Sunday, August 16, 2009

182 Mata Air di DIY Kritis

Perlengkapan Irigasi Banyak Dicuri Orang

Sebanyak 182 dari total 760 mata air yang tersebar di empat kabupaten di DI Yogyakarta dalam kondisi kritis atau bahkan telah mati. Hal tersebut disebabkan semakin berkurangnya vegetasi dan maraknya pembangunan fisik yang tak terkendali sehingga mengurangi wilayah resapan air.


"Banyaknya mata air yang mati terjadi sejak era reformasi ketika pembangunan gencar dilakukan," ujar Kepala Seksi Program Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Ayu Dewi Utari, dalam seminar peringatan Hari Air Dunia ke-17 di Embung Tambakboyo, Sleman, Selasa (5/5).

Lebih jauh, Ayu mengatakan dari data tahun 2007 itu wilayah paling banyak kehilangan mata air adalah Kabupaten Bantul sebanyak 103 mata air, Gunung Kidul (44), dan Sleman (32). Jumlah itu belum termasuk 273 mata air yang berkategori masih berfungsi, tetapi debetnya mengecil.

Mata air yang masih dalam kondisi baik di DIY dan bisa digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hanya berjumlah 305 buah. Akibat banyaknya mata air yang mati itu, kebutuhan air bersih masyarakat jadi tidak tercukupi, khususnya menjelang musim kemarau nanti.

"Warga terpaksa membeli atau mendatangkan air dari tempat yang jauh untuk kebutuhan sehari-hari dan mengairi sawah," kata Ayu. Jika perusakan vegetasi dan pembangunan fisik yang mengurangi resapan air tidak dikendalikan, ia khawatir hal ini akan memicu krisis air bersih di DIY pada tahun 2020 nanti.

Ayu menambahkan sebenarnya hal itu bisa dicegah jika dalam setiap pembangunan fisik di DIY mengikuti ketentuan peraturan daerah yang ada, yakni menyediakan satu sumur resapan atau membuat biopori yang dapat membantu penyerapan air ke dalam tanah. "Namun, dalam praktiknya hal itu masih belum dilakukan," ucapnya.

Rusak

Ketua Center for Environmental Studies Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Widodo Brontowijoyo mengatakan matinya mata air tersebut akibat model pembangunan nasional yang terlalu mementingkan aspek sipil-struktural semata, selain dipicu pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Dari catatannya, setiap tahun terjadi perubahan fungsi lahan hingga 1,14 persen di Kabupaten Sleman dan Bantul.

Kerusakan juga menimpa sekitar 20 persen dari total 2.094 bendung irigasi di Kabupaten Sleman tercatat dalam kondisi rusak. Hal ini dikhawatirkan akan menyulitkan pengairan sawah petani saat musim kemarau nanti.

"Mayoritas kerusakan karena faktor usia dan perlengkapan saluran irigasi banyak dicuri orang," kata Kepala Bidang Pengairan Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Sleman JB Widiyoko.

Meski demikian, Widiyoko mengatakan pihaknya masih berupaya memperbaiki bendung tersebut dengan skala prioritas. "Kami akan lebih dahulukan perbaikan bendung-bendung besar yang banyak dipakai petani," ucapnya. (ENG)

Sleman, Kompas - Kamis, 7 Mei 2009 | 15:33 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/07/15332999/182.mata.air.di.diy.kritis.

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...