Monday, September 7, 2009

Napoleon Takluk Akibat Tragedi Gunung Tambora?

Tentara Prancis diadang cuaca buruk

Letusan Hebat Gunung Tambora Pada April 1815 Bukan Saja Melumat Dan Meluluhlantakkan Tiga Kerajaan Kecil Di Pulau Sumbawa.

Letusan hebat Gunung Tambora pada April 1815 bukan saja melumat dan meluluhlantakkan tiga kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Lebih dari itu, nun jauh di daratan Eropa, tepatnya di Belgia, pasukan tentara di bawah komando penguasa Prancis, Jenderal Napoleon Bonaparte harus bertekuk lutut di tangan Inggris dan Prussia.

Ya, tiga hari setelah Tambora meletus dahsyat, tepatnya pada 18 Juni 1815, pasukan Napolean terjebak musuh. Pasalnya, di sepanjang hari itu cuaca memburuk. Hujan terus mengguyur kawasan tersebut. Padahal, tentara Prancis itu sedang menuju laga pertempuran.

Akibat cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi. 

Perang Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah. 

Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.

Kenneth Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996), Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo pada Juni 1815. 

Di Yogyakarta, letusan Tambora mengagetkan Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa yang berkuasa pada tahun 1811-1816 itu tadinya mengira ledakan itu berasal dari suara tembakan meriam musuh. Wajar saja demikian karena ketika itu teknologi komunikasi (telegram) memang belum tercipta sehingga letusan itu tak bisa disampaikan ke berbagai penjuru daerah dalam waktu yang relatif cepat.

Takut diserang musuh, Raffles pun lalu mengirim tentara ke pos-pos jaga di sepanjang pesisir untuk siap siaga. Perahu-perahu pun disiagakan. Apa boleh buat, dugaan Raffles keliru. Tak ada serangan musuh.
b siswo

Minggu, 06 September 2009 00:57 WIB
Posting by : ardawibowo

Gunung Tambora: Letusannya tercatat sebagai bencana alam terbesar di dunia.

 Sebagian Dari Kita Tentu Belum Tahu Kalau Gunung Tambora Pernah Tercatat Sebagai Gunung Api Tertinggi Di Indonesia. Itu Terjadi Sebelum Gunung Tersebut Meletus Dahsyat Pada April 1815.

Sebagian dari kita tentu belum tahu kalau Gunung Tambora pernah tercatat sebagai gunung api tertinggi di Indonesia. Itu terjadi sebelum gunung tersebut meletus dahsyat pada April 1815. Ketika itu puncak Gunung Tambora mencapai ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (dpl). Bandingkan dengan daratan tertinggi di Indonesia saat ini, yakni Puncak Jayawijaya, Papua, yang berketinggian sekitar 3.050 m dpl.


Usai Tambora meletus hebat, daratan di bagian puncak itu dimuntahkan ke berbagai arah. Akibatnya, ketinggian gunung api yang masih tersisa tinggal setengahnya, yakni sekitar 2.851 m dpl. 


Letusan yang amat mengerikan itu juga menyisakan sebuah kaldera yang sangat besar. Bahkan, menurut catatan, ukuran kaldera tersebut paling luas di Indonesia. Bayangkan, kaldera tersebut memiliki diameter sekitar 7 km, panjang maksimal 16 km, dan kedalaman 1,5 km. 


Kini, gunung api yang secara administratif berada di dua kabupaten; Dompu dan Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu meninggalkan kisah ajaib, bukan saja di Indonesia namun juga berdampak hingga ke berbagai penjuru dunia.

Sangat Mencekam


Tragedi itu bermula pada awal April 1815. Ketika itu kawasan di sekitar Gunung Tambora mulai bergetar. Getaran itu semakin menguat pada 10 April 1815, pukul 19.00 waktu setempat. Sejak saat itu hingga lima hari, ledakan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. 


Pada malam hari, dari kejauhan Tambora memang benar-benar terang benderang lantaran api yang terus memancar dari puncak gunung tersebut. Suasananya sangat mencekam. Gunung itu seolah berubah menjadi aliran api yang sangat besar.


Pada saat bersamaan, letusan itu juga memuntahkan gas panas, abu vulkanik, dan batu-batu ke arah bawah sejauh 20 km hingga ke laut. Desa-desa di sekitar Tambora pun musnah dilalap aliran piroklastik tersebut.


Menurut Haris Firdaus dalam bukunya berjudul Misteri-misteri Terbesar Indonesia (2008), tiga kerajaan kecil hangus dan hancur terkena lahar dan material letusan Gunung Tambora. Ketiga kerajaan itu adalah Pekat yang berjarak sekitar 30 km sebelah barat dari Tambora. Lalu, Kerajaan Sanggar berjarak 35 km sebelah timur Tambora, dan Kerajaan Tambora berjarak 25 km dari gunung tersebut. 


Hampir semua penghuni di tiga kerajaan tersebut tewas. Hanya dua orang yang berhasil selamat. Padahal, lokasi ketiga kerajaan itu tadinya sudah diusahakan cukup aman dari dampak letusan gunung api.
Letusan Gunung Tambora juga membawa material longsoran yang sangat besar ke laut. Longsoran itu menimbulkan tsunami di berbagai pantai di Indonesia seperti Bima, Jawa Timur, dan Maluku. Ketinggian tsunami tersebut ditaksir mencapai 4 meter. 


Bukan hanya itu, ledakan dahsyat tersebut juga menebarkan abu vulkanik hingga ke Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bahkan bau nitrat juga tercium hingga ke Batavia (kini Jakarta). Hujan besar disertai jatuhnya abu juga terjadi. 


Menurut para geolog, letusan itu merupakan bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Bayangkan, dibandingkan dengan letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883, ledakan Gunung Tambora lebih dahsat empat kali lipatnya. 


Letusan Gunung Tambora itu terdengar hingga ke Pulau Sumatera, Makassar, dan Ternate sejauh 2.600 km. Abunya juga diterbangkan sejauh 1.300 km dengan ketinggian 44 km dari permukaan tanah. Volume debu ditaksir mencapai 400 km3.


Saking tebalnya debu-debu yang berterbangan di langit, sepanjang daerah dengan radius 600 km dari gunung tersebut terlihat gelap gulita selama dua hari. Maklum, sinar matahari tak mampu menembus tebalnya abu-abu tadi.


Daerah paling menderita tentu saja yang berdekatan dengan lokasi Gunung Tambora. Menurut ahli botani Swis, Heinrich Zollinger, dalam seketika letusan ini menewaskan sekitar 10.000 orang. 


Setelah itu, jumlah kematian karena kelaparan di Sumbawa mencapai 38.000 orang dan di Lombok 10.000 orang. Sumber lain menyebutkan, letusan itu telah menyusutkan populasi penduduk Sumbawa hingga tersisa hanya 85.000 orang.

Jumlah Korban Meluas


Bukan hanya itu. Jumlah korban tewas juga meluas hingga ke Pulau Bali, yakni mencapai 10.000 orang. Dampak berikutnya, sebanyak 49.000 orang tewas karena penyakit dan kelaparan.


Mengapa terjadi bencana kelaparan yang berkepanjangan? Ada beberapa alasan. Pertama, semua tumbuhan di Pulau Sumbawa ketika itu hancur total akibat tertutup abu tebal dan dilalap api. 


Kedua, selama dua minggu awan tebal masih menyelimuti daerah-daerah di sekitar Gunung Tambora, termasuk Bali. Dampaknya, banyak tanaman budidaya hancur dan gagal panen.


Ketiga, partikel-partikel abu itu dalam jangka waktu lama masih berada di atmofer dengan ketinggian 10 – 30 km. Akibatnya, siklus iklim menjadi tak menentu dan petani pun tidak bisa memanen tanaman budidayanya.
Kekacauan iklim juga melanda kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Setahun setelah letusan itu, pada 1816, kawasan tersebut mengalami tahun tanpa musim panas. Cuaca di kawasan tersebut berubah total. Maklum, partikel abu tadi masih membungkus atmosfer bumi sehingga menghalangi sinar matahari menerobos ke permukaan tanah. 


Paceklik pun melanda Kanada, AS, Inggris, dan lain-lain. Udara beku yang terjadi di negara-negara tersebut menghapuskan impian para petani. Penduduk pun kekurangan bahan makanan.


Dampak terparah dialami Irlandia. Di sana curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas. Sekitar 65.000 orang mati kelaparan dan terkena wabah tipus. Wabah ini lalu menyebar ke Eropa dan menewaskan 200.000 orang. 


Letusan Gunung Tambora memang tragis. Letusan itu melenyapkan ratusan ribu manusia, baik mereka yang terkena dampak langsung maupun tak langsung. Kisah memilukan ini sesuai dengan nama Tambora yang berasal dari dua kata; ta dan mbora yang berarti ajakan menghilang.


Menurut mitos yang berkembang, masyarakat di sekitar gunung percaya, kabarnya ada sekitar 4.500 pendaki, pemburu, dan penjelajah yang hilang. Mereka itu tak pernah ditemukan di Gunung Tambora yang kini diselimuti hutan dengan aneka bunga anggrek yang sangat mempesona. b siswo



Minggu, 06 September 2009 01:57 WIB

Posting by : ardawibowo

Sunday, September 6, 2009

Malaysia Tenggelam dalam Krisis Identitas

Direktur Jenderal (Dirjen) Asean Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia, Djauhari Oratmangun, menegaskan, Malaysia saat ini sedang mengalami krisis identitas.

"Malaysia sedang mengalami krisis identitas dan sedang dalam proses mencari jati diri," kata Dirjen Oratmangun, saat dikonfirmasi menyangkut klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia, di Ambon, Sabtu (5/9).

Oratmangun yang berada di Ambon sejak Rabu (3/9) dalam rangka melakukan serangkaian pertemuan dengan Pemprov Maluku dan Pemkot Ambon, mengatakan 50 persen penduduk di Malaysia adalah keturunan Melayu dan sisanya dari China dan India. Ia menegaskan, orang Melayu saat ini sedang mencari identitas dirinya.

"Suka atau tidak suka, 50 persen orang Malaysia adalah keturunan Indonesia dan mereka membawa budaya itu ke sana," kata Oratmangun.

Begitu pun tari reog Ponorogo yang pernah menjadi masalah di Malaysia, sebenarnya juga diperkenalkan dan ditarikan oleh orang Ponorogo yang sudah bermukim di sana selama tiga generasi. Khusus tari pendet dari Bali yang diklaim sebagai kebudayaan Malaysia, Djauhari menerangkan, iklan tersebut diproduksi untuk promosi wisata negara itu, tetapi saat diproduksi tidak ada tari pendet.

Namun, Discovery Chanel yang menayangkan iklan tersebut kemudian menambahkan tari itu dalam iklannya.
"Kesalahannya adalah Discovery tidak menyebutkan bahwa tari pendet berasal dari Indonesia," kata Oratmangun.

Ia menegaskan Pemerintah Indonesia sudah mengirim surat protes yang diakui sebagai produk hukum internasional kepada Pemerintah Malaysia dan telah diterima.

"Mereka telah menerima klaim kalau itu (tari pendet) adalah milik kita. Penyelesaian secara diplomasi telah kita lakukan dan itu sudah cukup, apalagi Presiden Susilo Bambang Yudyohono juga telah melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Malaysia," ujarnya.

Lagi pula, kata Djauhari, Malaysia tidak pernah mengklaim secara resmi bahwa tari pendet adalah milik Malaysia, dan itu hanya klaim di internet. Djauhari Oratmangun meminta seluruh masyarakat Indonesia menilai persoalan ini secara positif bahwa produk budaya Indonesia ternyata sangat laku dijual.

"Ini membuktikan budaya kita sangat kuat dan terkenal di dunia internasional. Kelemahan orang Indonesia adalah jarang memelihara budayanya dan baru akan protes jika pihak luar mengklaim suatu produk budaya kita sebagai budaya mereka," katanya

Dia juga menyesalkan sikap media di Indonesia yang ramai memberitakan aksi protes terhadap budaya Indonesia yang diklaim negara tetangga, termasuk mempengaruhi masyarakat untuk melakukan ganyang terhadap negara tetangga itu.

Dia meminta media di tanah air lebih arif dan bijaksana memberikan masalah ini, mengingat presentase berita seni dan budaya di Indonesia di media nasional sangat jarang dimuat atau diulas secara luas. "Program acara atau berita untuk reservasi budaya kita sangat kurang di media nasional. Tetapi kalau budaya asing banyak," katanya.

Kalimantan: Satu Pohon Cuman Rp 1 Juta

BELUM lama ini penulis Citizen Journalism Tribun Kaltimyang menetap di Perancis, Dini Kusmana Massabuaubertandang ke kantor Tribun Kaltim. Selama dua hari ia jalan-jalan ke sejumlah objek wisata di Balikpapan bersama Adam, anak kandungnya. Berikut laporan perjalanan Dini, anak seorang profesor ahli jantung di RS Harapan Kita, Jakarta. Ket.Foto: Jembatan gantung di Canopy Bridge, amat mempesona. Pengunjung bisa uji nyali ketika melintasinya dari pohon ke pohon.

SEBELUM matahari semakin menyengat, kami bergerak menuju Canopy Brigde. Ditemani Budi, seorang guide, kami berjalan kaki sejauh 1 Km. Saran saya, sebelum masuk ke dalam hutan, sebaiknya perjalanan kali ini menggunakan guide. Mengapa? Saya yakin banyak informasi yang sangat berarti yang akan kami dapat.

Misalnya, mulai soal semua jenis tumbuhan yang kami lewati, lalu kejadian apa saja yang pernah melintasi hutan ini hingga lahirlah pembangunan Canopy Bridge. Dengan begitu, maka khasanah kami soal kekayaan ilmu pengetahuan semakin bertambah. Berjalan di dalam hutan dengan pepohonan menjulang bagaikan bersentuhan dengan langit, pemandangannya begitu mempesona. Sepanjang perjalanan menuju Canopy Bridge, ada bebagai jenis pohon yang bisa diadopsi. ”Untuk mengadopsi pohon, cukup bayar Rp 1 juta setahun lengkap dengan sertifikatnya,” kata Budi. Hemm guman saya, kirain hanya manusia dan hewan saja yang bisa diadopsi. Ternyata pohonpun tak mau kalah.

Kami saling bersenda gurau memikirkan pohon apa yang cocok untuk kami adopsi apalagi nama si pengadopsi akan dipasang pada selembar papan dan ditempatkan di depan pohon yang diadopsi. Dalam hati saya sangat memuji langkah semacam ini. Saya bayangkan andai saja setiap orang mau menyisihkan uang mereka demi kelestarian alam, tentu begitu banyak bencana alam yang bisa dihindari.

Baru beberapa menit berjalan, kami melihat sebuah pohon besar yang sudah tumbang dan melintangi jalan kami. ”Wow..! Besar banget pohonya. Adam mau coba loncatin,” kata seru Adam, anak tertua saya, penuh semangat. Pohon setinggi seratus meter yang melintang itu, kata sang pemandu wisata, usianya mencapai ratusan tahun.

Benar-benar mempesona melihat pohon itu. Apalagi ketika kami mencari ujung pohonnya, wah semakin terpesona saja kami dibuatnya. Adam lalu berdiri di atas pohon raksasa yang tumbang dan meminta saya mengabadikannya dengan kamera. Ia berlagak seperti Indiana Jones. ”Nanti mamah cetak ya karena Adam mau kasih lihat ke teman-teman Adam di sekolah. Petualangan Adam Si Indiana Jones di Borneo,” katanya.

Hari itu kamera kami nyaris tak pernah berhenti mengabadikan semua obyek yang menarik sebagai bahan dokumentasi kami. Mulai dari jenis pohon yang beraneka ragam bentuknya, tingginya, hingga jamur posfor yang bisa menyala dalam kegelapan. Ketika Canopy Brigde sudah berada di depan mata, saat itulah saya menyadari kalau rasa ketakutan saya terhadap ketinggian akan diuji. Canopy Brigde (jembatan tajuk di atas pohon) yang menghubungkan pohon satu dengan pohon lainnya dibangun Januari-Februari 1998, secara bertahap.

Pelaksananya adalah kontraktor dari Amerika Serikat. Yang membuat saya heran, untuk bangunan yang menurut saya hebat ini, hanya dibangun oleh enam orang tenaga asing dan dibantu oleh tiga orang tenaga lokal. Semua bangunan menggunakn kayu bangkirai dan baja antikarat (galvanized) asal dari AS. Konstruksi bangunan diperikarakan mampu bertahan 15-20 tahun, seiring dengan usia pohon penyangga.

***
ADAM sudah tak sabar ingin segera menaiki menara kayu yang tingginya mencapai sekitar 30 meter dari permukaan laut. Canopy ini juga memiliki jembatan penghubung antar pohon sepanjang 64 meter. Saya sebenarnya agak sedikit phobia dengan ketinggian dan ruang tertutup. Demi Adam, rasa takut harus saya hilangkan dan nyali pun terpaksa dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat. Lagi pula, belum tentu saya bisa mendapatkan kesempatan dua kali mengunjungi tempat ini.

Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim Achmad Subechi (Mas Bechi) yang mengaku sudah berkali-kali datang ke tempat ini, ternyata kalah nyali dengan Adam. Meski dibujuk dengan segala cara, ia ogah naik dan memilih menunggu di bawah sambil mengabadikan beberapa ekor monyet yang sedang bertenger di atas pohon. Di temani guide, Adam, saya dan Nani Tajriayani (Koordinator Milis Kaltim) kami menaiki menara kayu. Wah lumayan tinggi juga. Anak tangganya saja lebih dari seratus. Napas dibuat terengah-engah. Herannya, anak saya sama sekali tidak kelihatan kecapean. Ia malah setengah berlari menaiki anak tangga.

Sampai di ujung menara, hal yang paling saya takuti harus saya lakukan, menyeberang jembatan yang terbuat dari pohon dan tali tambang. Bayangkan bila memandang secara kasat mata, rasanya mana kuat jembatan ini menampung berat badan. Tapi oleh guide kami diyakinkan bahwa jembatan ini sangat kokoh. Bahkan dalam cuaca burukpun jembatan tetap kokoh menompang tubuh manusia tanpa masalah.
Keujiannya pun telah dibuktikan karena pembuatannya berdasarkan peneletian dan percobaan yang begitu panjang. ”Aduh..!” kata saya kepada Adam yang tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah jembatan. Ia meminta saya mengabadikannya dengan kameranya.

Sambil senyam-senyum Adam saya potret berkali-kali. Sementara saya sendiri agak berdebar apalagi ia bolak-balik melintas di atas jembatan. Ketika tiba giliran saya menyeberang, jantung ini rasanya mau copot. Dan semangat Adam menepis rasa takut saya. 

Ternyata memang benar, sekali berhasil melintasi jembatan menegangkan itu, selanjutnya ketakutan terasa berkurang. Pemandangan dari menara tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Antara senang, aneh, kagum dan seru berbaur jadi satu. Obyek wisata ini harus dipromosikan hingga ke luar negeri. Melihat hutan dari ketinggian seperti ini, saya yakin banyak wisatan asing apalagi mereka yang berjiwa petualang, mau datang ke tempat ini. Dalam hati saya berjanji, suatu kelak nanti saya akan datang kembali ke Kalimantan. Suami saya harus diajak untuk menikmati petualangan seru semacam ini.

Selama berada di Canopy Bridge, berkali-kali saya harus membujuk Adam agar mau turun. Rupanya dia merasa sangat terkesan. Saya lalu katakan bahwa esok hari kita sudah harus kembali ke Jakarta, sementara masih ada beberapa obyek wisata lainnya belum kita kunjungi. Alasan itulah yang membuat Adam, mau turun.

Begitu tiba kembali di pos utama Bukit Bangkirai, waktu shalat ashar sudah tiba. Saya ajak Adam untuk shalat bersama. Karena ingin bersembahyang mak, cottage yang sejak tadi hanya bisa saya nikmati dari luar, bisa saya ketahui bagaimana kondisi di dalamnya. Kami lalu diperbolehkan untuk beribadah di dalam salah satu cottage. Ternyata cukup bagus dan besar. Sehabis shalat, saya meminta Adam berdoa. Pintanya, semoga ia diijinkan Tuhan kembali memanjat menara Canopy Brigde bersama papa dan Bazile, adiknya... Amin... Kini saya sudah kembali bersama Adam ke Perancis dengan membawa segudang cerita keindahan Bumi Kalimantan Timur. (*)

MINGGU, 6 SEPTEMBER 2009 | 19:29 WIB

Perusakan Hutan Kaltim Belum Teratasi

Pembalakan dan pertambangan ilegal merusak Taman Nasional (TN) Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur. Namun, pemerintah pusat dan daerah dinilai belum sejalan sehingga kerusakan belum bisa diatasi.

Demikian mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus "Penguatan Upaya Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam di Kalimantan Timur: Kajian Kasus Taman Nasional Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto" di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kamis (15/1).

"Hutan primer dan sekunder tersisa yang cukup baik sekitar 50 persen," kata Kepala Balai TN Kutai Tandya Tjahjana. TN Kutai telah bertahun-tahun rusak akibat pembalakan ilegal, perambahan untuk pembangunan permukiman dan fasilitas publik, serta kebakaran. Ancaman bertambah dengan kabar terbitnya enam kuasa pertambangan batu bara dalam kawasan.

Kepala UPTD Pembinaan Pelestarian Alam Dinas Kehutanan Kaltim Wahyu Widi Heranata menyatakan, kondisi serupa juga terjadi di Tahura Bukit Soeharto. Kerusakan hutan belum teratasi karena penanganan tidak terpadu. Pemerintah pusat dan daerah masih memperdebatkan siapa yang berwenang dan harus mengatasi kerusakan kawasan.

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...