Thursday, August 20, 2009

Timika Papua: Dulu Sumber Penghidupan, Kini Sumber Persoalan

Hujan deras yang mengguyur Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, pada Senin (20/7) malam itu tidak menyejukkan hati Atina Uwamang. Enam jam sebelumnya, Jonas Uwamang, mertua Atina, dicokok polisi.

Victor Beanal, kepala suku Amungme dari Kampung Tsinga, yang Senin siang itu bertandang ke rumah Jonas untuk merembuk rencana pernikahan kerabat mereka juga ditangkap.

”Lima polisi memasuki rumah kami, menendang pintu rumah, membongkar lemari, mengambil sejumlah barang kami. Polisi tidak memberi tahu mengapa mereka ditangkap,” tutur Atina lirih.

Jonas dan Victor adalah dua dari puluhan orang yang ditangkap terkait upaya polisi mengungkap rangkaian aksi pembakaran bus dan serangkaian penembakan areal PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terjadi sejak 8 Juli lalu. Jonas, Victor, dan puluhan orang lainnya akhirnya dilepas polisi karena tak cukup bukti terlibat aksi penembakan di lereng Gunung Ertsberg dan Grasberg.

Polisi masih menahan delapan tersangka yang membantu pelaku penembakan. Namun, hingga Rabu pekan lalu, pelaku utama penembakan belum ditemukan. Justru tiga penembakan terjadi lagi di areal PTFI Selasa pekan lalu.

”Di areal Freeport, kepentingan terlalu banyak. Kami tidak pernah memiliki kepentingan di situ. Kami hanya memiliki gunung itu (Ertsberg dan Grasberg). Namun, isinya kami tidak pernah tahu. Sekian tahun kami sudah miskin, satu hari pun tidak pernah makan tiga kali. (Penembakan) Itu orang lain punya persoalan. Kami rakyat mau hidup tenang. Saya minta, kembalikan warga yang ditangkap,” kata Thomas Wamang, salah satu tokoh suku Amungme, dalam dialog di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika, 24 Juli lalu.

Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Martinus Maturbongs, berpendapat, skeptisisme publik itu buah trauma panjang masyarakat suku Amungme dan Kamoro akibat berbagai peristiwa sejak PTFI beroperasi di tanah ulayat mereka. ”Trauma masyarakat Amungme-Kamoro berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang tidak ada proses hukum (atas pelanggaran HAM yang terjadi). Bagaimana orang dimasukkan dalam kontainer, dihilangkan. Masyarakat Amungme dan Kamoro merasa selalu jadi sasaran dan disudutkan,” kata Maturbongs di Timika, 24 Juli.

Tanah ulayat Gunung Ertsberg dan Grasberg dari generasi ke generasi menghidupi suku Amungme; sebagai tempat tinggal, lahan bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme. Dalam pandangan orang Amungme, gunung itu adalah ibu, yang air susunya menghidupi mereka. ”Namun, kami harus pergi meninggalkan tempat-tempat itu karena aktivitas pertambangan PTFI. Salah satu lokasi keramat kami, misalnya, kini menjadi bengkel di Tembagapura,” tutur Thomas Wamang.

PTFI mengupas kulit Gunung Ertsberg dan Grasberg untuk mendapatkan bijih batuan induk emas dan tembaga. Kupasan batuan kulit itu harus dibuang dan Cekungan Wanagon menjadi tempat penimbunan itu. Padahal, Cekungan Wanagon, yang juga tempat sakral bagi orang Amungme, khususnya penduduk Kampung Waa, Arowanop, dan Tsinga, tidak boleh diganggu. Setidaknya ada dua kecelakaan bendungan danau pecah yang mengakibatkan korban manusia maupun hewan (Laporan Tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Februari 2001).

Jutaan hingga miliaran metrik ton batuan induk tubuh bijih emas dan tembaga telah dan akan terus dikeruk dari Grasberg, untuk digerus agar kandungan emas dan tembaganya bisa dipisahkan. Sisa gerusan itu menjadi lumpur lembut (tailing) yang dialirkan ke areal seluas 230 kilometer persegi daerah pengendapan yang dimodifikasi di Sungai Ajkwa. Proses pembuangan tailing itu telah disetujui pemerintah, melalui persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K pada 1997 (Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, PTFI).

Sungai Ajkwa dan beberapa anak sungainya dari generasi ke generasi menjadi sumber penghidupan suku Kamoro. Di daerah aliran sungai itulah masyarakat peramu Kamoro hidup dengan budaya sungai, sagu, dan sampan mereka. Namun, justru di tempat peramu Kamoro menokok sagu, berburu binatang liar, menombak buaya, menangkap kepiting, ataupun mencari ikan itulah lumpur tailing harus diendapkan.

Tokoh suku Kamoro di Kampung Ayuka, Pius Nimaipouw, mengeluhkan hutan sagu ulayatnya yang kebanjiran limpahan air dan lumpur tailing. Akibatnya, rasa sagu mereka tidak enak. Mereka pun kemudian memilih membeli sagu di pasar.

Harus diakui, keberadaan PTFI adalah perintis pengakuan hak ulayat masyarakat pribumi di Indonesia. Tahun 1974 PTFI menyepakati Perjanjian Januari dengan para suku Amungme yang hak ulayatnya digunakan PTFI. Sejak 1996 hingga kini, sudah ada 300 juta dollar AS dana kemitraan (dana 1 persen) yang disalurkan PTFI kepada tujuh suku yang berbatasan dengan areal kontrak karya PTFI dan tinggal di Mimika.

Sejak 2001, PTFI juga memberikan kompensasi rekognisi hak ulayat atas kerugian delapan kampung suku Amungme dan Kamoro yang secara langsung terkena dampak aktivitas pertambangan PTFI. Menurut Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, total nilai dana perwalian itu sudah mencapai 26 juta dollar AS. Dan setiap tahun akan dikucurkan dana perwalian 1 juta dollar AS untuk Kampung Waa-Banti, Arwanob, Tsinga (ketiganya kampung suku Amungme), Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Ayuka, dan Tipuka (kelimanya kampung suku Kamoro).

Namun, Thomas Wamang justru berpendapat kucuran uang besar itu menjadi masalah baru. ”Dahulu kami sangat berhati-hati dengan uang. Sekarang, uang yang atur kehidupan kami. Ketika uang di saku, yang terjadi justru bar-bir-bor (pergi ke bar, mabuk bir, lalu ke lokalisasi).”

PTFI memang memberi manfaat besar bagi banyak pihak. Pajak, royalti, dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah pada 2007 mencapai 1,8 miliar dollar AS. PTFI menyerap tenaga kerja hingga 9.800 orang dan 98 persen di antaranya warga negara Indonesia. Total upah dan gaji karyawan sejak 1992 telah mencapai 1,4 miliar dollar AS. Sejumlah 45 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Mimika bersumber dari PTFI. Dan 25 persen pendapatan rumah tangga di Papua disediakan oleh PTFI.

Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalan sosial yang tak berujung.

Pertikaian antarkelompok, perang tradisional antarsuku, dan pendulangan emas dari tailing yang mengandung merkuri hanya sebagian contoh. Ditambah serangkaian penembakan misterius di areal PTFI, lengkap sudah tumpukan masalah di Mimika.

Penulis: Aryo Wisanggeni Genthong

Kamis, 20 Agustus 2009

Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/03124363/dulu.sumber.penghidupan.kini.sumber.persoalan

Opsi Terowongan Sepanjang 33 Km di Selat Sunda


Pemerintah memegang lima kajian pembangunan jalan akses yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatera. Selain opsi jembatan, ada juga alternatif akses berupa terowongan dasar laut atau terapung di bawah permukaan laut, seperti terowongan yang menghubungkan Inggris dan Perancis saat ini.

”Jika opsi terowongan yang dipakai, nilai investasinya mungkin rendah, sekitar Rp 49 triliun, tetapi jangka waktu pemakaiannya sangat singkat, yakni sekitar 20 tahun, sementara opsi jembatan memang butuh investasi hingga Rp 117 triliun, tetapi daya tahannya sanggup menampung lonjakan kendaraan hingga 100 tahun,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kantor Menteri Koordinator Perekonomian Bambang Susantono di Jakarta, Jumat (14/8).

Dalam Paparan Direktorat Bina Teknik, Ditjen Bina Marga, Departemen Pekerjaan umum yang disampaikan kepada wakil presiden terpilih Boediono pada awal pekan lalu disebutkan, pada tahun 2050 akan ada lalu lintas yang tidak tertampung 57.600 kendaraan per hari, jika Sumatera-Jawa masih bergantung pada feri. Hal itu disebabkan kapasitas maksimal feri saat ini hanya 18.000 kendaraan per hari.

Jika dikombinasikan antara feri dan terowongan, masih akan ada lalu lintas yang tidak tertampung sebesar 32.900-49.500 kendaraan per hari tahun 2050. Kapasitas maksimal feri dan terowongan hanya 16.600-33.200 kendaraan per hari.

Dengan demikian, opsi jembatan jadi pilihan ideal karena bisa menampung semua kendaraan hingga 100 tahun terhitung sejak tahun 2030, saat jembatan itu siap. Jembatan ini akan dibangun dengan enam jalur untuk dua arah dilengkapi rel ganda kereta api.

Menurut Bambang, jika jembatan dibangun tanpa jalur KA, investasi hanya Rp 83 triliun. Jika dibangun lengkap, anggaran yang diperlukan Rp 117 triliun. Itu dengan masa pembangunan 10 tahun.

Adapun terowongan diasumsikan sepanjang 33 kilometer, lebih panjang dibanding rencana pembangunan jembatan, yakni 27,9-29,2 km (hampir enam kali lebih panjang dari jembatan Surabaya-Madura).

Kelemahan terowongan adalah mengharuskan mobil menunggu kedatangan KA ketika hendak menyeberang. Waktu tempuh lebih lama 30-45 menit dibanding menggunakan apabila menggunakan jembatan.

Adapun kelemahan jembatan, antara lain, adalah tingginya pylon atau menara jembatan yang mencapai antara 460-520 meter. Akibatnya, ada risiko menara jembatan ditabrak pesawat terbang.

Tantangan

Namun, ada tantangan yang perlu segera dijawab sebelum proyek ini dilanjutkan, yakni adanya dua sesar atau patahan di dasar Selat Sunda yang belum diketahui perilakunya. Juga tantangan yang terkait aktifnya Gunung Krakatau, serta kedalaman Selat Sunda yang masih misteri dan diperkirakan ada palung sedalam 40 meter. Selain itu, belum ada penghitungan kecepatan arus dan kesiapan teknologi.

”Meskipun demikian, pembangunan jembatan atau terowongan ini sudah menjadi prioritas pemerintah,” ujar Bambang.

Lima kajian yang sudah masuk kepada pemerintah, yaitu kajian dari Wiratman and Associates, Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) dan Ditjen Bina Marga-Departemen Pekerjaan Umum, kajian Metro, peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Firmansyah, serta Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Jalan-Jembatan Departemen Pekerjaan Umum.

Wiratman merekomendasikan, jembatan panjang merupakan alternatif yang lebih baik dibanding terowongan. (OIN)

Selasa, 18 Agustus 2009 | 04:04 WIB

Jakarta, Kompas - http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/18/04044719/opsi.terowongan.sepanjang.33.km.di.selat.sunda

Daur Ulang Ponsel Kurangi Karbon Dioksida

Dari survey yang digelar Nokia, terungkap bahwa kesadaran masyarakat untuk mendaur ulang ponsel bekasnya masih minim. Padahal daur ulang akan berdampak sangat signifikan terhadap perubahan lingkungan. Sumber Foto: Kompas, 18 Agt 2009, Hal.32

Menurut survey Nokia tersebut, tiga dari empat orang tidak melakukan daur ulang terhadap ponsel ataupun aksesorisnya. Padahal 80% dari komponen posel Nokia dapat didaur ulang untuk menjadi bahan baku, sedangkan 20% lainnya dapat diolah sebagai sumber energi.

"Program Nokia Give & Grow ini adalah sebuah program Nokia Indonesia yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita semua dapat turut serta menyelamatkan lingkungan dengan memberikan ponsel ataupun aksesoris yang tidak terpakai, kemudian didaur ulang menjadi barang yang bermanfaat," ujar Bob McDougall kepada sejumlah wartawan di acara Media lunch Nokia, Darmawangsa hotel, Rabu (19/8/2009).

Program Nokia Give & Grow ini diselenggarakan Nokia dengan menggandeng Tes AMM sebagai perusahaan pendaur ulang ponsel.

Nokia percaya kontribusi setiap orang akan berdampak signifikan terhadap perubahan lingkungan. Karena dengan menyumbangkan 1 miliar ponsel beserta aksesorisnya sama dengan mengurangi emisi gas karbondioksida (CO2) dari 4 juta kendaraaan. ( eno / faw )

Jakarta, 19 Agustus 2009
Source:http://www.detikinet.com/read/2009/08/19/141136/1185678/398/daur-ulang-ponsel-kurangi-karbon-dioksida

Tuesday, August 18, 2009

"SPBU" Listrik di Depan Mata

Stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU yang mengisi premium, solar, dan sejenisnya lambat laun akan segera berakhir. Sebagai gantinya, kelak akan ada "SPBU" yang mengisi listrik untuk mobil listrik.

Tidak akan terlalu lama. Tidak dalam hitungan abad ataupun puluhan tahun. Produsen mobil asal Jepang, Nissan, misalnya, tahun 2012 mendatang akan meluncurkan secara massal mobil listrik. Seratus persen listrik. Bukan hibrida yang merupakan perpaduan dengan bahan bakar dari fosil. Oleh karena itu, Nissan berani mengatakan produksinya sebagai zero emision, tanpa emisi sama sekali. Ket Foto: Tempat pengisian tenaga listrik untuk mobil listrik yang diuji coba produsen mobil Nissan di Yokohama, Jepang, awal Agustus ini. Cukup 20-30 menit untuk mengisi ulang listrik pada mobil.

Mobil listrik produksi Nissan tersebut kini sudah dalam tahap uji coba. Ada beberapa tipe. Namun, yang membuatnya terasa unik adalah mobil tersebut, baik model, ukuran, maupun kapasitas penumpangnya, persis sama dengan mobil lain yang berbahan bakar dari fosil.

"Kami ingin melakukan perubahan, tetapi tetap menjaga agar pelanggan senantiasa merasa nyaman," kata Andy Palmer, Senior Vice President Product Planning, Program Management and Market Intelligence Nissan Motor Co Ltd di Yokohama Jepang, awal Agustus lalu. Soal harga jual, dia belum berani menyebutkan.

Perubahan iklim

Kehadiran mobil listrik ini memang merupakan tuntutan dunia. Seiring dengan pemanasan global dan perubahan iklim, semua pihak diminta untuk "mengerem" pemanasan global antara lain dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

Nissan Motor meresponsnya dengan memproduksi mobil listrik. "Mau tidak mau, pada masa mendatang listrik akan menjadi sumber energi dunia yang sangat diandalkan," kata Chief Operating Officer Nissan Motor Co Ltd Toshiyuki Shiga.

Di sisi lain, energi listrik bisa diperoleh dari berbagai sumber, mulai dari tenaga air, matahari, gas alam, tenaga angin, panas bumi, bahkan nuklir. Mendapatkan listrik pun tidak sulit, bisa di mana saja, termasuk di rumah tangga.

Faktor-faktor inilah yang menjadi pertimbangan Nissan langsung "meloncat" dengan memproduksi mobil listrik. Tanpa melalui mobil hibrida terlebih dahulu. Nissan memang berupaya serius menjadi produsen mobil pertama yang memproduksi mobil listrik secara massal.

Dalam uji coba di Yokohama, Jepang, awal Agustus lalu, mobil listrik tersebut melaju kencang tanpa suara dengan kecepatan 140 kilometer per jam. Mobil tersebut mampu menempuh perjalanan sejauh kira-kira 150 kilometer sebelum baterai dicharge ulang.

Kekhawatiran yang terjadi selama ini, antara lain daya jelajah mobil listrik terbatas karena persediaan tenaga listrik di baterai juga sangat terbatas. Nissan menjawabnya dengan membuat charger baterai yang mudah dilakukan di mana pun, termasuk di rumah.

Jika dilakukan di tempat pengisian baterai atau "SPBU" khusus baterai, waktu yang diperlukan sekitar dua jam. Namun, seiring dengan meningkatnya kualitas baterai lithium-ion modern, waktu pengisian baterai kelak hanya membutuhkan waktu 20 menit-30 menit.

Pengisian baterai juga bisa dilakukan di mana saja. Selain di "SPBU" khusus, pengisian juga bisa dilakukan di rumah makan, pusat perbelanjaan, toko buku, atau tempat-tempat umum lainnya yang menyediakan charger baterai. "Saat pengemudi beristirahat dan mobil diparkir, baterai mobil akan terisi," kata Teddy Irawan, Direktur Pemasaran PT Nissan Motor Indonesia.

Fenomena ini sekaligus merupakan peluang usaha baru karena "SPBU" listrik tak membutuhkan tempat luas dan modal besar seperti SPBU konvensional saat ini.

Tren dunia tentang penggunaan mobil listrik tentu menjadi tantangan tersendiri untuk Indonesia. Saat negara lain sudah berlimpah listrik, tak semestinya Indonesia yang berlimpah berbagai sumber energi justru mengeluh kekurangan listrik.

Selasa, 18 Agustus 2009 | 10:24 WIB

Oleh Try Harijono

Hentikan Pembukaan Lahan Perkebunan Baru

Greenpeace meminta pemerintah untuk menghentikan sementara pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit karena berperan sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Desakan ini disampaikan pada konferensi pers di kantor Greenpeace, Cikini, Jakarta, Rabu (12/8). Ket Foto: Perkebunan Sawit

Greenpeace mengatakan hal ini karena melihat sebagian besar kawasan perkebunan yang dibuka berada di kawasan bergambut. Padahal ketika lahan gambut dibuka, itulah salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca.

"Kalau misalnya mereka mengelola lahan kritis yang sudah tebuka, pengaruhnya tetap ada. Tapi tidak sebesar yang sekarang," ujar Bustar Maitar, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.

Pada tahun 2008 Presiden SBY berjanji pada pertemuan G8 di Jepang tahun 2008 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50 persen pada tahun 2009, terkait dengan kedudukan Indonesia sebagai penyumbang emisi gas kaca terbesar ketiga di dunia.

"SBY berkomitmen di Jepang, tapi sampai sekarang belum terlihat langkah-langkah riilnya," ujar Bustar. "Paling ada rencana aksi perdagangan karbon, tetapi itu tidak bisa menyelesaikan masalah," lanjutnya.

Menurut Bustar, Greenpeace tidak menentang perkebunan kelapa sawit. Mereka berharap perusahaan bisa memanfaatkan secara optimal lahan yang ada. Contohnya adalah di Indonesia 1 hektar kebun menghasilkan 4 ton kelapa sawit, kalah dibandingkan Malaysia yang bisa menghasilkan 7 ton dalam 1 hektar.

"Kami tidak anti, malah mendukung perkebunan kelapa sawit karena menghasilkan devisa yang besar bagi negara. Yang kami tentang adalah pembukaan lahan baru tersebut," jelas Bustar.

Terpilihnya SBY sebagai presiden baru Indonesia menimbulkan harapan baru bagi Greenpeace. Mereka berharap SBY memilih orang-orang yang peduli terhadap lingkungan dan bisa membuat kebijakan yang mendukung lingkungan.

"Jika SBY masih memilih orang yang sama, artinya SBY akan memimpin penghancuran hutan di Indonesia. Kenapa? Karena orang-orang yang sekarang pro terhadap perngrusakan hutan," ujar Bustar.

Rabu, 12 Agustus 2009 | 16:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/12/16393193/hentikan.pembukaan.lahan.perkebunan.baru

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...