Sunday, September 6, 2009

Kalimantan: Satu Pohon Cuman Rp 1 Juta

BELUM lama ini penulis Citizen Journalism Tribun Kaltimyang menetap di Perancis, Dini Kusmana Massabuaubertandang ke kantor Tribun Kaltim. Selama dua hari ia jalan-jalan ke sejumlah objek wisata di Balikpapan bersama Adam, anak kandungnya. Berikut laporan perjalanan Dini, anak seorang profesor ahli jantung di RS Harapan Kita, Jakarta. Ket.Foto: Jembatan gantung di Canopy Bridge, amat mempesona. Pengunjung bisa uji nyali ketika melintasinya dari pohon ke pohon.

SEBELUM matahari semakin menyengat, kami bergerak menuju Canopy Brigde. Ditemani Budi, seorang guide, kami berjalan kaki sejauh 1 Km. Saran saya, sebelum masuk ke dalam hutan, sebaiknya perjalanan kali ini menggunakan guide. Mengapa? Saya yakin banyak informasi yang sangat berarti yang akan kami dapat.

Misalnya, mulai soal semua jenis tumbuhan yang kami lewati, lalu kejadian apa saja yang pernah melintasi hutan ini hingga lahirlah pembangunan Canopy Bridge. Dengan begitu, maka khasanah kami soal kekayaan ilmu pengetahuan semakin bertambah. Berjalan di dalam hutan dengan pepohonan menjulang bagaikan bersentuhan dengan langit, pemandangannya begitu mempesona. Sepanjang perjalanan menuju Canopy Bridge, ada bebagai jenis pohon yang bisa diadopsi. ”Untuk mengadopsi pohon, cukup bayar Rp 1 juta setahun lengkap dengan sertifikatnya,” kata Budi. Hemm guman saya, kirain hanya manusia dan hewan saja yang bisa diadopsi. Ternyata pohonpun tak mau kalah.

Kami saling bersenda gurau memikirkan pohon apa yang cocok untuk kami adopsi apalagi nama si pengadopsi akan dipasang pada selembar papan dan ditempatkan di depan pohon yang diadopsi. Dalam hati saya sangat memuji langkah semacam ini. Saya bayangkan andai saja setiap orang mau menyisihkan uang mereka demi kelestarian alam, tentu begitu banyak bencana alam yang bisa dihindari.

Baru beberapa menit berjalan, kami melihat sebuah pohon besar yang sudah tumbang dan melintangi jalan kami. ”Wow..! Besar banget pohonya. Adam mau coba loncatin,” kata seru Adam, anak tertua saya, penuh semangat. Pohon setinggi seratus meter yang melintang itu, kata sang pemandu wisata, usianya mencapai ratusan tahun.

Benar-benar mempesona melihat pohon itu. Apalagi ketika kami mencari ujung pohonnya, wah semakin terpesona saja kami dibuatnya. Adam lalu berdiri di atas pohon raksasa yang tumbang dan meminta saya mengabadikannya dengan kamera. Ia berlagak seperti Indiana Jones. ”Nanti mamah cetak ya karena Adam mau kasih lihat ke teman-teman Adam di sekolah. Petualangan Adam Si Indiana Jones di Borneo,” katanya.

Hari itu kamera kami nyaris tak pernah berhenti mengabadikan semua obyek yang menarik sebagai bahan dokumentasi kami. Mulai dari jenis pohon yang beraneka ragam bentuknya, tingginya, hingga jamur posfor yang bisa menyala dalam kegelapan. Ketika Canopy Brigde sudah berada di depan mata, saat itulah saya menyadari kalau rasa ketakutan saya terhadap ketinggian akan diuji. Canopy Brigde (jembatan tajuk di atas pohon) yang menghubungkan pohon satu dengan pohon lainnya dibangun Januari-Februari 1998, secara bertahap.

Pelaksananya adalah kontraktor dari Amerika Serikat. Yang membuat saya heran, untuk bangunan yang menurut saya hebat ini, hanya dibangun oleh enam orang tenaga asing dan dibantu oleh tiga orang tenaga lokal. Semua bangunan menggunakn kayu bangkirai dan baja antikarat (galvanized) asal dari AS. Konstruksi bangunan diperikarakan mampu bertahan 15-20 tahun, seiring dengan usia pohon penyangga.

***
ADAM sudah tak sabar ingin segera menaiki menara kayu yang tingginya mencapai sekitar 30 meter dari permukaan laut. Canopy ini juga memiliki jembatan penghubung antar pohon sepanjang 64 meter. Saya sebenarnya agak sedikit phobia dengan ketinggian dan ruang tertutup. Demi Adam, rasa takut harus saya hilangkan dan nyali pun terpaksa dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat. Lagi pula, belum tentu saya bisa mendapatkan kesempatan dua kali mengunjungi tempat ini.

Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim Achmad Subechi (Mas Bechi) yang mengaku sudah berkali-kali datang ke tempat ini, ternyata kalah nyali dengan Adam. Meski dibujuk dengan segala cara, ia ogah naik dan memilih menunggu di bawah sambil mengabadikan beberapa ekor monyet yang sedang bertenger di atas pohon. Di temani guide, Adam, saya dan Nani Tajriayani (Koordinator Milis Kaltim) kami menaiki menara kayu. Wah lumayan tinggi juga. Anak tangganya saja lebih dari seratus. Napas dibuat terengah-engah. Herannya, anak saya sama sekali tidak kelihatan kecapean. Ia malah setengah berlari menaiki anak tangga.

Sampai di ujung menara, hal yang paling saya takuti harus saya lakukan, menyeberang jembatan yang terbuat dari pohon dan tali tambang. Bayangkan bila memandang secara kasat mata, rasanya mana kuat jembatan ini menampung berat badan. Tapi oleh guide kami diyakinkan bahwa jembatan ini sangat kokoh. Bahkan dalam cuaca burukpun jembatan tetap kokoh menompang tubuh manusia tanpa masalah.
Keujiannya pun telah dibuktikan karena pembuatannya berdasarkan peneletian dan percobaan yang begitu panjang. ”Aduh..!” kata saya kepada Adam yang tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah jembatan. Ia meminta saya mengabadikannya dengan kameranya.

Sambil senyam-senyum Adam saya potret berkali-kali. Sementara saya sendiri agak berdebar apalagi ia bolak-balik melintas di atas jembatan. Ketika tiba giliran saya menyeberang, jantung ini rasanya mau copot. Dan semangat Adam menepis rasa takut saya. 

Ternyata memang benar, sekali berhasil melintasi jembatan menegangkan itu, selanjutnya ketakutan terasa berkurang. Pemandangan dari menara tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Antara senang, aneh, kagum dan seru berbaur jadi satu. Obyek wisata ini harus dipromosikan hingga ke luar negeri. Melihat hutan dari ketinggian seperti ini, saya yakin banyak wisatan asing apalagi mereka yang berjiwa petualang, mau datang ke tempat ini. Dalam hati saya berjanji, suatu kelak nanti saya akan datang kembali ke Kalimantan. Suami saya harus diajak untuk menikmati petualangan seru semacam ini.

Selama berada di Canopy Bridge, berkali-kali saya harus membujuk Adam agar mau turun. Rupanya dia merasa sangat terkesan. Saya lalu katakan bahwa esok hari kita sudah harus kembali ke Jakarta, sementara masih ada beberapa obyek wisata lainnya belum kita kunjungi. Alasan itulah yang membuat Adam, mau turun.

Begitu tiba kembali di pos utama Bukit Bangkirai, waktu shalat ashar sudah tiba. Saya ajak Adam untuk shalat bersama. Karena ingin bersembahyang mak, cottage yang sejak tadi hanya bisa saya nikmati dari luar, bisa saya ketahui bagaimana kondisi di dalamnya. Kami lalu diperbolehkan untuk beribadah di dalam salah satu cottage. Ternyata cukup bagus dan besar. Sehabis shalat, saya meminta Adam berdoa. Pintanya, semoga ia diijinkan Tuhan kembali memanjat menara Canopy Brigde bersama papa dan Bazile, adiknya... Amin... Kini saya sudah kembali bersama Adam ke Perancis dengan membawa segudang cerita keindahan Bumi Kalimantan Timur. (*)

MINGGU, 6 SEPTEMBER 2009 | 19:29 WIB

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...