY pada tahun 2020 nanti.

Ayu menambahkan sebenarnya hal itu bisa dicegah jika dalam setiap pembangunan fisik di DIY mengikuti ketentuan peraturan daerah yang ada, yakni menyediakan satu sumur resapan atau membuat biopori yang dapat membantu penyerapan air ke dalam tanah. "Namun, dalam praktiknya hal itu masih belum dilakukan," ucapnya.

Rusak

Ketua Center for Environmental Studies Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Widodo Brontowijoyo mengatakan matinya mata air tersebut akibat model pembangunan nasional yang terlalu mementingkan aspek sipil-struktural semata, selain dipicu pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Dari catatannya, setiap tahun terjadi perubahan fungsi lahan hingga 1,14 persen di Kabupaten Sleman dan Bantul.

Kerusakan juga menimpa sekitar 20 persen dari total 2.094 bendung irigasi di Kabupaten Sleman tercatat dalam kondisi rusak. Hal ini dikhawatirkan akan menyulitkan pengairan sawah petani saat musim kemarau nanti.

"Mayoritas kerusakan karena faktor usia dan perlengkapan saluran irigasi banyak dicuri orang," kata Kepala Bidang Pengairan Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Sleman JB Widiyoko.

Meski demikian, Widiyoko mengatakan pihaknya masih berupaya memperbaiki bendung tersebut dengan skala prioritas. "Kami akan lebih dahulukan perbaikan bendung-bendung besar yang banyak dipakai petani," ucapnya. (ENG)

Sleman, Kompas - Kamis, 7 Mei 2009 | 15:33 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/07/15332999/182.mata.air.di.diy.kritis.

Mengatasi Global Warming Dengan Menjadi Vegetarian

Sumbangsih terbaik yang bisa anda lakukan untuk membantu mengatasi krisis iklim dunia.

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, pada November 2006 PBB telah merilis laporan mengejutkan yang berhasil membuka mata dunia bahwa ternyata 18% dari emisi gas rumah kaca datang dari aktivitas pemeliharaan ayam, sapi, babi, dan hewan-hewan ternak lainnya.

Di sisi lain, mobil, sepeda motor, truk-truk besar, pesawat terbang dan semua sarana transportasi lainnya yang bisa anda sebutkan hanya menyumbang 13% emisi gas rumah kaca.


Bayangkanlah kenyataan ini: ternyata penghasil utama emisi gas berbahaya yang mengancam kehidupan planet kita saat ini bukanlah mobil, sepeda motor, ataupun truk dn bis dengan polusinya yang menjengkalkan anda. Tetapi emisi berbahaya itu datang dari sesuatu yang nampak sederhana, tidak berdaya, dan nampak lezat di meja makan anda, yaitu daging!

Mungkin bagi anda hal ini sangat berlebihan. Tetapi ketahuilah bahwa laporan ini bukan dirilis oleh sekelompok ilmuwan paranoid yang tidak kompeten, ataupun peneliti dari tingkat universitas lokal. Laporan ini dirilis langsung oleh PBB melalui FAO (Food and Agriculture Organization – Organisasi Pangan dan Pertanian).

Tentu agak sulit membayangkan bagaimana mungkin seekor anak ayam yang terlahir dari telurnya yang begitu rapuh, yang terlihat begitu kecil dibandingkan luasnya planet ini, bisa memberikan pengaruh yang begitu besar pada perubahan iklim. Jawabannya adalah pada jumlah mereka yang luar biasa banyak. Amerika Serikat saja menjagal tidak kurang dari 10 miliar hewan darat setiap tahunnya (tidak termasuk ikan dan hewan laut lainnya). Bayangkan berapa banyak jumlahnya bila digabungkan denga seluruh dunia.

Untuk membantu anda membayangkan bagaimana seekor peternakan bisa menghasilkan emisi yang begitu besar, simaklah beberapa poin berikut ini:

  1. Pemeliharaan hewan ternak memerlukan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong dan lain-lain. Salah satu inefisiensi listrik terbesar adalah dari mesin-mesin pendingi untuk penyimpanan daging. Baik yang ada di peternakan maupun yang ada di titik-titik perhentian (distributor, pengecer, rumah makan, pasar dll) sebelum daging tersebut tiba di rumah/piring makan anda. Anda tentu tahu bahwa mesin-mesin pendingin adalah peralatan elektronik yang sangat boros listrik/energi.
  2. Transportasi yang digunakan, baik untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung peternakan lainnya (obat-obatan dll) menghasilkan emisi karbon yang signifikan.
  3. Peternakan menyedot begitu banyak sumber daya pendukung lainnya, mulai dari pakan ternak hingga obat-obatan dan hormon untuk mempercepat pertumbuhan. Mungkin sepintas terlihat seperti pendukung pertumbuhan ekonomi. Tapi dapatkah anda membayangkan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan tiap industri pendukung tersebut? Perekonomian yang maju tidak ada lagi artinya kalau planet kita hancur! Masih banyak sektor-sektor industri ramah lingkungan yang bisa dikembangkan di dunia ini. Jadi mengapa harus mengembangkan sektor yang membahayakan kehidupan kita semua?
  4. Peternakan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Demi pembukaan lahan peternakan, begitu banyak hutan hujan yang dikorbankan. Hal ini masih diperparah lagi dengan banyaknya hutan yang juga dirusak untuk menanam pakan ternak tersebut (gandum, rumput, dll). Padahal akan jauh lebih efisien bila tanaman tersebut diberikan langsung kepada manusia. Peternakan sapi saja telah menyedot makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Lebih dari jumlah populasi manusia di dunia. Kelaparan dunia tidak akan terjadi jika semua orang bervegetarian. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa seorang vegetarian menyelamatkan hingga setengah hektar pepohonan setiap tahunnya! Hutan hujan tropis mengalami penggundulan besar-besaran untuk menyediakan lahan peternakan. Limapuluh lima kaki persegi hutan tropis dihancurkan hanya untuk menghasilkan satu ons burger! Perusakan hutan sama dengan memperparah efek pemanasan global karena CO2 yang tersimpan dalam tanaman akan terlepaskan ke atmosfer bersamaan dengan matinya tanaman tersebut.
  5. Hewan-hewan ternak seperti sapi adalah polutan metana yang signifikan. Sapi secara alamiah akan melepaskan metana dari dalam perutnya selama proses mencerna makanan (kita mengenalinya sebagai bersendawa – glegekan kata orang jawa). Metana adalah gas dengan emisi rumah kaca yang 23 kali lebih buruk dari CO2. Dan miliaran hewan-hewan ternak di seluruh dunia setiap harinya melakukan proses ini yang ada akhirnya menjadi polutan gas rumah kaca yang signifikan. Tidak kurang dari 100 miliar ton metana dihasilkan sektor peternakan setiap tahunnya!
  6. Limbah berupa kotoran ternak mengandung senyawa NO (Nitrogen Oksida) yang notabene 300 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan CO2. Pertanyaannya adalah : memangnya seberapa banyak kotoran ternak yang ada? Di AS saja, hewan ternak menghasilkan tidak kurang dari 39,5 ton kotoran per detik! Bayangkan berapa banyak jumlah tersebut di seluruh dunia! Jumlah yang luar biasa besar itu membuat sebagian besar kotoran tidak dapat diproses lebih lanjut menjadi pupuk atau hal-hal berguna lainnya, akhirnya yang dilakukan oleh pelaku industri peternakan modern adalah membuangnya ke sungai atau ke tempat-tempat lain yang akhirnya meracuni tanah dan sumber-sumber air. Kontribusi gas NO dari sektor peternakan sangatlah signifikan!

Lakukanlah sesuatu! Jadilah vegetarian! Inilah hal yang terbaik yang bisa anda lakukan bila anda menyumbang sesuatu bagi usaha dunia mengerem pemanasan global, disamping dari segala penghematan listrik dan energi yang anda lakukan.

Penelitian Universitas Chicago telah menunjukkan bahwa seorang vegetarian dapat mengurangi emisi karbon hingga 1,5 ton setiap tahunnya! Jumlah ini bahkan lebih banyak dari mengganti mobil anda dengan Toyota Prius yang hanya menghemat 1 ton emisi karbon setiap tahunnya. Beberapa media massa luar negeri bahkan menyebut ”vegetarian is the new Prius!”.

Seribu orang yang beralih pola makan vegetarian sama dengan pengurangan 1.500 ton emisi karbon per tahun. Bila 10% saja dari penduduk Indonesia bervegetarian, kita telah mengurangi sedikitnya 30 juta ton emisi karbon per tahun! Suatu angka penghematan yang sangat fantastis!

I. Mahalnya Energi Fosil Yang Digunakan Di Sektor Peternakan (Sumber: Publikasi The New York Times tanggal 27 Januari 2008)

Banyak cara untuk menghitung energi yang diperlukan untuk menghasilkan daging dan makanan lainnya. Berikut contoh makanan dengan kandungan 320 kalori. Daging sapi membutuhkan energi bahan bakar fosil 16 kali lebih banyak daripada sayuran dan nasi. Perbandingannya sbb:

  1. (1 cup brokoli, 1 cup terong, 4 oz. kembang kol, 8 oz. nasi ) = 0,0098 galon.
  2. 6 oz. steak sapi = 0,1587 galon bensin = 16 kali lebih banyak.

II. Peternakan Memiliki Emisi Karbon Yang Lebih Besar

Kedua jenis makan di atas bahkan memperlihatkan perbedaan yang lebih besar lagi dalam emisi gas rumah kaca: daging sapai menghasilkan emisi rumah kaca 24 kali lebih besar daripada sayuran dan nasi. Perkiraan CO2 yang dihasilkan dari memproduksi kedua jenis makanan adalah sbb:

  1. Sayuran dan nasi = 0,4 pound.
  2. 6 oz. Daging sapi = 9,75 pound.

Sebagai tambahan dari emisi karbon yang digunakan untuk menghasilkan daging sapi, sapi menghasilkan metana dan nitrogen oksida yang berbahaya.

III. Arus Kotoran Hewan Ternak Yang Besar (Sumber: David Pimentel, Cornell University; Iowa State University)

Kebanyakan peternakan di AS dioperasikan oleh industri-industri besar yang menghasilkan kotoran hewan yang beratnya berkali-kali lipat dari berat hewan ternak itu sendiri. Danau-danau yang menjadi tempat pembuangan kotoran dapat mencemari udara dan sumber-sumber air di sekitarnya.

  1. Peternakan di AS menghasilkan 900 juta ton kotoran ternak setiap tahunnya. Kira-kira 3 ton kotoran untuk setiap orang warga AS. Emisi tersebut bila dibandingkan dengan Toyota Prius setara dengan 2 mobil.
  2. Seekor sapi seberat 1.100 pound dapat memproduksi kotoran kira-kira 14,6 ton setiap tahunnya. Berat ini setara dengan 10 mobil.
  3. Negara bagian Iowa menghasilkan 50 juta ton kotoran setiap tahunnya kira-kira 16,7 ton kotoran untuk setiap warganya. Berat ini setara dengan 11,4 mobil.

Sumber artikel: Buku ”Global Warming” dari Supreme Master TV.com

-Reported by Basur-

Friday, August 14, 2009

Kumbang "Cyborg" Dikembangkan untuk Misi Berbahaya

Michel Maharbiz, asisten profesor di Universitas California, AS, berhasil menciptakan generasi baru kumbang cyborg yang setengah robot. Di seekor kumbang, ia mencangkokkan sistem penerima sinyal, pengontrol mikro, baterai mikro, dan enam elektroda yang semuanya tersambung ke otak dan ototnya.

Ini tercipta dengan mengintegrasikan teknologi informasi, mesin, dan kimia. Dengan muatan lebih ringan daripada sekeping koin picisan itu, kumbang ini dapat dikendalikan dengan menggunakan remote control.

Serangga cyborg ini suatu hari dapat membawa sensor atau peralatan lain untuk mencapai lokasi yang tidak dapat dijangkau manusia atau sebagai robot terestrial yang digunakan untuk misi search and rescue (SAR).

"Dalam seabad mendatang, saya bertaruh, mesin seperti ini akan ada di mana-mana, tetapi telah direkayasa secara lengkap," ujar Michel Maharbiz.(www.technologyreview.com/YUN)

Selasa, 14 Juli 2009 | 08:31 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.comhttp://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/14/08313838/kumbang.cyborg.dikembangkan.untuk.misi.berbahaya

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...