Saturday, September 12, 2009

Selat Sunda dan Jembatan

KEGEMPAAN

Seusai gempa tektonik yang menerjang selatan Jawa Barat (Rabu, 2/9), kepanikan justru melanda penduduk pesisir Banten beberapa hari sesudahnya, akibat beredarnya isu tsunami. Kepanikan mungkin tidak akan terjadi jika masyarakat setempat memahami perilaku geologi Selat Sunda.

Belakangan ini perhatian banyak orang tengah mengarah ke Selat Sunda. Bukan hanya karena akan ada rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Namun, perhatian menjadi kian kuat setelah terungkap potensi kegempaan berkekuatan lebih dari 8 skala Richter yang berdasarkan pada data sejarah kegempaan tahun 1908.

Melihat intensitas gempa sebesar itu, kemudian muncul pertanyaan apa dan di manakah sumber gempa tersebut?

Untuk menemukan jawabannya, beberapa penelitian telah dilakukan sejak tahun 1983. Pada tahun itu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei geologi bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis (CNRS).

”Penelitian itu mencakup daratan dan lautan hingga ke Samudra Hindia,” urai Deputi Ilmu Kebumian LIPI Hery Haryono, yang saat itu menjadi ketua tim peneliti dari Indonesia.

Kerja sama Indonesia-Perancis bidang riset geologi-geofisika di Selat Sunda tersebut memakan waktu 10 tahun (1983-1993). Promotornya adalah Prof MT Zen—guru besar ITB, yang saat itu juga adalah Deputi Kepala BPPT dan Asisten Menneg Ristek—dan Prof X Le Pichon, ilmuwan Perancis yang terkenal dengan bukunya, Plate Tectonics.

Kerja sama riset ini juga melibatkan BPPT, Lemigas, PPGL-ESDM, ITB, UGM, Institut Kelautan Perancis (CNEXO), Lembaga Riset Seberang Lautan (ORSTOM), CNRS, dan beberapa universitas di Perancis.

Penelitian ini untuk pertama kalinya menggunakan kapal riset Indonesia, yaitu KR Baruna Jaya 3. Ekspedisi di laut mencakup survei seismik, aliran arus panas air laut, gaya berat bumi, medan magnetik, dan pemetaan dasar laut. Adapun di darat dilakukan penelitian tektonik aktif dengan pendekatan geologi ataupun seismologi.

Fokus penelitian kegempaan diarahkan pada segmen Semangko di Lampung. Dari data seismologi kemudian dibuat jejaring seismik yang melingkari Selat Sunda. Selain itu, dilakukan penelitian terumbu karang, untuk melihat jejak tsunami pada masa lalu.

Riset di Selat Sunda berangkat dari hipotesis bahwa kawasan itu berada di zona transisi subduksi normal Jawa ke subduksi miring Sumatera sehingga menghasilkan Selat Sunda dengan rezim tektonik ekstensi atau melebar. ”Terbukanya” Selat Sunda ini bersamaan dengan terbukanya Laut Andaman. Keduanya dihubungkan oleh Patahan Sumatera, jelas Hery yang juga menjadi Wakil Ketua International Union Geodesy dan Geology (IUGG) untuk Indonesia.

Hipotesis lain adalah Patahan Sumatera menerus ke Selat Sunda dan menerus hingga Palung Jawa. Selat Sunda terbuka akibat pergerakan lempeng busur luar Sumatera (Sumatera forearc plate) ke arah barat laut.

Lempeng mikro ini di timur dibatasi Patahan Sumatera, di barat oleh Palung Sumatera. Paper ini ditulis oleh Huchon dan X Le Pichon serta dimuat di jurnal Geology pada tahun 1984.

Hasil penelitian

Dari penelitian seismik tersebut tampak jelas bahwa Selat Sunda mengalami penurunan. Selain itu, tampak rezim ekstensi–sesuai hipotesis-dengan arah barat laut–tenggara.

Dari model gravitasi dilakukan rekonstruksi pembukaan Selat Sunda yang dimulai sejak 13 juta tahun yang lalu, kemudian makin cepat 10 juta tahun lalu, dan makin cepat lagi sekitar 5 juta tahun lalu.

Pergerakan atau perpindahan maksimum yang terjadi sejak 5 juta tahun lalu mencapai 50 km hingga 70 km. Jika diambil rata-rata pergerakan itu, kecepatannya sekitar 7 cm per tahun.

Dari studi perambatan gelombang gempa diketahui adanya beberapa kantong magma di kedalaman 3 km-9 km dan terdapat reservoir yang terletak lebih dalam, yaitu 20 km lebih.

”Kini studi semacam ini bisa dilakukan secara lebih detail dengan menggunakan teknik tomografi. Saya ingin ini bisa dilakukan lagi,” urai Hery, mantan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.

Dari gravitasi, khususnya di kompleks Krakatau, diperoleh model kaldera kolaps yang bisa jadi memicu tsunami tahun 1883. Menurut peneliti paleogeologi kelautan LIPI, Wahjoe S Hantoro, saat itu terjadi tsunami setinggi 30 meter di Merak, sedangkan di Jakarta mencapai ketinggian 2 meter.

Penelitian ini juga mengonfirmasi hipotesis tentang adanya terusan Patahan Semangko hingga ke palung atau subduksi di selatan Jawa Barat.

Penemuan Yusuf Surachman dari Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT pada tahun 2002 menguatkan temuan ini.

Busur luar Sumatera

Dari Selat Sunda penelitian bergeser ke busur luar Sumatera, tempat pulau-pulau Enggano, Mentawai, dan Nias berada. Pada pelayaran tahun 1991 inilah ditemukan Patahan Mentawai.

Sementara itu, penelitian pergerakan daratan di Selat Sunda menggunakan jejaring stasiun global positioning system (GPS), baik di Lampung, Banten, maupun Jawa Barat, yang dilakukan Kepala Pusat Geodinamika Bakosurtanal Cecep Subarya memperjelas adanya pembukaan selat tersebut di wilayah selatan.

Bagian utara Sesar Semangko berputar searah jarum jam, sedangkan di sisi Banten berputar melawan jarum jam. Bagian selatan Sesar Semangko, yaitu
di daerah Krui Lampung, terkunci.

Hal ini bisa memberi sedikit gambaran pola kegempaan yang kompleks di kawasan Selat Sunda. Hal ini mestinya dapat menjadi patokan dalam pembangunan infrastruktur, termasuk jembatan, yang rencananya akan dibangun untuk menghubungkan dua pulau: Jawa dan Sumatera.

Penulis: Yuni Ikawati
Sabtu, 12 September 2009 | 03:44 WIB

KESIAPSIAGAAN BENCANA: Integrasi Data Ditargetkan Selesai pada Tahun 2011

Integrasi data untuk menunjang kesiapsiagaan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, ditargetkan selesai 2011. Sumber data berasal dari tiga instansi, yaitu Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

”Selama ini data terintegrasi didapat dari Japan Meteorological Agency dan Pasific Tsunami Warning Center,” kata Kepala Intergovernment Coordination Group for The Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System Jan Sopaheluwakan, Jumat (11/9) di Jakarta.

Dari ketiga instansi itu tersedia data pasang-surut berbagai pantai dari Bakosurtanal. Data berikutnya adalah data pemantauan perilaku laut, terutama tsunami, melalui buoy oleh BPPT.

Kemudian data kegempaan dari BMKG. Jan mengakui, untuk mewujudkan integrasi data tersebut butuh kooordinasi yang tidak mudah. Dicontohkan, data batimetri atau data tiga dimensi lapisan tanah bawah laut yang mestinya disediakan Bakosurtanal selama ini belum terwujud sepenuhnya. Data batimetri ini berperan menetapkan simulasi potensi tsunami akibat gempa.

Seperti dikemukakan Kepala Program Buoy Tsunami Indonesia Ridwan Djamaluddin dari BPPT, data perilaku laut yang direkam melalui sistem buoy tak dapat memberikan suplai data peringatan dini tsunami karena rusak akibat gejala alam atau pencurian komponennya. (NAW)

Ariyanti Temukan Senyawa Antikanker

66 Organisme Berpotensi Menjadi Obat

Peneliti dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Ariyanti S Dewi, yang menempuh program master di University of British Columbia, Kanada, menemukan senyawa antikanker dari spons yang diambil dari perairan di sekitar Manado.

Senyawa aktif yang disebut Isoaatamine berasal dari spons Aaptos cf suberitoides. Adapun senyawa Theonellapeptolide id juga berasal dari spons yang hingga kini belum diidentifikasi taksonominya.

Pada penelitian di bidang kimia kelautan selama setahun lalu, Ariyanti berhasil menemukan khasiat dua senyawa aktif tersebut. ”Kedua senyawa ini memiliki khasiat sebagai imunoterapi dengan mengaktifkan enzim tertentu untuk menangkal kanker dalam tubuh,” tuturnya.

Untuk sampai pada pembuatan obat yang digunakan manusia masih diperlukan serangkaian penelitian dan uji coba pada hewan dan uji klinis.

Total waktu yang diperlukan sekitar 15 hingga 20 tahun. ”Pemanfaatannya sebagai obat oleh pihak industri nantinya akan memberikan bagian paten bagi peneliti Indonesia dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP),” ujarnya.

Menurut Indroyono Susilo, selaku Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI), yang juga mantan Kepala BRKP, penelitian lebih lanjut dimungkinkan dilaksanakan di Indonesia dengan menggalang kerja sama antarlembaga riset terkait dan memanfaatkan fasilitas yang dimiliki, seperti di LIPI dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Hasil riset kelautan itu akan dimuat dalam jurnal ilmiah dan akan dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan VI 2009 ISOI pada medio November.

Lebih lanjut Ariyanti mengungkapkan, penelitian yang dilakukan peneliti mancanegara di perairan Indonesia berhasil mengisolasi 66 organisme yang berpotensi obat, dengan yang terbanyak (49 organisme) termasuk spesies spons. Dari organisme diketahui mengandung total sekitar 200 senyawa aktif. Sekitar 1 persen dapat dikembangkan menjadi obat.

Di negara maju, senyawa bioaktif yang diisolasi ini memiliki nilai ekonomis tinggi. Pada tahun 2002 saja AS berhasil memperoleh 34 miliar dollar AS dari penggunaan senyawa aktif untuk obat. (YUN)

Kota sebagai Masalah Material

Teroka

Pada akhirnya, kota sebenarnya tak lebih dari sebuah fakta material. Fakta yang diorganisasi dalam serangkaian institusi dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Sebagai fakta material, kota tidaklah memproduksi material, tetapi mendatangkan dari luar.

Fakta ini terkait dengan posisi kota sebagai situs transaksi, tempat berbagai barang konsumsi dan barang kebutuhan lain dikuantifikasi menjadi satu susunan harga. Harga di kota telah menjadi cara bagaimana satu dan lembaga lain menjalin hubungan. Di sini harga bisa bersifat langsung dalam sebuah transaksi, tetapi dapat juga tidak langsung, yaitu melalui alat tukar, seperti uang.

Alat tukar yang sesungguhnya menaikkan posisi lembaga atau individu dalam lingkungan kota. Dari posisi ini, daya tawar lembaga atau individu dimainkan untuk kompensasi material di antaranya.

Dalam harga yang dimanifestasi dalam uang, bukan hanya barang yang dikuantifikasi, melainkan juga keahlian. Keahlian—yang terkategorisasi sebagai jasa—dalam keuangan, manajemen, teknik, rekayasa sosial, rekayasa politik dan banyak lainnya telah dikuantifikasi dalam harga. Kesenangan pun memiliki harga.

Hanya berbekal berbagai keahlian atau jasa penghuni kota menentukan satu wilayah yang luas di luar kota. Kota yang tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan hanya mengeluarkan sejumlah kebijakan—sebutlah sejumlah uraian tentang undang-undang yang retorik—justru menjadi penguasa sebagian besar sumber-sumber energi yang ada di luar kota.

Dalam konteks global, kultur kota yang direpresentasi negara-negara utara ini, menurut Saskia Sassen (2000), memproduksi dan mengekspor tenaga-tenaga ahli dengan kemampuan manajemen canggih ke negara-negara bagian selatan. Dengan cara itu, negara-negara utara hidup makmur, sementara negara-negara selatan, produsen dari berbagai sumber daya alam, hidup kekurangan.

Pemodal dan pekerja

Adanya kuantifikasi segala hal dalam bentuk harga mendorong kota ke arah pembagian sosial yang tak terelakkan, yaitu golongan bermodal dan golongan pekerja. Pemilik modal yang jumlahnya sedikit menguasai pekerja yang jumlahnya jauh lebih banyak, yang menjadi alat produksi dengan upah terbatas.

Pemilik modal—dibantu pemerintah—menerapkan ketentuan tentang perumahan, upah, jam kerja terhadap kalangan pekerja. Sebuah ketetapan yang tak hanya menciptakan keseragaman di kalangan buruh, tetapi juga sampai ke soal konsumsi bahkan orientasi setiap buruh.

Dari kesamaan yang menciptakan solidaritas kaum buruh ini, Castell meyakini, perubahan sosial dapat terjadi. Penentangan kelas pekerja terhadap kelas pemilik modal—seperti digagas Marx—adalah cara untuk meraih kehidupan yang adil dan perwujudan kesejahteraan bersama. Keseragaman buruh dalam soal perumahan, organisasi, bahkan etnis dan agama menjadi syarat terjadinya solidaritas dan mobilisasi.

Pendapat berbeda dikemukakan Kian Tajbakhsh, warga AS keturunan India. Dalam The Promise of The City (2001), Kian menyatakan, kota-kota di AS tidak mengarah kepada sentimen polarisasi sosial seperti diutarakan Manuel Castell.

Perbedaan kelas pekerja AS ada pada keberagaman etnik dan karena itu, juga linguistik dan agama. Perbedaan diperkuat sistem perumahan yang berbeda dengan di Eropa. Ini menyebabkan terciptanya politik ”peruangan” yang berbeda dibandingkan kelas pekerja monolitis.

Keadaan itu, bagi Kian, memustahilkan pembentukan kelas pekerja yang solid dan ketat sehingga bisa dimobilisasi dalam rangka pertentangan dengan kelas pemilik modal. Dalam konteks Amerika, pertama, kota tidak bisa direduksi pada masalah ekonomi semata, dan kedua, multikulturalisme telah memustahilkan para pekerja diasosiasikan secara monolitis.

Identitas puak

Dengan itu, Kian memandang tidak relevannya kelas sosial ala Marx diterapkan dalam konteks AS. Dalam konteks AS, isu permukiman menjadi bagian dinamika sosial di hidup keseharian. Berbeda dengan studi Castell, di Amerika tempat pekerja dan di mana para pekerja tinggal nyata-nyata dua hal yang terpisah.

Diagnosis ini membedakan dan mengarahkan Kian kepada analisis identitas yang justru menguat di komunitas tempat mereka bermukim dan bukan pada tempat mereka bekerja.

Sementara itu, identitas menguat bukan dalam kaitan dengan kalangan berkuasa dan pemodal, tetapi karena legitimasi yang lebih kultural. Identitas dalam komunitas yang menjadi cara mereka bertahan hidup, baik ekonomis maupun kultural.

Adanya dorongan memunculkan identitas di kota semacam ini dapat dilihat sebagai cara warga minoritas untuk bersuara, lantaran tidak mendapat tempat bersuara di tingkat formal. Identitas menjadi cara lain menunjukkan berbagai ketidakadilan, bahkan, kegagalan di ranah sosial-ekonomi-politik.

Akhirnya, puak atau kekerabatan—sebagai ekspresi budaya—tetap berlaku sebagai prosedur identitas; menjadi satu-satunya cara meyakinkan diri sendiri bahwa melalui warisan etnik mereka ”ada”. Dengan etnik pula, mereka mengabarkan kepada dunia luar bahwa mereka masih ada di jantung kapitalisme dunia (Octavio Paz, The Labyrinth of Solitude, 1961).***

Penulis: IMAM MUHTAROM - Anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar, Surabaya, Menetap di Jakarta. 

Aturan Bisnis Telepon Seluler Harus Jelas

TELEKOMUNIKASI

Pengusaha maupun importir telepon seluler mengeluhkan aturan bisnis telekomunikasi di Indonesia sehingga kurang mendukung kegiatan usaha ini.

Padahal, keberadaan pengusaha maupun importir ini sangat strategis dan membawa manfaat luas, terutama dalam peningkatan sumber daya manusia melalui kualitas komunikasi modern, cepat, efisien, dan efektif.

Demikian dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha dan Importir Telepon Genggam Nadham Yusuf dalam pertemuan dengan jajaran Departemen Perdagangan di Jakarta, Jumat (11/9).

Nadham menjelaskan, banyak kendala yang dihadapi pengusaha maupun importir telepon seluler dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti kurangnya pemahaman terhadap peraturan di bidang perdagangan dan telekomunikasi, serta adanya tekanan institusi tertentu yang memberatkan pengusaha.

Menurut Nadham, aturan bisnis telepon seluler perlu diperjelas. ”Terlalu banyak peraturan tidak efisien,” ujarnya.

Pengusaha prihatin atas banyaknya institusi pengawas yang tidak jelas batas kewenangannya. Aturan yang tumpang tindih pun masih terjadi di lapangan.

Atas kerisauan pengusaha, Departemen Perdagangan kini baru mulai menyosialisasikan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/PER/5/2009 tentang ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan/atau jasa dan Peraturan Menteri Perdagangan 19/M-Dag/PER/5/2009 tentang pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi purnajual dalam bahasa Indonesia bagi produk telematika dan elektronika.

Kepala Biro Hukum Depperdag Widodo mengakui adanya keluhan yang dialami pengusaha sehingga peredaran telepon seluler dituding sebagai barang selundupan.

Posisi dalam pengawasan tetaplah dipegang oleh Deperdag. Adapun polisi berposisi sebagai penyidik apabila terjadi persengketaan.

Soal izin pendaftaran buku petunjuk penggunaan telepon seluler, misalnya, selama ini membingungkan pengusaha. Izin yang diberikan pemda seperti di Jakarta tidak secara otomatis berlaku di daerah lain.

Dalam Permendag 19 Tahun 2009, pendaftaran izin yang semula dilakukan di pemerintah kabupaten/kota, kini dipindahkan ke pemerintah pusat. Jika sebelumnya pendaftaran dilakukan oleh produsen dan importir, kini diubah salah satu saja yang wajib mendaftarkan sebelum produknya diedarkan di pasar dalam negeri. (OSA)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...