Wednesday, September 29, 2010

Digugat Penjahat Kelamin, Google Kalah di Pengadilan

Google kalah dalam persidangan melawan mantan pelaku kejahatan seksual yang baru saja keluar dari penjara. Alhasil, raksasa internet itu harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi.

Seperti dikutip detikINET dari Telegraph, Selasa (28/9/2010), putusan ini dijatuhkan pengadilan tinggi di Prancis. Google dinyatakan bersalah karena dianggap telah memfitnah individu pribadi lewat akses publik.

Ihwal kejadian ini bermula ketika seorang pria asal Prancis yang tak disebutkan namanya, tak terima namanya terus terpampang setiap kali pengguna internet menulis kata kunci seperti 'pemerkosa', 'setan', 'pemerkosaan' dan 'penjara' di mesin pencari Google.

Pria yang telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara itu menuduh Google telah melakukan pencemaran nama baik. Ia pun menyeret perusahaan yang berbasis di California, Amerika Serikat, itu ke pengadilan setempat.


Setelah diputus bersalah, perusahaan yang digawangi CEO Eric Schmidt itu pun diperintahkan untuk membayar sejumlah uang untuk membayar kerugian yang ditimbulkan. Tak hanya itu, Google juga diperintahkan untuk menghapus daftar saran pencarian atas nama pria tersebut.

"Ini algoritma pencarian yang ditentukan berdasarkan sejumlah faktor obyektif, termasuk popularitas istilah atau nama pencarian," tampik juru bicara Google membela perusahaan.

"Google tidak pernah menyarankan namanya. Semua hasil pencarian yang ditampilkan secara autocomplete seperti yang telah diketik sebelumnya oleh pengguna Google lainnya," jelasnya lebih lanjut.

Google sendiri rencananya akan segera naik banding atas putusan pengadilan Prancis tersebut.
( feb / rou ) 

28 Sept 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/09/28/121322/1450235/398/digugat-penjahat-kelamin-google-kalah-di-pengadilan/?i991103105 

Pangkas Aturan, Google Tak Mau Ribet

Google mengumumkan akan menyederhanakan kebijakan privasi situsnya dan akan efektif berlaku mulai 3 Oktober 2010. Penyederhanaan ini dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggap berlebihan dalam kebijakan privasi yang dibuatnya.

"Panjang, rumit dan berkaitan dengan pengacara, itu yang terbersit dalam benak sebagian banyak orang tentang privasi. Untuk alasan yang baik, kami menyederhanakan dan memperbaharui kebijakan privasi Google," tulis Mike Yang selaku penasihat umum di Google dalam sebuah postingan blog.

Dikutip detikINET dari PC Mag, Rabu (8/9/2010), ada beberapa perubahan yang akan dilakukan Google. Pertama, raksasa internet itu akan menghapus 12 kebijakan terkait produk khusus mereka yang dinilai repetitif atau diulang-ulang.

"Contohnya, sejak daftar kontak bisa dibagi untuk produk Google lainnya seperti Gmail, Talk, Calendar dan Docs, sangat masuk akal jika layanan tersebut diatur oleh satu kebijakan privasi saja," kata Yang

Google juga berencana memangkas beberapa bahasa yang dianggap berlebihan dan membuat setiap kalimat di situsnya lebih user friendly. Tak hanya itu, Google pun akan menambah lebih banyak konten ke help center-nya sehingga pengguna dapat lebih mudah menemukan informasi terkait privasi.

Untuk melengkapi penyederhanaan kebijakan privasinya, tak lupa Google menambahkan sebuah halaman tool privasi Google Privacy Center baru. "Dengan demikian, semua tool privasi populer kami berada dalam satu tempat," terang Yang lagi.
( rns / ash ) 

08 Sep 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/09/08/103917/1437492/398/pangkas-aturan-google-tak-mau-ribet 

Google Bersihkan Spam

Google tengah sibuk melakukan aksi bersih-bersih terkait isu spamming yang dikabarkan telah menimpa sekitar 2,5 persen pengguna Gmail.

Dikutip detikINET dari Cnet, Minggu (29/8/2010), dalam forum pengguna Gmail, banyak yang melaporkan email yang mereka kirimkan, terkirim balik hingga berkali-kali  secara otomatis.

Akibatnya, banyak yang mengeluh inbox mereka penuh dengan spam. Beberapa pengguna bahkan mengaku akun Gmail mereka terblokir sehingga tidak mengirim atau menerima email.

"Masalah pada layanan email Google harus diselesaikan. Kami memohon maaf atas gangguan ini. Kami tengah bekerja keras membenahinya," tulis Google pada App Status Dashboard.  

Laporan terkait isu spam di kalangan pengguna Gmail mulai banyak dilaporkan sejak awal pekan ini. Meski Google telah berusaha menanganinya sejak Rabu, masalah ini rupanya masih berlanjut.

Google tidak menyebutkan penyebab beberapa email terkirim berkali-kali, melainkan hanya menyebutkan bahwa pihaknya masih terus melakukan investigasi.

( rns / rns )

29 Agustus 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/08/29/152856/1430501/398/google-bersihkan-spam

Karyawan Google Bajak Akun Gmail Pengguna

Lantaran melanggar kebijakan perusahaan, Google akhirnya memecat seorang karyawannya yang berprofesi sebagai insinyur di kantor Google di Seattle, Amerika Serikat.

"Kami memecat David Barksdale karena melanggar kebijakan internal privasi Google," tukas Biil Coughran selaku Senior Vice President of Engineering Google.

Coughran memang tidak menjabarkan secara detail pelanggaran apa yang telah dilakukan anak buahnya tersebut. Namun situs Gawker.com melaporkan bahwa Barksdale berulang kali telah mengambil keuntungan dari posisinya sebagai anggota tim teknis untuk sembarangan mengakses akun para pengguna.

Singkat kata, Barksdale diketahui menggunakan jabatannya untuk mengakses akun Gmail dari empat remaja tanpa ijin.

Seperti dikutip detikINET dari AFP, Kamis (15/9/2010), Barksdale dikatakan menyadap panggilan suara log dari layanan telepon online Google dan bahkan sampai mengerjai pacar salah satu korbannya. Walau Barksdale tidak melakukan pelecehan seksual, namun tindakannya jelas-jelas melanggar privasi.

"Kami akan hati-hati dalam mengendalikan jumlah karyawan yang memiliki akses ke sistem yang sensitif dan secara teratur kami akan terus memperbarui kontrol keamanan," tutup Coughran.

( feb / ash ) 

16 Sep 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/09/16/084546/1441452/398/karyawan-google-bajak-akun-gmail-pengguna 

Thursday, September 16, 2010

Ekonomi Kian Kehilangan Arah dan Daya Saing

Para ekonom mengingatkan indikasi berkembangnya patronasi politik dan penguatan oligarki ekonomi. Patronasi politik ini melahirkan semacam mafia dan kolusi baru antara penguasa dan pengusaha.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga makin kehilangan arah dan daya saing. Jantung ekonomi tidak pernah berfungsi prima karena sistem kelembagaan tak responsif. Penyebabnya, desain yang salah dan ketidakjelasan paradigma kebijakan. Sejak krisis 1997, terjadi perubahan pendulum tajam dari sistem pasar ke negara dan kemudian kembali ke pasar lagi. Semua itu tidak dijalani konsisten sehingga mempersulit desain dan arah kebijakan.

Peringatan para ekonom terungkap dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas dan kajian The Harvard Kennedy School Indonesia. ”Kita tidak tahu titik pijak kita di mana. Paradigma negara enggak. Paradigma pasar juga tidak utuh,” kata seorang panelis.


Mengenai patronasi politik dan oligarki ekonomi, ia melihat dalam beberapa kasus, transaksi politik dan janji kampanye di pasar politik telah membelenggu perekonomian. Tidak ada batas tegas antara negara dan swasta. ”Tak jelas, apakah sesuatu itu ada di ranah publik atau state,” ujarnya.

Ia mencontohkan sejumlah petinggi atau pejabat tinggi negara yang ke mana-mana naik pesawat milik pengusaha tertentu. ”Saya tanya ke KPK, apakah ini masuk gratifikasi, mereka bilang aturannya enggak jelas,” tambahnya. Ketidakjelasan aturan juga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan jalinan kepentingan kelompok tertentu melahirkan mafia dan faksionalisme serta korupsi yang terorganisasi dan sistemik.

Beberapa kebijakan bahkan terkesan direkayasa, untuk memberi keleluasaan konsolidasi kerajaan bisnis pengusaha. Salah satunya, amanat undang- undang dalam rangka penciptaan iklim persaingan lebih sehat tak kunjung dilaksanakan. Contohnya, peraturan pemerintah (PP) untuk menghindari kembalinya monopoli seharusnya ada peraturan pemerintah tentang merger dan akuisisi.

”Sampai sekarang, sudah 10 tahun, PP enggak ada. Kesan saya, sadar atau enggak, ini disengaja untuk memberi ruang gerak kepada kelompok usaha tertentu melakukan konsolidasi cepat tanpa aturan. Kesimpulannya, ada lack of institution, weak institution,” ujarnya.

Ketidakjelasan juga terlihat dalam fungsi layanan publik. Di negara maju pun ada batasan tegas sektor yang boleh diprivatisasi dan tidak. Itu tidak terjadi di Indonesia. Beda Indonesia dengan negara welfare state adalah ketika mereka melangkah ke ekonomi pasar, pemerintah telah mempersiapkan jaring pengaman sosial untuk melindungi kelompok marjinal dan terpinggirkan. Di Indonesia, pascakrisis semua cenderung diserahkan kepada pasar, tanpa perlindungan bagi masyarakat yang berada pada asimetris posisi tawar dengan pengusaha. ”Kita lupa membangun tiga pilar lain, yaitu market stabilizing, market regulating, dan market legitimating,” ujarnya.

Bahkan, diakui panelis lain, ada kecenderungan negara mengalihkan beban kegagalan mereka kepada kelompok yang memiliki posisi tawar paling lemah dalam perekonomian, yakni rakyat kecil. Salah satu contoh, kasus kenaikan harga BBM, listrik, atau harga barang akibat ekonomi biaya tinggi.

”Kalaupun (jaringan pengaman) ada, tidak dilaksanakan. Persoalannya lebih pada ada atau tidaknya political will,” tandasnya. Alasan tidak ada anggaran dinilai tak masuk akal. Pascakrisis, birokrasi praktis hanya mengerjakan yang disuruh IMF. ”Gagasan sendiri tidak ada. Bahkan, amanat undang-undang pun tak dilaksanakan. Dalam Jaring Pengaman Sosial Nasional (JPSN), bukannya menyelesaikan masalah, malah sibuk bikin kajian-kajian,” katanya.

Horizon berpikir jangka pendek bukan hanya terlihat dalam kasus JPSN. Panelis lain mengatakan, negara pun tak punya perlindungan. Ia mencontohkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi kemungkinan krisis baru karena absennya protokol payung penanganan krisis. ”Kita membuka diri, tetapi tidak men-secure diri kita sendiri. Ekonomi dibiarkan unhedged. Kalau ada shock, mereka cuma bilang, ’Wah, ada shock ya?’ Harga minyak naik, ya sudah, naikkan saja harga BBM. Jadi, beban di-pass on kepada rakyat kecil,” tambahnya.

Terjadi kegagalan kepemimpinan yang menjalar ke fungsi birokrasi, kegagalan institusi, sistem, serta kebijakan dan implementasinya. Ditegaskan, redefinisi peran negara dan transformasi birokrasi tak bisa ditawar lagi. Sebagai bagian dari reformasi dan transformasi kelembagaan, negara didesak mentransformasi diri dari perilaku sebagai kendaraan yang lebih banyak melayani kelompok kaya dan berkuasa menjadi melayani rakyat banyak.

Kehilangan arah

Gugatan lain dari diskusi adalah mengapa negara seperti China dan India bisa tumbuh dua digit atau mendekati, sementara Indonesia yang relatif selamat dari dampak krisis global 2008 kini seakan tak bergerak dan tak mampu membebaskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah tak berkualitas.

Indikasinya, pertumbuhan tak mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan kian mengandalkan pada eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta sektor manufaktur berbasis upah murah. Pembangunan ekonomi juga ditandai kian tajamnya ketimpangan antarwilayah, antarkelompok pendapatan, antarsektor. Indonesia secara fatal juga mengabaikan investasi penting ke depan, yakni sumber daya manusia, baik kesehatan maupun pendidikan.

Indonesia dihadapkan pada ”beban warisan problem kelembagaan” yang membuat sulit bergerak lincah dan birokrasi tak responsif. Energi bangsa terkuras untuk persoalan yang tak produktif.

Reformasi birokrasi yang sudah dimulai diakui berjalan sangat lambat. ”Namanya reformasi birokrasi, seharusnya presiden yang memimpin. Kalau enggak, akan ada rasa ewuh pekewuh antarmenteri, siapa melakukan apa? Reformasi sangat bergantung pada pimpinan operasional. Kalau pimpinannya tidak tegas, tak mampu memimpin, reformasi pasti gagal. Silakan mengartikan sendiri,” ujar seorang panelis. (Sri Hartati Samhadi)

30 Juli 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/2010/07/30/02401074/ekonomi.kian.kehilangan.arah.dan.daya.saing

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...