Monday, September 7, 2009

RUU LINGKUNGAN: 26 Kewenangan Siap Disahkan

Pembahasan maraton Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menunggu pengesahan, Selasa (8/9). Terdapat 26 kewenangan yang secara langsung akan memperkuat lembaga Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

”Hingga saat ini peluang disahkan sangat besar,” kata Ketua Panitia Khusus RUU PPLH Sonny Keraf ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (6/9). RUU diterima badan musyawarah pada Kamis pekan lalu.

Diakui Sonny, sejumlah pihak terkejut dengan besarnya kewenangan KNLH apabila RUU disahkan. Besarnya kewenangan memang sengaja diatur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang di antaranya mencantumkan bahwa hak atas lingkungan yang baik merupakan bagian dari hak asasi manusia dan pasal ekonomi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

”Tentu juga atas fakta kehancuran ekologi yang menimbulkan bencana besar terus-menerus,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup pada era pemerintah Abdurrahman Wahid itu. Atas dasar itu, kewenangan KNLH diperkuat.

Sejumlah kewenangan yang diatur, di antaranya menerbitkan izin lingkungan bagi kegiatan berskala besar dan penting, mengawasi kegiatan yang izin lingkungannya dikeluarkan KNLH dan daerah, mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan, mengembangkan dan melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan hidup, menangkap dan menahan orang, serta menggugat secara perdata apabila terjadi kerugian terhadap negara.

Ada juga kewenangan membuat kajian lingkungan hidup strategis secara nasional untuk pembangunan wilayah, perencanaan, dan program. Total terdapat 26 kewenangan, yang beberapa di antaranya baru diadopsi.

Koordinator Tim Ahli Pemerintah Mas Achmad Santosa mengatakan, penambahan kewenangan tersebut membutuhkan syarat pelaksanaan. Syarat tersebut, di antaranya, pengawasan ketat pelaksanaan di lapangan.

”Apabila tidak diantisipasi dengan baik, KNLH bisa menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi,” kata peneliti senior Pusat Studi Hukum Lingkungan (ICEL) itu.

Caranya, pembenahan menyeluruh melalui program reformasi birokrasi dan pengawasan internal (inspektorat) serta kontrol publik. (GSA)

Senin, 7 September 2009 | 03:34 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/07/03340578/26.kewenangan.siap.disahkan

PERLINDUNGAN OZON: Dana Pinjaman Pergantian "Chiller" Belum Diakses

Dana pinjaman lunak penggantian pendingin ruangan skala besar (chiller) hingga kini belum dimanfaatkan penanam modal dalam negeri dan badan usaha milik negara. Dana pinjaman multilateral disediakan Bank Kredit Pembangunan Jerman akhir tahun 2007 lalu.

Sebelumnya, peluang pendanaan dijajaki bersama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) dengan Bank Dunia.

”Kami belum tahu apa kendala penggantian chiller berbasis refrigeran tidak ramah lingkungan meskipun sudah ada akses pinjaman dana,” kata Asisten Deputi III Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Sulistyowati di Jakarta pada akhir pekan lalu.

Chiller AC biasa digunakan di gedung-gedung, seperti hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan rumah sakit. Chiller AC dengan bahan pendingin freon berbasis chlorofluorocarbon (CFC), yang dikenal sebagai refrigeran atau R-12 dan R-22, mendesak untuk diganti.

Penelitian internasional menunjukkan, molekul-molekul dalam CFC yang terpapar di angkasa menipiskan lapisan ozon dan memiliki potensi pemanasan global 3.750 hingga 10.720 kali karbon dioksida (CO). Jumlah yang sangat besar.

Menurut Kepala Bidang Pendanaan di bawah Deputi VII Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas KNLH Damayanti Ratunanda, Bank Kredit Pembangunan Jerman (KfW) bersedia menyediakan pinjaman hingga Rp 20 miliar per aplikasi kredit penggantian chiller.

Syaratnya, pinjaman hanya bisa diajukan perusahaan modal dalam negeri (PMDN) dan badan usaha milik negara (BUMN). ”Hingga kini belum ada yang memanfaatkan,” kata Damayanti Ratunanda.

Beberapa hotel di Bali dilaporkan pernah mengajukan, tetapi ditolak karena ternyata dimiliki asing (PMA). ”Saya tidak tahu, kenapa PMDN dan BUMN belum mengaksesnya,” kata Damayanti.

300 ”chiller”

Menurut Tri Widayati dari Unit Ozon Nasional, setidaknya ada 300 chiller AS berbasis freon CFC di Indonesia dengan total konsumsi CFC 150 metrik ton. Data Tim Teknis untuk Perlindungan Ozon menyebutkan, terdapat sekitar 3.500 chiller di Indonesia.

”Chiller AC berbasis freon HCFC (hydrochlorofluorocarbon) belum diwajibkan diganti,” kata Tri. Meskipun HCFC yang memiliki unsur klor, yang juga terkait pemanasan global, HCFC belum diwajibkan diganti dalam skema Protokol Montreal.

Indonesia, selaku peratifikasi Protokol Montreal di bawah Konvensi Wina, telah menghapus impor bahan perusak ozon jenis CFC per 1 Januari 2008. Konsekuensinya, refrigeran CFC, R-12 dan R-22, hanya menggunakan bahan sisa atau yang didaur ulang.

Faktanya, kebutuhan chiller AC masih saja tercukupkan. Hal tersebut diakui menimbulkan pertanyaan ketersediaan CFC di Indonesia. Tudingan diarahkan pada suplai dari penyelundupan yang beberapa kali terungkap. (GSA)

Napoleon Takluk Akibat Tragedi Gunung Tambora?

Tentara Prancis diadang cuaca buruk

Letusan Hebat Gunung Tambora Pada April 1815 Bukan Saja Melumat Dan Meluluhlantakkan Tiga Kerajaan Kecil Di Pulau Sumbawa.

Letusan hebat Gunung Tambora pada April 1815 bukan saja melumat dan meluluhlantakkan tiga kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Lebih dari itu, nun jauh di daratan Eropa, tepatnya di Belgia, pasukan tentara di bawah komando penguasa Prancis, Jenderal Napoleon Bonaparte harus bertekuk lutut di tangan Inggris dan Prussia.

Ya, tiga hari setelah Tambora meletus dahsyat, tepatnya pada 18 Juni 1815, pasukan Napolean terjebak musuh. Pasalnya, di sepanjang hari itu cuaca memburuk. Hujan terus mengguyur kawasan tersebut. Padahal, tentara Prancis itu sedang menuju laga pertempuran.

Akibat cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi. 

Perang Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah. 

Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.

Kenneth Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996), Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo pada Juni 1815. 

Di Yogyakarta, letusan Tambora mengagetkan Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa yang berkuasa pada tahun 1811-1816 itu tadinya mengira ledakan itu berasal dari suara tembakan meriam musuh. Wajar saja demikian karena ketika itu teknologi komunikasi (telegram) memang belum tercipta sehingga letusan itu tak bisa disampaikan ke berbagai penjuru daerah dalam waktu yang relatif cepat.

Takut diserang musuh, Raffles pun lalu mengirim tentara ke pos-pos jaga di sepanjang pesisir untuk siap siaga. Perahu-perahu pun disiagakan. Apa boleh buat, dugaan Raffles keliru. Tak ada serangan musuh.
b siswo

Minggu, 06 September 2009 00:57 WIB
Posting by : ardawibowo

Gunung Tambora: Letusannya tercatat sebagai bencana alam terbesar di dunia.

 Sebagian Dari Kita Tentu Belum Tahu Kalau Gunung Tambora Pernah Tercatat Sebagai Gunung Api Tertinggi Di Indonesia. Itu Terjadi Sebelum Gunung Tersebut Meletus Dahsyat Pada April 1815.

Sebagian dari kita tentu belum tahu kalau Gunung Tambora pernah tercatat sebagai gunung api tertinggi di Indonesia. Itu terjadi sebelum gunung tersebut meletus dahsyat pada April 1815. Ketika itu puncak Gunung Tambora mencapai ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (dpl). Bandingkan dengan daratan tertinggi di Indonesia saat ini, yakni Puncak Jayawijaya, Papua, yang berketinggian sekitar 3.050 m dpl.


Usai Tambora meletus hebat, daratan di bagian puncak itu dimuntahkan ke berbagai arah. Akibatnya, ketinggian gunung api yang masih tersisa tinggal setengahnya, yakni sekitar 2.851 m dpl. 


Letusan yang amat mengerikan itu juga menyisakan sebuah kaldera yang sangat besar. Bahkan, menurut catatan, ukuran kaldera tersebut paling luas di Indonesia. Bayangkan, kaldera tersebut memiliki diameter sekitar 7 km, panjang maksimal 16 km, dan kedalaman 1,5 km. 


Kini, gunung api yang secara administratif berada di dua kabupaten; Dompu dan Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu meninggalkan kisah ajaib, bukan saja di Indonesia namun juga berdampak hingga ke berbagai penjuru dunia.

Sangat Mencekam


Tragedi itu bermula pada awal April 1815. Ketika itu kawasan di sekitar Gunung Tambora mulai bergetar. Getaran itu semakin menguat pada 10 April 1815, pukul 19.00 waktu setempat. Sejak saat itu hingga lima hari, ledakan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. 


Pada malam hari, dari kejauhan Tambora memang benar-benar terang benderang lantaran api yang terus memancar dari puncak gunung tersebut. Suasananya sangat mencekam. Gunung itu seolah berubah menjadi aliran api yang sangat besar.


Pada saat bersamaan, letusan itu juga memuntahkan gas panas, abu vulkanik, dan batu-batu ke arah bawah sejauh 20 km hingga ke laut. Desa-desa di sekitar Tambora pun musnah dilalap aliran piroklastik tersebut.


Menurut Haris Firdaus dalam bukunya berjudul Misteri-misteri Terbesar Indonesia (2008), tiga kerajaan kecil hangus dan hancur terkena lahar dan material letusan Gunung Tambora. Ketiga kerajaan itu adalah Pekat yang berjarak sekitar 30 km sebelah barat dari Tambora. Lalu, Kerajaan Sanggar berjarak 35 km sebelah timur Tambora, dan Kerajaan Tambora berjarak 25 km dari gunung tersebut. 


Hampir semua penghuni di tiga kerajaan tersebut tewas. Hanya dua orang yang berhasil selamat. Padahal, lokasi ketiga kerajaan itu tadinya sudah diusahakan cukup aman dari dampak letusan gunung api.
Letusan Gunung Tambora juga membawa material longsoran yang sangat besar ke laut. Longsoran itu menimbulkan tsunami di berbagai pantai di Indonesia seperti Bima, Jawa Timur, dan Maluku. Ketinggian tsunami tersebut ditaksir mencapai 4 meter. 


Bukan hanya itu, ledakan dahsyat tersebut juga menebarkan abu vulkanik hingga ke Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bahkan bau nitrat juga tercium hingga ke Batavia (kini Jakarta). Hujan besar disertai jatuhnya abu juga terjadi. 


Menurut para geolog, letusan itu merupakan bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Bayangkan, dibandingkan dengan letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883, ledakan Gunung Tambora lebih dahsat empat kali lipatnya. 


Letusan Gunung Tambora itu terdengar hingga ke Pulau Sumatera, Makassar, dan Ternate sejauh 2.600 km. Abunya juga diterbangkan sejauh 1.300 km dengan ketinggian 44 km dari permukaan tanah. Volume debu ditaksir mencapai 400 km3.


Saking tebalnya debu-debu yang berterbangan di langit, sepanjang daerah dengan radius 600 km dari gunung tersebut terlihat gelap gulita selama dua hari. Maklum, sinar matahari tak mampu menembus tebalnya abu-abu tadi.


Daerah paling menderita tentu saja yang berdekatan dengan lokasi Gunung Tambora. Menurut ahli botani Swis, Heinrich Zollinger, dalam seketika letusan ini menewaskan sekitar 10.000 orang. 


Setelah itu, jumlah kematian karena kelaparan di Sumbawa mencapai 38.000 orang dan di Lombok 10.000 orang. Sumber lain menyebutkan, letusan itu telah menyusutkan populasi penduduk Sumbawa hingga tersisa hanya 85.000 orang.

Jumlah Korban Meluas


Bukan hanya itu. Jumlah korban tewas juga meluas hingga ke Pulau Bali, yakni mencapai 10.000 orang. Dampak berikutnya, sebanyak 49.000 orang tewas karena penyakit dan kelaparan.


Mengapa terjadi bencana kelaparan yang berkepanjangan? Ada beberapa alasan. Pertama, semua tumbuhan di Pulau Sumbawa ketika itu hancur total akibat tertutup abu tebal dan dilalap api. 


Kedua, selama dua minggu awan tebal masih menyelimuti daerah-daerah di sekitar Gunung Tambora, termasuk Bali. Dampaknya, banyak tanaman budidaya hancur dan gagal panen.


Ketiga, partikel-partikel abu itu dalam jangka waktu lama masih berada di atmofer dengan ketinggian 10 – 30 km. Akibatnya, siklus iklim menjadi tak menentu dan petani pun tidak bisa memanen tanaman budidayanya.
Kekacauan iklim juga melanda kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Setahun setelah letusan itu, pada 1816, kawasan tersebut mengalami tahun tanpa musim panas. Cuaca di kawasan tersebut berubah total. Maklum, partikel abu tadi masih membungkus atmosfer bumi sehingga menghalangi sinar matahari menerobos ke permukaan tanah. 


Paceklik pun melanda Kanada, AS, Inggris, dan lain-lain. Udara beku yang terjadi di negara-negara tersebut menghapuskan impian para petani. Penduduk pun kekurangan bahan makanan.


Dampak terparah dialami Irlandia. Di sana curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas. Sekitar 65.000 orang mati kelaparan dan terkena wabah tipus. Wabah ini lalu menyebar ke Eropa dan menewaskan 200.000 orang. 


Letusan Gunung Tambora memang tragis. Letusan itu melenyapkan ratusan ribu manusia, baik mereka yang terkena dampak langsung maupun tak langsung. Kisah memilukan ini sesuai dengan nama Tambora yang berasal dari dua kata; ta dan mbora yang berarti ajakan menghilang.


Menurut mitos yang berkembang, masyarakat di sekitar gunung percaya, kabarnya ada sekitar 4.500 pendaki, pemburu, dan penjelajah yang hilang. Mereka itu tak pernah ditemukan di Gunung Tambora yang kini diselimuti hutan dengan aneka bunga anggrek yang sangat mempesona. b siswo



Minggu, 06 September 2009 01:57 WIB

Posting by : ardawibowo

Sunday, September 6, 2009

Malaysia Tenggelam dalam Krisis Identitas

Direktur Jenderal (Dirjen) Asean Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia, Djauhari Oratmangun, menegaskan, Malaysia saat ini sedang mengalami krisis identitas.

"Malaysia sedang mengalami krisis identitas dan sedang dalam proses mencari jati diri," kata Dirjen Oratmangun, saat dikonfirmasi menyangkut klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia, di Ambon, Sabtu (5/9).

Oratmangun yang berada di Ambon sejak Rabu (3/9) dalam rangka melakukan serangkaian pertemuan dengan Pemprov Maluku dan Pemkot Ambon, mengatakan 50 persen penduduk di Malaysia adalah keturunan Melayu dan sisanya dari China dan India. Ia menegaskan, orang Melayu saat ini sedang mencari identitas dirinya.

"Suka atau tidak suka, 50 persen orang Malaysia adalah keturunan Indonesia dan mereka membawa budaya itu ke sana," kata Oratmangun.

Begitu pun tari reog Ponorogo yang pernah menjadi masalah di Malaysia, sebenarnya juga diperkenalkan dan ditarikan oleh orang Ponorogo yang sudah bermukim di sana selama tiga generasi. Khusus tari pendet dari Bali yang diklaim sebagai kebudayaan Malaysia, Djauhari menerangkan, iklan tersebut diproduksi untuk promosi wisata negara itu, tetapi saat diproduksi tidak ada tari pendet.

Namun, Discovery Chanel yang menayangkan iklan tersebut kemudian menambahkan tari itu dalam iklannya.
"Kesalahannya adalah Discovery tidak menyebutkan bahwa tari pendet berasal dari Indonesia," kata Oratmangun.

Ia menegaskan Pemerintah Indonesia sudah mengirim surat protes yang diakui sebagai produk hukum internasional kepada Pemerintah Malaysia dan telah diterima.

"Mereka telah menerima klaim kalau itu (tari pendet) adalah milik kita. Penyelesaian secara diplomasi telah kita lakukan dan itu sudah cukup, apalagi Presiden Susilo Bambang Yudyohono juga telah melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Malaysia," ujarnya.

Lagi pula, kata Djauhari, Malaysia tidak pernah mengklaim secara resmi bahwa tari pendet adalah milik Malaysia, dan itu hanya klaim di internet. Djauhari Oratmangun meminta seluruh masyarakat Indonesia menilai persoalan ini secara positif bahwa produk budaya Indonesia ternyata sangat laku dijual.

"Ini membuktikan budaya kita sangat kuat dan terkenal di dunia internasional. Kelemahan orang Indonesia adalah jarang memelihara budayanya dan baru akan protes jika pihak luar mengklaim suatu produk budaya kita sebagai budaya mereka," katanya

Dia juga menyesalkan sikap media di Indonesia yang ramai memberitakan aksi protes terhadap budaya Indonesia yang diklaim negara tetangga, termasuk mempengaruhi masyarakat untuk melakukan ganyang terhadap negara tetangga itu.

Dia meminta media di tanah air lebih arif dan bijaksana memberikan masalah ini, mengingat presentase berita seni dan budaya di Indonesia di media nasional sangat jarang dimuat atau diulas secara luas. "Program acara atau berita untuk reservasi budaya kita sangat kurang di media nasional. Tetapi kalau budaya asing banyak," katanya.

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...