Pemerintah daerah dinilai berperan besar dalam mengantisipasi dampak terburuk dari bencana yang sering terjadi, seperti gempa, banjir, atau longsor. Pengawasan terhadap proses pembangunan setiap bangunan, mulai dari gedung hingga rumah sekalipun, sangat diharapkan. Ket.Foto: Ketua Asean Chartered Profesional Engineering Coordinating (ACPEC) Sulistyo Sidharto Mulyo (kiri) dan Dosen Kajian Perkotaan Pasca Sarjana Universitas Indonesia Hendricus Andy Simarmata berbicara dalam diskusi bertajuk 'Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Jakarta: Dilema atau Solusi?' di Jakarta, Senin (14/9).
Ketua Asean Chartered Profesional Engineering Coordinating Sulistyo Sidharto Mulyo mengatakan, bangunan yang tergolong aman dari dampak terburuk bencana adalah bangunan kategori engineering building.
"Engineering building kalau dilaksanakan secara disiplin tidak akan bahaya. Namun, kalau nonengineering building yang dibangun masyarakat tanpa disiplin akan menemui masalah-masalah. Itu juga kewajiban pemda," tutur Sulistyo dalam diskusi bertajuk "Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Jakarta: Dilema atau Solusi?" di Jakarta, Senin (14/9).
Menurut Sulistyo, peran yang besar dari pemerintah memang terkait rendahnya kesadaran masyarakat dalam proses pembangunan berdasarkan studi, perencanaan, perizinan, dan standar lainnya. "Masalahnya, masyarakat tidak bisa disalahkan karena kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang masih demikian. Jadi, tanggung jawab pemerintah untuk mendidik, menyosialisasikan, dan melakukan penyuluhan," ujar Sulistyo.
Apalagi, untuk bangunan-bangunan publik, seperti rumah ibadah dan pusat perbelanjaan, pemerintah harus terus menekan kegagalan konstruksi, mulai dengan meningkatkan profesionalitas orang-orang yang terlibat pembangunan serta menekan budaya kolusi, korupsi dan nepotisme di dalamnya.
Senin, 14 September 2009 | 11:36 WIB Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
JAKARTA, KOMPAS.com — http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/1136434/cegah.dampak.buruk.bencana.pemda.harus.awasi.pembangunan
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Wednesday, September 16, 2009
Pelanggaran Tata Ruang Danau Toba Dibiarkan
Pelanggaran terhadap tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba hingga saat ini terus dibiarkan. Meski Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, dan pemerintah pusat membentuk Lake Toba Ecosystem Management Plant sebagai cetak biru perencanaan kawasan, tetapi hingga saat ini pelanggaran tata ruang dan zonasi tetap dibiarkan. Ket.Foto: Perahu penyeberangan dari Ajibata, Parapat, ke Pulau Samosir ini bisa ditemui hampir setiap jam. Dengan perahu ini pula, pelancong bisa berkeliling Danau Toba.
Bupati Samosir Mangindar Simbolon mengakui, pelanggaran terhadap tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba tetap dibiarkan karena selama ini tidak pernah ada aturan yang mengikat serta disertai sanksi tegas. Kalau kami lihat, memang belum ada hukum positif yang bisa mengikat, terutama dengan sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran tata ruang di kawasan ekosistem Danau Toba. "Pemerintah daerah pun tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi pelanggaran," ujar Mangindar.
Menurut dia, tujuh pemerintah daerah yang kawasannya berada di sekitar Danau Toba tengah menunggu terbitnya peraturan daerah tentang tata ruang Danau Toba yang baru. Peraturan daerah ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menjadikan kawasan ekosistem Danau Toba sebagai salah satu kawasan strategis nasional.
Dalam peraturan daerah tentang tata ruang Danau Toba yang sekarang sedang digarap ini, harus ada sanksi pidana yang mengikat, jika terjadi pelanggaran-pelanggaran, ujarnya.
Sebenarnya dalam Perda Provinsi Sumut No 1/1990 juga diatur penataan kawasan, seperti larangan mendirikan bangunan permanen dalam radius 50 meter dari titik pasang surut bibir danau. Namun, saat ini bangunan permanen mulai dari rumah penduduk hingga hotel didirikan dengan tidak mengindahkan peraturan tersebut. Bahkan, kawasan konservasi yang seharusnya terlarang untuk bangunan permanen malah sudah berdiri resor megah.
Degradasi lingkungan
Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan mengungkapkan, sebenarnya pemerintah pusat telah memfasilitasi pembentukan cetak biru tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba. Dari cetak biru inilah dibentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Danau Toba, yang anggotanya terdiri dari tujuh kabupaten dan Badan Otorita Asahan. Gubernur Sumut menjadi Ketua Dewan Manajemen. "Akan tetapi memang harus terus dilakukan penajaman dan ketegasan soal pembagian zonasi agar tidak terjadi pelanggaran tata ruang," katanya.
Menurut Nainggolan, pelanggaran tata ruang di kawasan ekosistem Danau Toba telah menimbulkan degradasi lingkungan di Danau Toba. Kementerian Negara Lingkungan Hidup bahkan telah mengidentifikasi Danau Toba sebagai salah satu dari 10 danau di Indonesia yang mendesak segera direhabilitasi karena rusak oleh aktivitas manusia yang berlebihan.
Pokoknya seluruh pemangku kepentingan segera mensinergikan Danau Toba secara holistik, tidak boleh parsial. Jadi tidak hanya melihat potensi Danau Toba dari segi pariwisata, ekonomi, budi daya, hydroorologi atau lingkungan. Zonasi kawasan harus dipertajam lagi. "Pemprov Sumut sedang mempersiapkan masterplan untuk penataan kawasan yang lebih tegas," katanya.
Rabu, 21 Januari 2009 | 17:13 WIB
SIMALUNGUN, RABU — http://sains.kompas.com/read/xml/2009/01/21/17132758/pelanggaran.tata.ruang.danau.toba.dibiarkan
Bupati Samosir Mangindar Simbolon mengakui, pelanggaran terhadap tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba tetap dibiarkan karena selama ini tidak pernah ada aturan yang mengikat serta disertai sanksi tegas. Kalau kami lihat, memang belum ada hukum positif yang bisa mengikat, terutama dengan sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran tata ruang di kawasan ekosistem Danau Toba. "Pemerintah daerah pun tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi pelanggaran," ujar Mangindar.
Menurut dia, tujuh pemerintah daerah yang kawasannya berada di sekitar Danau Toba tengah menunggu terbitnya peraturan daerah tentang tata ruang Danau Toba yang baru. Peraturan daerah ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menjadikan kawasan ekosistem Danau Toba sebagai salah satu kawasan strategis nasional.
Dalam peraturan daerah tentang tata ruang Danau Toba yang sekarang sedang digarap ini, harus ada sanksi pidana yang mengikat, jika terjadi pelanggaran-pelanggaran, ujarnya.
Sebenarnya dalam Perda Provinsi Sumut No 1/1990 juga diatur penataan kawasan, seperti larangan mendirikan bangunan permanen dalam radius 50 meter dari titik pasang surut bibir danau. Namun, saat ini bangunan permanen mulai dari rumah penduduk hingga hotel didirikan dengan tidak mengindahkan peraturan tersebut. Bahkan, kawasan konservasi yang seharusnya terlarang untuk bangunan permanen malah sudah berdiri resor megah.
Degradasi lingkungan
Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan mengungkapkan, sebenarnya pemerintah pusat telah memfasilitasi pembentukan cetak biru tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba. Dari cetak biru inilah dibentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Danau Toba, yang anggotanya terdiri dari tujuh kabupaten dan Badan Otorita Asahan. Gubernur Sumut menjadi Ketua Dewan Manajemen. "Akan tetapi memang harus terus dilakukan penajaman dan ketegasan soal pembagian zonasi agar tidak terjadi pelanggaran tata ruang," katanya.
Menurut Nainggolan, pelanggaran tata ruang di kawasan ekosistem Danau Toba telah menimbulkan degradasi lingkungan di Danau Toba. Kementerian Negara Lingkungan Hidup bahkan telah mengidentifikasi Danau Toba sebagai salah satu dari 10 danau di Indonesia yang mendesak segera direhabilitasi karena rusak oleh aktivitas manusia yang berlebihan.
Pokoknya seluruh pemangku kepentingan segera mensinergikan Danau Toba secara holistik, tidak boleh parsial. Jadi tidak hanya melihat potensi Danau Toba dari segi pariwisata, ekonomi, budi daya, hydroorologi atau lingkungan. Zonasi kawasan harus dipertajam lagi. "Pemprov Sumut sedang mempersiapkan masterplan untuk penataan kawasan yang lebih tegas," katanya.
Rabu, 21 Januari 2009 | 17:13 WIB
SIMALUNGUN, RABU — http://sains.kompas.com/read/xml/2009/01/21/17132758/pelanggaran.tata.ruang.danau.toba.dibiarkan
Kearifan Lokal Danau Toba Hilang
Kalangan akademisi bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara membuat kesepakatan bersama menyelamatkan kawasan Danau Toba dengan menghidupkan kembali kearifan lokal. Kearifan lokal itu dinilai sudah pudar hingga membuat sebagian hutan di kawasan itu rusak.
"Jika dahulu ada istilah rimba larangan, kini sudah tidak ada lagi. Karena itu sebagian hutan di kawasan Danau Toba sudah rusak," tutur Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda) Sumut Syamsul Arifin, Jumat (25/7) usai pertemuan dengan akademisi.
Syamsul mengatakan kerusakan itu di antaranya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Kondisi ini jauh berbeda dengan puluhan tahun silam di mana kawasan Danau Toba masih terjaga hutannya. Dia menilai sudah saatnya untuk menata kembali kawasan yang menjadi masko budaya sekaligus maskot wisata Sumut ini.
Salah satu upaya yang sedang dia lakukan adalah merevisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1990 tentang Kawasan Danau Toba. Perda ini, tuturnya, sudah tidak relevan lagi untuk menjaga kawasan agar tetap lestari. Penataan kawasan Danau Toba ini melibatkan lintas instansi antara lain Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Investasi dan Promosi (Bainprom), dan Bappedalda.
Persolan yang kini muncul di kawasan Danau Toba, di antaranya menjamurnya keramba ikan, eceng gondok, dan rumput liar di danau. Persoalan ini menjadi sorotan pemerintah setempat terutama mereka yang ingin mengembangkan daerahnya sebagai tujuan wisata .
Kendala
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Melani Butarbutar mengatakan pelet (pakan ikan) keramba di danau sangat mengganggu kualitas air. Lantaran itu Pemerintah Kabupaten Samosir memindah keramba ikan itu ke tempat yang jauh dari pemukiman dan daerah tujuan wisata. Sayangnya, berdasarkan pantauan Kompas, penertiban itu belum menyentuh keramba milik perusahaan besar.
Hadir dalam pertemuan itu antropolog Universitas Negeri Medan (Unimed) Bungaran Antonius Simanjuntak dan Rektor Universitas HKBP Nommensen Medan Jongkers Tampobolon. Bungaran Antonius Simanjuntak membenarkan pudarnya kearifan lokal di kawasan Danau Toba. Sejumlah kearifan lokal yang dimaksud antara lain sihal-sihal yakni simbol kedaulatan orang berpengaruh (Batak Toba), daliken sitelu atau tungku yang jumlahnya tiga (Karo), dan lima saodoran atau lima hal yang mengacu pada falsafah hidup (Simalungun).
"Kami berharap dengan menghidupkan kearifan lokal ini bisa menjaga kelestarian alam kawasan Danau Toba," tuturnya.
Jumat, 25 Juli 2008 | 22:14 WIB
MEDAN, JUMAT - http://sains.kompas.com/read/xml/2008/07/25/22140080/kearifan.lokal.danau.toba.hilang
"Jika dahulu ada istilah rimba larangan, kini sudah tidak ada lagi. Karena itu sebagian hutan di kawasan Danau Toba sudah rusak," tutur Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda) Sumut Syamsul Arifin, Jumat (25/7) usai pertemuan dengan akademisi.
Syamsul mengatakan kerusakan itu di antaranya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Kondisi ini jauh berbeda dengan puluhan tahun silam di mana kawasan Danau Toba masih terjaga hutannya. Dia menilai sudah saatnya untuk menata kembali kawasan yang menjadi masko budaya sekaligus maskot wisata Sumut ini.
Salah satu upaya yang sedang dia lakukan adalah merevisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1990 tentang Kawasan Danau Toba. Perda ini, tuturnya, sudah tidak relevan lagi untuk menjaga kawasan agar tetap lestari. Penataan kawasan Danau Toba ini melibatkan lintas instansi antara lain Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Investasi dan Promosi (Bainprom), dan Bappedalda.
Persolan yang kini muncul di kawasan Danau Toba, di antaranya menjamurnya keramba ikan, eceng gondok, dan rumput liar di danau. Persoalan ini menjadi sorotan pemerintah setempat terutama mereka yang ingin mengembangkan daerahnya sebagai tujuan wisata .
Kendala
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Melani Butarbutar mengatakan pelet (pakan ikan) keramba di danau sangat mengganggu kualitas air. Lantaran itu Pemerintah Kabupaten Samosir memindah keramba ikan itu ke tempat yang jauh dari pemukiman dan daerah tujuan wisata. Sayangnya, berdasarkan pantauan Kompas, penertiban itu belum menyentuh keramba milik perusahaan besar.
Hadir dalam pertemuan itu antropolog Universitas Negeri Medan (Unimed) Bungaran Antonius Simanjuntak dan Rektor Universitas HKBP Nommensen Medan Jongkers Tampobolon. Bungaran Antonius Simanjuntak membenarkan pudarnya kearifan lokal di kawasan Danau Toba. Sejumlah kearifan lokal yang dimaksud antara lain sihal-sihal yakni simbol kedaulatan orang berpengaruh (Batak Toba), daliken sitelu atau tungku yang jumlahnya tiga (Karo), dan lima saodoran atau lima hal yang mengacu pada falsafah hidup (Simalungun).
"Kami berharap dengan menghidupkan kearifan lokal ini bisa menjaga kelestarian alam kawasan Danau Toba," tuturnya.
Jumat, 25 Juli 2008 | 22:14 WIB
MEDAN, JUMAT - http://sains.kompas.com/read/xml/2008/07/25/22140080/kearifan.lokal.danau.toba.hilang
Melestarikan Ekosistem Danau Toba
Selain terkesan eksotis, bukit batu yang mengelilingi Danau Toba sebenarnya membuat miris. Memang aura mistis Danau Toba juga datang dari bukit-bukit berbatu tersebut. Terlebih satu di antara bukit-bukit tersebut, Pusuk Buhit, dipercaya sebagai tempat orang Batak, suku terbesar yang mendiami kawasan ekologis Danau Toba, pertama kali turun ke bumi. Ket.Foto: Sebuah bangunan sekolah yang terletak di lembah Pusuk Buhit, salah satu bukit berbatu yang mengelilingi Danau Toba, tak jauh dari Sianjur Mula-mula. Di Pusuk Buhit inilah dalam budaya Batak dipercaya sebagai tempat orang Batak pertama kali turun ke bumi.
Rasa miris tersebut timbul karena melihat tingkat vegetasi pepohonan di bukit-bukit tersebut sangat kurang. Hanya terlihat beberapa pucuk pinus, yang jika musim kemarau sebagian di antaranya meranggas, warnanya berubah menjadi coklat kemerahan. Selain pinus, bukit-bukit tersebut hanya tertutup ilalang. Padahal, itulah daerah tangkapan air utama Danau Toba, terutama di sisi selatan hingga barat daya danau.
Bukit-bukit yang mengelilingi Danau Toba tersebut, terutama di wilayah Kabupaten Samosir, dianggap ahli geologi terbentuk akibat proses vulkanis letusan Gunung Toba ribuan tahun silam. Menurut Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumatera Utara Jonathan Tarigan, bukit-bukit batu itu tertutup lapisan silika sebagai akibat letusan Gunung Toba.
”Seperti kaca, lapisan silika dengan mineral diatomit yang melapisinya membuat bukit-bukit tersebut memang sulit ditanami pepohonan keras. Akan tetapi, masih tetap banyak lapisan tanah di bukit tersebut. Kami pernah mengadakan riset geologis untuk kepentingan konservasi lingkungan di kawasan tersebut dan sangat mungkin bukit-bukit itu bisa ditutup dengan pepohonan keras, selain pinus,” ujar Jonathan.
Jonathan prihatin karena upaya konservasi untuk menyelamatkan kawasan tangkapan air Danau Toba tak jua dilakukan. Kawasan Danau Toba yang secara administratif ”dikuasai” tujuh kabupaten membuat upaya penghijauan selalu kandas ketika dibicarakan di antara ketujuh penguasa kabupaten tersebut.
Sekarang keprihatinan itu tampaknya coba ditanggapi Pemerintah Kabupaten Samosir. Sabtu (5/9), secara resmi Pemkab Samosir mencanangkan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif dengan menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. ”Kami sadar, membangun Samosir harus memerhatikan konservasi sumber daya alam. Hutan, tanah, dan air harus kami lindungi karena kami berada di daerah hulu dari sekian banyak daerah aliran sungai yang bermata air di Danau Toba,” ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon seusai pencanangan kegiatan di situs Batu Hobon.
Menginjak bumi
Sejak hari Jumat hingga Sabtu menjelang petang, di situs Batu Hobon ribuan warga Samosir berkumpul. Batu Hobon terletak di lingkar Pusuk Buhit. Di Batu Hobon inilah konon orang Batak pertama kali menginjakkan kaki ke bumi. Raja Bius (gabungan/konfederasi antarkampung) dari 12 kecamatan yang ada di Samosir juga hadir di Batu Hobon hari itu. Dalam budaya Batak, Raja Bius adalah sosok pemimpin yang mengatur penggunaan tanah (golat) dalam satu bius. Dia juga menjadi protokol dalam sebuah upacara adat.
Kehadiran Raja Bius dan ribuan warga Samosir di Batu Hobon tak hanya mengikuti acara pencanangan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif, menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. Mereka juga hadir karena dalam acara tersebut Pemkab Samosir bersama Lembaga Konservasi Situs dan Budaya Kabupaten Samosir menggelar Mangase Taon atau pesta mengawali tahun baru dalam kalender Batak Toba.
Mangase Taon menjadi upacara yang sangat simbolis bagi komitmen Pemkab Samosir mengedepankan pendekatan budaya dan lingkungan hidup dalam membangun wilayah di tengah Danau Toba tersebut. Di hadapan ribuan warga dan semua Raja Bius di Samosir, Mangindar atas nama Pemkab Samosir berjanji akan menggunakan kearifan lokal dalam membangun wilayahnya. ”Ini sebagai wujud agar masyarakat lebih bisa mengambil peran,” katanya.
Batu Hobon dipilih karena kesakralan dan nilainya dalam budaya Batak. Komitmen atau janji yang terucap di Batu Hobon, apalagi disertai ritual Mangalahat Horbo Bius atau memberi persembahan kerbau untuk Mulajadi Nabolon (Sang Kuasa), harus ditepati. ”Salah-salah, orang yang main-main dengan ritual ini bisa kehilangan nyawanya,” ujar Alimantua Limbong, penabuh gondang dalam ritual tersebut.
Alimantua menuturkan, budaya dan tradisi lokal Batak sangat dekat dengan alam. Dia pun menghargai jika memang pemerintah daerahnya berniat menjadikan budaya sebagai pegangan membangun wilayah. ”Dari acara yang digelar di Batu Hobon saja sudah menggambarkan penghormatan terhadap situs budaya,” katanya.
Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Mangindar mengakui, kearifan lokal dalam budaya Batak sempat terkikis sejak abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Kristen ke pedalaman Tapanuli.
Menurut Mangindar, sempat ada persepsi yang salah terhadap kepercayaan lokal. Dia mencontohkan, dahulu di Samosir banyak terdapat situs budaya yang dikelilingi pepohonan rimbun. ”Kepercayaan dulu mengatakan, pohon-pohon tersebut ada penunggunya sehingga orang tak mau mengganggu. Padahal, kalau direnungkan, itu kearifan lokal agar kita tak menebang pohon-pohon tersebut. Namun, karena ada persepsi yang salah dari agama baru yang masuk, kearifan tersebut dianggap sebagai penyembahan selain Tuhan sehingga pepohonan itu harus ditebang,” ujar Mangindar.
Persepsi salah
Persepsi yang salah terhadap kearifan lokal tersebut, menurut Mangindar, harus dibayar mahal. ”Sekarang pohon-pohon endemis di Samosir yang dipercaya sebagai pepohonan khas bagi orang Batak sudah tak banyak lagi,” katanya.
Jauh sebelum pemerintah mencanangkan program ”satu orang satu pohon”, makna penting menanam pohon bagi masyarakat Batak tertanam sangat dalam di kehidupan mereka. ”Setiap kali orang Batak membuka kampung untuk pertama kali, bambu dan pohon beringin harus ikut ditanam. Pohon beringin bahkan harus ditanam di setiap sudut kampung. Itulah pohon yang menjaga kehidupan kampung kami dulu,” tutur Mangindar.
Hal itulah yang ingin kembali dihidupkan Pemkab Samosir. Menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba, terlebih di daerah tangkapan air seperti di sebagian besar wilayah Kabupaten Samosir, dengan pendekatan budaya. Demi menggunakan kearifan lokal untuk melakukan konservasi kawasan ekosistem Danau Toba, Pemkab Samosir berani menolak investasi industri besar-besaran di kabupaten tersebut.
Padahal, tak jauh dari Samosir, di kabupaten tetangga seperti Humbang Hasundutan atau Simalungun, ribuan hektar hutan yang dulu menjadi gantungan hidup masyarakat kini berubah menjadi hutan produksi dengan jenis tanaman homogen eucalyptus untuk kepentingan pabrik bubur kertas. Pabrik ini berdiri megah di hulu Sungai Asahan yang bermuara langsung ke Danau Toba di kawasan Kabupaten Toba Samosir.
”Kami tak mau ada industri besar-besaran di Samosir. Kerusakan lingkungan hidup kami jadi taruhannya. Kami justru akan berpihak kepada industri kecil dan mikro seperti kerajinan hasil budaya kami. Ini sejalan dengan pendekatan budaya yang kami pakai membangun Samosir,” ujar Mangindar.
Sebagai kabupaten seumur jagung, Samosir baru terbentuk sebagai kabupaten lima tahun silam, Mangindar tak mau siapa pun yang kelak memimpin daerah ini tak punya pegangan.
Pemkab Samosir sebenarnya menyiapkan desain besar strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba dengan menggunakan pendekatan budaya, tak hanya untuk wilayahnya. Enam kabupaten lain, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Dairi, Karo, dan Simalungun, diajak ikut serta. Keenam daerah tersebut, seperti halnya Samosir, menjadi teritori alamiah bagi orang Batak. ”Kearifan lokal kami sama. Budaya Batak sesungguhnya teramat dekat dengan alam,” ujar Mangindar.
Upaya Pemkab Samosir juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Pejabat dari Departemen Dalam Negeri yang hadir dalam pencanangan tersebut mengaku sangat mengapresiasi niat Pemkab Samosir.
”Jangan mencontoh apa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap pengelolaan kawasan Puncak. Kawasan yang mestinya menjadi daerah resapan air justru penuh dengan bangunan vila. Puncak tak menjadi daerah tangkapan air dan berakibat pada terjadinya banjir di wilayah- wilayah yang berada di bawahnya,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Koesnan A Halim.
Sayang acara pencanangan strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba di Pusuk Buhit tak dihadiri satu pun bupati tetangga. Namun, Pemkab Samosir tak patah arang. Menurut Mangindar, ketidakhadiran bupati tetangga, lebih karena acara pencanangan digelar pada bulan puasa sehingga banyak kesibukan yang harus dihadapi rekan-rekannya itu.
Budayawan Batak seperti Tomson HS mengaku sangat menghargai upaya Pemkab Samosir. Revitalisasi budaya Batak, menurut Tomson, tak hanya selesai di acara seminar, tetapi juga teraplikasikan sebagai pendekatan membangun wilayah.
Senin, 14 September 2009 | 08:07 WIB
Penulis: KHAERUDIN
KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/08074238/melestarikan.ekosistem.danau.toba.
Rasa miris tersebut timbul karena melihat tingkat vegetasi pepohonan di bukit-bukit tersebut sangat kurang. Hanya terlihat beberapa pucuk pinus, yang jika musim kemarau sebagian di antaranya meranggas, warnanya berubah menjadi coklat kemerahan. Selain pinus, bukit-bukit tersebut hanya tertutup ilalang. Padahal, itulah daerah tangkapan air utama Danau Toba, terutama di sisi selatan hingga barat daya danau.
Bukit-bukit yang mengelilingi Danau Toba tersebut, terutama di wilayah Kabupaten Samosir, dianggap ahli geologi terbentuk akibat proses vulkanis letusan Gunung Toba ribuan tahun silam. Menurut Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumatera Utara Jonathan Tarigan, bukit-bukit batu itu tertutup lapisan silika sebagai akibat letusan Gunung Toba.
”Seperti kaca, lapisan silika dengan mineral diatomit yang melapisinya membuat bukit-bukit tersebut memang sulit ditanami pepohonan keras. Akan tetapi, masih tetap banyak lapisan tanah di bukit tersebut. Kami pernah mengadakan riset geologis untuk kepentingan konservasi lingkungan di kawasan tersebut dan sangat mungkin bukit-bukit itu bisa ditutup dengan pepohonan keras, selain pinus,” ujar Jonathan.
Jonathan prihatin karena upaya konservasi untuk menyelamatkan kawasan tangkapan air Danau Toba tak jua dilakukan. Kawasan Danau Toba yang secara administratif ”dikuasai” tujuh kabupaten membuat upaya penghijauan selalu kandas ketika dibicarakan di antara ketujuh penguasa kabupaten tersebut.
Sekarang keprihatinan itu tampaknya coba ditanggapi Pemerintah Kabupaten Samosir. Sabtu (5/9), secara resmi Pemkab Samosir mencanangkan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif dengan menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. ”Kami sadar, membangun Samosir harus memerhatikan konservasi sumber daya alam. Hutan, tanah, dan air harus kami lindungi karena kami berada di daerah hulu dari sekian banyak daerah aliran sungai yang bermata air di Danau Toba,” ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon seusai pencanangan kegiatan di situs Batu Hobon.
Menginjak bumi
Sejak hari Jumat hingga Sabtu menjelang petang, di situs Batu Hobon ribuan warga Samosir berkumpul. Batu Hobon terletak di lingkar Pusuk Buhit. Di Batu Hobon inilah konon orang Batak pertama kali menginjakkan kaki ke bumi. Raja Bius (gabungan/konfederasi antarkampung) dari 12 kecamatan yang ada di Samosir juga hadir di Batu Hobon hari itu. Dalam budaya Batak, Raja Bius adalah sosok pemimpin yang mengatur penggunaan tanah (golat) dalam satu bius. Dia juga menjadi protokol dalam sebuah upacara adat.
Kehadiran Raja Bius dan ribuan warga Samosir di Batu Hobon tak hanya mengikuti acara pencanangan strategi pembangunan wilayah secara kolaboratif, menggabungkan pendekatan budaya dan konservasi lingkungan hidup. Mereka juga hadir karena dalam acara tersebut Pemkab Samosir bersama Lembaga Konservasi Situs dan Budaya Kabupaten Samosir menggelar Mangase Taon atau pesta mengawali tahun baru dalam kalender Batak Toba.
Mangase Taon menjadi upacara yang sangat simbolis bagi komitmen Pemkab Samosir mengedepankan pendekatan budaya dan lingkungan hidup dalam membangun wilayah di tengah Danau Toba tersebut. Di hadapan ribuan warga dan semua Raja Bius di Samosir, Mangindar atas nama Pemkab Samosir berjanji akan menggunakan kearifan lokal dalam membangun wilayahnya. ”Ini sebagai wujud agar masyarakat lebih bisa mengambil peran,” katanya.
Batu Hobon dipilih karena kesakralan dan nilainya dalam budaya Batak. Komitmen atau janji yang terucap di Batu Hobon, apalagi disertai ritual Mangalahat Horbo Bius atau memberi persembahan kerbau untuk Mulajadi Nabolon (Sang Kuasa), harus ditepati. ”Salah-salah, orang yang main-main dengan ritual ini bisa kehilangan nyawanya,” ujar Alimantua Limbong, penabuh gondang dalam ritual tersebut.
Alimantua menuturkan, budaya dan tradisi lokal Batak sangat dekat dengan alam. Dia pun menghargai jika memang pemerintah daerahnya berniat menjadikan budaya sebagai pegangan membangun wilayah. ”Dari acara yang digelar di Batu Hobon saja sudah menggambarkan penghormatan terhadap situs budaya,” katanya.
Bentuk nyata strategi kolaboratif pengelolaan lingkungan di Samosir adalah upaya merevitalisasi budaya Batak dan kearifan lokal. Mangindar mengakui, kearifan lokal dalam budaya Batak sempat terkikis sejak abad ke-18, bersamaan dengan masuknya pengaruh agama Kristen ke pedalaman Tapanuli.
Menurut Mangindar, sempat ada persepsi yang salah terhadap kepercayaan lokal. Dia mencontohkan, dahulu di Samosir banyak terdapat situs budaya yang dikelilingi pepohonan rimbun. ”Kepercayaan dulu mengatakan, pohon-pohon tersebut ada penunggunya sehingga orang tak mau mengganggu. Padahal, kalau direnungkan, itu kearifan lokal agar kita tak menebang pohon-pohon tersebut. Namun, karena ada persepsi yang salah dari agama baru yang masuk, kearifan tersebut dianggap sebagai penyembahan selain Tuhan sehingga pepohonan itu harus ditebang,” ujar Mangindar.
Persepsi salah
Persepsi yang salah terhadap kearifan lokal tersebut, menurut Mangindar, harus dibayar mahal. ”Sekarang pohon-pohon endemis di Samosir yang dipercaya sebagai pepohonan khas bagi orang Batak sudah tak banyak lagi,” katanya.
Jauh sebelum pemerintah mencanangkan program ”satu orang satu pohon”, makna penting menanam pohon bagi masyarakat Batak tertanam sangat dalam di kehidupan mereka. ”Setiap kali orang Batak membuka kampung untuk pertama kali, bambu dan pohon beringin harus ikut ditanam. Pohon beringin bahkan harus ditanam di setiap sudut kampung. Itulah pohon yang menjaga kehidupan kampung kami dulu,” tutur Mangindar.
Hal itulah yang ingin kembali dihidupkan Pemkab Samosir. Menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba, terlebih di daerah tangkapan air seperti di sebagian besar wilayah Kabupaten Samosir, dengan pendekatan budaya. Demi menggunakan kearifan lokal untuk melakukan konservasi kawasan ekosistem Danau Toba, Pemkab Samosir berani menolak investasi industri besar-besaran di kabupaten tersebut.
Padahal, tak jauh dari Samosir, di kabupaten tetangga seperti Humbang Hasundutan atau Simalungun, ribuan hektar hutan yang dulu menjadi gantungan hidup masyarakat kini berubah menjadi hutan produksi dengan jenis tanaman homogen eucalyptus untuk kepentingan pabrik bubur kertas. Pabrik ini berdiri megah di hulu Sungai Asahan yang bermuara langsung ke Danau Toba di kawasan Kabupaten Toba Samosir.
”Kami tak mau ada industri besar-besaran di Samosir. Kerusakan lingkungan hidup kami jadi taruhannya. Kami justru akan berpihak kepada industri kecil dan mikro seperti kerajinan hasil budaya kami. Ini sejalan dengan pendekatan budaya yang kami pakai membangun Samosir,” ujar Mangindar.
Sebagai kabupaten seumur jagung, Samosir baru terbentuk sebagai kabupaten lima tahun silam, Mangindar tak mau siapa pun yang kelak memimpin daerah ini tak punya pegangan.
Pemkab Samosir sebenarnya menyiapkan desain besar strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba dengan menggunakan pendekatan budaya, tak hanya untuk wilayahnya. Enam kabupaten lain, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Dairi, Karo, dan Simalungun, diajak ikut serta. Keenam daerah tersebut, seperti halnya Samosir, menjadi teritori alamiah bagi orang Batak. ”Kearifan lokal kami sama. Budaya Batak sesungguhnya teramat dekat dengan alam,” ujar Mangindar.
Upaya Pemkab Samosir juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Pejabat dari Departemen Dalam Negeri yang hadir dalam pencanangan tersebut mengaku sangat mengapresiasi niat Pemkab Samosir.
”Jangan mencontoh apa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap pengelolaan kawasan Puncak. Kawasan yang mestinya menjadi daerah resapan air justru penuh dengan bangunan vila. Puncak tak menjadi daerah tangkapan air dan berakibat pada terjadinya banjir di wilayah- wilayah yang berada di bawahnya,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Koesnan A Halim.
Sayang acara pencanangan strategi pengelolaan kawasan ekosistem Danau Toba di Pusuk Buhit tak dihadiri satu pun bupati tetangga. Namun, Pemkab Samosir tak patah arang. Menurut Mangindar, ketidakhadiran bupati tetangga, lebih karena acara pencanangan digelar pada bulan puasa sehingga banyak kesibukan yang harus dihadapi rekan-rekannya itu.
Budayawan Batak seperti Tomson HS mengaku sangat menghargai upaya Pemkab Samosir. Revitalisasi budaya Batak, menurut Tomson, tak hanya selesai di acara seminar, tetapi juga teraplikasikan sebagai pendekatan membangun wilayah.
Senin, 14 September 2009 | 08:07 WIB
Penulis: KHAERUDIN
KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/08074238/melestarikan.ekosistem.danau.toba.
Ikan Purba Coelacanth Ditemukan Lagi
Peneliti Indonesia dan peneliti dari Fukushima Aquamarine, Jepang, Senin siang tadi menemukan keberadaan ikan purba coelacanth di perairan Talise, Minahasa Utara, pada kedalaman 155 meter. Ikan ditemukan pada hari pertama tim yang bekerjasama beberapa kali itu memulai penelitiannya menggunakan wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle/ROV). Ket.Foto: Tim peneliti dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) meneliti sampel ilmiah ikan purba Coelacanth (Latimeria menadoensis) di Sea World Indonesia, Ancol, Jakarta, Selasa (11/8).
Pada siarannya melalui surat elektronik Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Prof Alex Masengi mengatakan, perjumpaan itu terjadi pada jam pertama penelitian di hari pertama. "Ikan dalam keadaan hidup dan tetap bebas di habitatnya," tulisnya.
Kelompok peneliti yang sama, 27 Juni 2007 lalu, juga menemukan ikan coelacanth di perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Pada kedalaman 190 meter. Secara teori, habitat ikan coelacanth berada pada kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.
Ikan coelacanth hanya hidup di kawasan perairan barat Afrika Selatan dan kawasan timur Indonesia. Ikan coelacanth juga disebut sebagai ikan purba, karena diduga sudah ada sejak era Devonian sekitar 380 juta tahun silam. Dan, hingga kini bentuknya tidak berubah.
Para ahli sepakat, berbagai keunikan yang ada pada coelacanth yang belum terungkap merupakan kunci tabir evolusi makhluk bawah air. Karenanya, banyak ahli ikan dunia berlomba-lomba meneliti dan mengoleksi ikan tersebut, termasuk Jepang.
Senin, 14 September 2009 | 20:55 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Gesit Ariyanto
KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/20554485/ikan.purba.coelacanth.ditemukan.lagi
Pada siarannya melalui surat elektronik Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Prof Alex Masengi mengatakan, perjumpaan itu terjadi pada jam pertama penelitian di hari pertama. "Ikan dalam keadaan hidup dan tetap bebas di habitatnya," tulisnya.
Kelompok peneliti yang sama, 27 Juni 2007 lalu, juga menemukan ikan coelacanth di perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Pada kedalaman 190 meter. Secara teori, habitat ikan coelacanth berada pada kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.
Ikan coelacanth hanya hidup di kawasan perairan barat Afrika Selatan dan kawasan timur Indonesia. Ikan coelacanth juga disebut sebagai ikan purba, karena diduga sudah ada sejak era Devonian sekitar 380 juta tahun silam. Dan, hingga kini bentuknya tidak berubah.
Para ahli sepakat, berbagai keunikan yang ada pada coelacanth yang belum terungkap merupakan kunci tabir evolusi makhluk bawah air. Karenanya, banyak ahli ikan dunia berlomba-lomba meneliti dan mengoleksi ikan tersebut, termasuk Jepang.
Senin, 14 September 2009 | 20:55 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Gesit Ariyanto
KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/20554485/ikan.purba.coelacanth.ditemukan.lagi
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...