Nasib sebagian besar nelayan di Tanah Air seperti kata pepatah: bagai ayam mati di lumbung padi. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas daratan 1,8 juta kilometer persegi dan lautan 6,1 juta kilometer persegi, kenyataan menunjukkan, justru para nelayanlah yang berada pada strata kemiskinan paling bawah.
Di Indonesia, yang pernah begitu jaya di laut, sudah lama sekali ekonomi kelautannya terpuruk ditelan ekonomi daratan. Bahkan, pepatah untuk menggambarkan ketidakmampuan mengeksplorasi kekayaan bahari ini pun sangat kental bernuansa pertanian.
Meski sejarah menunjukkan bahwa Nusantara pernah jaya di samudra dengan kerajaan-kerajaan maritim yang terkenal—sebutlah Sriwijaya dan Majapahit di antaranya, kepentingan dagang Portugis, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16-18 pelan-pelan melumpuhkan kekuatan bahari ini. Warisannya kemudian adalah disorientasi sosial budaya bangsa yang berkelanjutan. Ini terbukti dari rezim pemerintahan Orde Lama dan terutama Orde Baru, yang lalai membangun kembali kesejahteraan dari laut.
Maka, makin terpinggirkanlah masyarakat nelayan. Pascareformasi, upaya membangkitkan kembali kejayaan di laut dimulai, tetapi ketertinggalan yang sedemikian parah membuat empat periode menteri kelautan dan perikanan belum bisa mengangkat nasib nelayan secara signifikan.
Situasi nelayan
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah itu, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional: menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan.
Dengan menggunakan nilai tukar nelayan, bisa diketahui bagaimana tingkat kesejahteraan nelayan. Angka ini dihitung dari indeks harga yang diterima nelayan dibagi indeks harga yang dibayarkan nelayan.
Bila angka mencapai 100, berarti harga ikan sebanding dengan biaya konsumsi ataupun produksi. Dengan demikian, semakin tinggi nilai tukar, semakin sejahteralah kehidupan nelayan.
Ternyata, dari 33 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki nilai tukar nelayan di atas 100. Nilai tertinggi dicapai Maluku (123,54), diikuti Nusa Tenggara Timur (121,43), Lampung (114,58), Daerah Istimewa Yogyakarta (113,54), dan Sumatera Selatan (113,31).
Pada 13 provinsi sisanya, nilai tukar nelayan masih di bawah 100. Terendah adalah Papua (86,13), Bangka Belitung (86,07), Kalimantan Selatan (88,62), Jambi (91,24), dan Bali (91,41).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang hadir dalam diskusi mengingatkan, jumlah nelayan di satu kawasan yang terlalu banyak bisa mengurangi pendapatan nelayan di kawasan tersebut.
Dengan menggunakan estimasi jumlah nelayan optimal di setiap kawasan pesisir, tampaklah bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Bangka Belitung rendah karena jumlah nelayan di kawasan Selat Malaka sudah melebihi kapasitas. Menurut Rokhmin, pada tahun 2002 di Selat Malaka hanya butuh 99.579 nelayan, sedangkan jumlah yang ada 224.766.
Namun, masih banyak faktor lain yang memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Misalnya, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di setiap kawasan, tingkat pengetahuan dan peralatan nelayan, serta keberlanjutan rantai produksi pascapenangkapan. Jalinan persoalan inilah yang melilit para nelayan di Indonesia sehingga menimbulkan disparitas kesejahteraan yang demikian besar.
Memberdayakan nelayan
Harus diakui, pemerintah memang belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak nelayan dan petambak tradisional. Mulai dari belum dilindunginya wilayah tangkap tradisional sampai belum diakomodasinya keluarga nelayan sebagai satu kesatuan unit produksi.
Riza Damanik mencontohkan, kerja pemerintah yang sering bersifat sektoral membuat pencemaran laut tak juga selesai ditangani. Padahal, justru di daerah yang tercemar itulah sebagian besar nelayan menangkap ikan karena wilayah tangkapan mereka paling jauh hanya mencapai 5,4 kilometer.
Di sisi lain, masih banyak praktik penangkapan ikan dengan kapal besar di wilayah yang sama. Akibatnya, meski data penangkapan ikan sudah mencapai 5,6 juta ton per tahun—mendekati potensi produksi tahun 2010 yang diperkirakan 6,5 juta ton per tahun, masih sedikit sekali yang bisa dinikmati para nelayan dan keluarganya.
Hasil diskusi kelompok terbatas yang dilakukan Kiara di Desa Morodemak, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa waktu istri beraktivitas dibanding suami dalam suatu keluarga nelayan hampir tidak jauh beda. Selain kegiatan domestik, istri nelayan juga membuat kerupuk, menjual ikan, dan pergi ke pelelangan. Total istri bekerja 16 jam sehari, sedangkan suami 15 jam sehari, itu sudah termasuk melaut dan memperbaiki jaring.
Dengan demikian, pemerintah harus mengembangkan nelayan sebagai kesatuan keluarga. Insentif tidak hanya menyangkut penangkapan, tetapi pada keseluruhan kegiatan produksi, termasuk pascatangkap. Tanpa intervensi luar biasa pada kelompok perempuan, mustahil kegiatan perikanan rakyat bisa bangkit.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berkurangnya masa tangkap karena cuaca ekstrem. Frekuensi melaut nelayan kini tinggal 160-180 hari dalam setahun, padahal sebelumnya bisa 260-300 hari, sehingga otomatis terjadi penurunan pendapatan.
Maka, agar Revolusi Biru menjadi solusi yang menyejahterakan rakyat, ada tiga model yang bisa menjadi pilihan: teknokratik, populis, dan teknopopulis.
Teknokratik yang berorientasi pada peningkatan produksi, padat modal, dan mengandalkan pelaku besar sudah dipraktikkan di Peru, China, dan Vietnam. Produksi perikanan tangkap Peru pernah menjadi nomor satu dunia dan kini menempati urutan kedua (7,4 juta ton) setelah China (14,8 juta ton).
Model populis berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan mengandalkan pelaku-pelaku kecil, seperti di Filipina. Investasi besar tidak bermain di sektor hulu, tetapi di hilir. Pilihan ini sangat pronelayan, tetapi tidak menghasilkan angka produksi dan ekspor yang spektakuler.
Model ketiga yang merupakan perpaduan teknokratik dan populis dipraktikkan di Jepang dan Norwegia. Model ini melindungi nelayan kecil, tetapi pada saat yang sama mengembangkan industri skala besar dengan mendorong nelayan-nelayan yang kuat beroperasi di perairan internasional. Nelayan kecil sejahtera, tetapi produksi tetap tinggi.
Bila amanat konstitusi menjadi pertimbangan, maka perpaduan model teknokratik dengan populis atau teknopopulis menjadi pilihan tepat untuk mengembangkan industri bahari di negeri ini. Jumlah nelayan tradisional yang masih 90 persen akan terlindungi dan masih ada ruang untuk mengembangkan industri perikanan, termasuk pengolahannya.
Ini berarti optimalisasi informasi baik iklim maupun kawasan potensi ikan ke komunitas nelayan, peningkatan sumber daya manusia, penyediaan asuransi iklim dan modal usaha bagi nelayan, infrastruktur yang memadai, serta terbukanya kawasan investasi perikanan yang efisien dan bebas pungutan liar.
Semua itu sungguh bukan pekerjaan yang mudah di tengah euforia otonomi. Akan tetapi, justru di sinilah peran Kementerian Kelautan dan Perikanan diuji.
09 Februari 2011
Source:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04332498/.sejahtera.di..negeri.bahari
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Wednesday, February 9, 2011
Mengembalikan Keberpihakan Perbankan
Kesadaran akan pentingnya keberpihakan perbankan terhadap sektor perikanan sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, selain Bank Negara Indonesia Tahun 1946, negara mendirikan pula Bank Tani dan Nelayan.
”Waktu itu sudah disadari petani dan nelayan miskin,” ujar Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan demikian, diperlukan bank khusus tani dan nelayan untuk membantu pembiayaan.
Namun, dalam perkembangannya, bank untuk tani dan nelayan itu akhirnya tertelan sejarah, melebur ke bank lain. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 41 Tahun 1960, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Tani dan Nelayan melebur ke dalam Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) juga melebur ke dalam BKTN.
Dalam catatan sejarah BRI, lebih lanjut disebutkan bahwa lima tahun kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 9 Tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan.
Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama BNI Unit II Bidang Rural, sedangkan NHM menjadi BNI Unit II Bidang Ekspor Impor.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Undang-Undang Bank Sentral akhirnya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Selain itu, BNI Unit II Bidang Rural dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.
”Sejak itu, kredit-kredit besar tidak lagi diberikan bagi kepentingan petani dan nelayan,” kata Sri-Edi. Padahal, kredit perbankan ini sangat diperlukan untuk investasi mengembangkan perikanan tangkap yang tangguh dan membangun industri pengolahan perikanan.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2005-2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22 persen menjadi 0,23 persen. Selama tahun 2009, misalnya, penyaluran kredit perikanan Rp 3,33 triliun (0,23 persen) dari total kredit perbankan. Kredit itu meliputi usaha kecil dan menengah Rp 2,1 triliun, sisanya Rp 1,2 triliun untuk usaha besar.
Kredit bermasalah
Meski alokasi kredit minim, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor perikanan tergolong tinggi. Tahun 2009, NPL perikanan mencapai 11,76 persen dari total kredit. Penyebab kredit macet itu, di antaranya, nelayan yang telah mendapat kredit dari bank tidak mampu membayar atau pindah wilayah tinggal tanpa pemberitahuan sehingga sulit dilacak oleh perbankan. ”Perikanan masih menjadi sektor yang menakutkan bagi perbankan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi (Kompas, 23/4/2010).
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengakui perbankan masih menilai NPL perikanan menjadi momok, baik terhadap perusahaan perikanan besar maupun terhadap nelayan kecil. Terkait masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah berdebat panjang dengan direksi Bank Indonesia dan direksi BRI tentang alokasi kredit untuk sektor perikanan.
Bank Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 22 April 2010. Salah satu butir kesepakatan itu adalah membentuk kluster di daerah-daerah guna mempertemukan pengusaha besar, kelompok nelayan, pembudidaya, pemerintah daerah, dan perbankan guna mengatasi masalah permodalan usaha perikanan. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko menilai, BI telah gagal mendorong fungsi intermediasi perbankan di sektor perikanan.
Dengan gagalnya fungsi intermediasi itu, sekadar ilustrasi, ikan patin Indonesia tidak mungkin akan bersaing dengan ikan patin Myanmar atau Vietnam. Petani yang memelihara ikan patin di Myanmar dan Vietnam mendapat diskon kredit, sedangkan suku bunga kredit di Indonesia sulit bergerak pada kisaran 14 persen. ”Dengan suku bunga semacam ini, saya kira kita tidak bisa bergerak sama sekali,” ujar Bambang.
Terlebih lagi jika nanti tahun 2015 Indonesia masuk menjadi bagian dari komunitas negara-negara Asia Tenggara (ASEAN Community), Indonesia akan kembali ”dimakan” negara-negara ASEAN lain karena kalah dalam insentif suku bunga.
Untuk itu, Bambang Suboko menyarankan kepada perbankan untuk mengambil peran dalam pengembangan sektor perikanan ini. Pertama, memperbaiki peranan intermediasi. Kedua, menurunkan suku bunga kredit konsumsi yang sekarang 16,63 persen dan kredit investasi yang sekarang sebesar 13,78 persen, menurunkan bunga surat utang negara yang sekarang 9-10 persen, serta meninjau kembali giro wajib minimum. Selain itu, memperbaiki persepsi pada sektor riil yang berisiko besar. Ketiga, memperbaiki fasilitas pembiayaan ekspor seperti kredit modal kerja ekspor, pembiayaan letter of credit, dan asuransi ekspor.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sepakat dengan Bambang Suboko bahwa sesuai data Bank Dunia, suku bunga kredit tertinggi di seluruh dunia ada di Indonesia, yaitu sekitar 14 persen. Padahal di Thailand, suku bunga kredit hanya 2,8 persen. Inti masalahnya, kata Rokhmin, kalau dari sisi pembiayaan Indonesia sudah kalah kompetitif dibandingkan negara lain, maka lupakan sektor perikanan bisa kompetitif.
”Oleh karena itu, perlu terobosan dari sisi pembiayaan,” tambah Arif Satria.
Perlu instrumen nonbank
Arif Satria menilai, selama sektor perikanan bergantung pada bank, sektor ini selalu akan berbenturan dengan kepentingan bank yang mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan karena ada prinsip kehati-hatian yang harus ditaati perbankan.
Salah seorang peserta diskusi, Son Diamar, menyarankan agar diadakan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih berjalan.
Pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) perikanan untuk membantu pembiayaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah pula menjalin kerja sama dengan sejumlah bank. Kerja sama dengan BNI, misalnya, ditandatangani pada 27 September 2010. Kerja sama itu, seperti dikutip dalam siaran pers BNI, langsung diwujudkan dengan penandatanganan persetujuan pemberian fasilitas kredit senilai Rp 70 miliar.
Namun, praktik di lapangan, seperti diamati Rokhmin Dahuri, tidak selalu mulus. ”KUR perikanan itu susah sekali didapatkannya. Selain bunganya tinggi sekali, rakyat kecil enggak bisa pinjam ke bank,” tuturnya.
Arif Satria mengusulkan perlunya menciptakan instrumen lain nonbank. Kalau sekarang Kementerian Pertanian membuat RUU Pembiayaan Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga perlu mengusulkan RUU Pembiayaan Perikanan. Dengan demikian, nanti ada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di lapangan yang tidak kaku seperti bank.
”LKM harus fleksibel dan adaptif terhadap kepentingan nelayan,” katanya.
Namun, kembalinya perbankan berpihak pada kepentingan tani dan nelayan—sebagaimana tercatat dalam sejarah terbentuknya Republik Indonesia— tetap menjadi harapan.
09 Februari 2011
Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04340062/.mengembalikan.keberpihakan.perbankan
”Waktu itu sudah disadari petani dan nelayan miskin,” ujar Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan demikian, diperlukan bank khusus tani dan nelayan untuk membantu pembiayaan.
Namun, dalam perkembangannya, bank untuk tani dan nelayan itu akhirnya tertelan sejarah, melebur ke bank lain. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 41 Tahun 1960, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Tani dan Nelayan melebur ke dalam Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) juga melebur ke dalam BKTN.
Dalam catatan sejarah BRI, lebih lanjut disebutkan bahwa lima tahun kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 9 Tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan.
Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama BNI Unit II Bidang Rural, sedangkan NHM menjadi BNI Unit II Bidang Ekspor Impor.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Undang-Undang Bank Sentral akhirnya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Selain itu, BNI Unit II Bidang Rural dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.
”Sejak itu, kredit-kredit besar tidak lagi diberikan bagi kepentingan petani dan nelayan,” kata Sri-Edi. Padahal, kredit perbankan ini sangat diperlukan untuk investasi mengembangkan perikanan tangkap yang tangguh dan membangun industri pengolahan perikanan.
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2005-2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22 persen menjadi 0,23 persen. Selama tahun 2009, misalnya, penyaluran kredit perikanan Rp 3,33 triliun (0,23 persen) dari total kredit perbankan. Kredit itu meliputi usaha kecil dan menengah Rp 2,1 triliun, sisanya Rp 1,2 triliun untuk usaha besar.
Kredit bermasalah
Meski alokasi kredit minim, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor perikanan tergolong tinggi. Tahun 2009, NPL perikanan mencapai 11,76 persen dari total kredit. Penyebab kredit macet itu, di antaranya, nelayan yang telah mendapat kredit dari bank tidak mampu membayar atau pindah wilayah tinggal tanpa pemberitahuan sehingga sulit dilacak oleh perbankan. ”Perikanan masih menjadi sektor yang menakutkan bagi perbankan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi (Kompas, 23/4/2010).
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengakui perbankan masih menilai NPL perikanan menjadi momok, baik terhadap perusahaan perikanan besar maupun terhadap nelayan kecil. Terkait masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah berdebat panjang dengan direksi Bank Indonesia dan direksi BRI tentang alokasi kredit untuk sektor perikanan.
Bank Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 22 April 2010. Salah satu butir kesepakatan itu adalah membentuk kluster di daerah-daerah guna mempertemukan pengusaha besar, kelompok nelayan, pembudidaya, pemerintah daerah, dan perbankan guna mengatasi masalah permodalan usaha perikanan. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko menilai, BI telah gagal mendorong fungsi intermediasi perbankan di sektor perikanan.
Dengan gagalnya fungsi intermediasi itu, sekadar ilustrasi, ikan patin Indonesia tidak mungkin akan bersaing dengan ikan patin Myanmar atau Vietnam. Petani yang memelihara ikan patin di Myanmar dan Vietnam mendapat diskon kredit, sedangkan suku bunga kredit di Indonesia sulit bergerak pada kisaran 14 persen. ”Dengan suku bunga semacam ini, saya kira kita tidak bisa bergerak sama sekali,” ujar Bambang.
Terlebih lagi jika nanti tahun 2015 Indonesia masuk menjadi bagian dari komunitas negara-negara Asia Tenggara (ASEAN Community), Indonesia akan kembali ”dimakan” negara-negara ASEAN lain karena kalah dalam insentif suku bunga.
Untuk itu, Bambang Suboko menyarankan kepada perbankan untuk mengambil peran dalam pengembangan sektor perikanan ini. Pertama, memperbaiki peranan intermediasi. Kedua, menurunkan suku bunga kredit konsumsi yang sekarang 16,63 persen dan kredit investasi yang sekarang sebesar 13,78 persen, menurunkan bunga surat utang negara yang sekarang 9-10 persen, serta meninjau kembali giro wajib minimum. Selain itu, memperbaiki persepsi pada sektor riil yang berisiko besar. Ketiga, memperbaiki fasilitas pembiayaan ekspor seperti kredit modal kerja ekspor, pembiayaan letter of credit, dan asuransi ekspor.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sepakat dengan Bambang Suboko bahwa sesuai data Bank Dunia, suku bunga kredit tertinggi di seluruh dunia ada di Indonesia, yaitu sekitar 14 persen. Padahal di Thailand, suku bunga kredit hanya 2,8 persen. Inti masalahnya, kata Rokhmin, kalau dari sisi pembiayaan Indonesia sudah kalah kompetitif dibandingkan negara lain, maka lupakan sektor perikanan bisa kompetitif.
”Oleh karena itu, perlu terobosan dari sisi pembiayaan,” tambah Arif Satria.
Perlu instrumen nonbank
Arif Satria menilai, selama sektor perikanan bergantung pada bank, sektor ini selalu akan berbenturan dengan kepentingan bank yang mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan karena ada prinsip kehati-hatian yang harus ditaati perbankan.
Salah seorang peserta diskusi, Son Diamar, menyarankan agar diadakan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih berjalan.
Pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) perikanan untuk membantu pembiayaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah pula menjalin kerja sama dengan sejumlah bank. Kerja sama dengan BNI, misalnya, ditandatangani pada 27 September 2010. Kerja sama itu, seperti dikutip dalam siaran pers BNI, langsung diwujudkan dengan penandatanganan persetujuan pemberian fasilitas kredit senilai Rp 70 miliar.
Namun, praktik di lapangan, seperti diamati Rokhmin Dahuri, tidak selalu mulus. ”KUR perikanan itu susah sekali didapatkannya. Selain bunganya tinggi sekali, rakyat kecil enggak bisa pinjam ke bank,” tuturnya.
Arif Satria mengusulkan perlunya menciptakan instrumen lain nonbank. Kalau sekarang Kementerian Pertanian membuat RUU Pembiayaan Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga perlu mengusulkan RUU Pembiayaan Perikanan. Dengan demikian, nanti ada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di lapangan yang tidak kaku seperti bank.
”LKM harus fleksibel dan adaptif terhadap kepentingan nelayan,” katanya.
Namun, kembalinya perbankan berpihak pada kepentingan tani dan nelayan—sebagaimana tercatat dalam sejarah terbentuknya Republik Indonesia— tetap menjadi harapan.
09 Februari 2011
Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04340062/.mengembalikan.keberpihakan.perbankan
Monday, February 7, 2011
Bukti-bukti Bing Menjiplak Google
Amit Singhal dari Google menulis bukti-bukti kalau Bing, mesin search engine Microsoft, menjiplak data pencarian Google secara membabi buta. Kedua bukti merupakan hasil eksperimen yang dilakukan para insinyurnya setelah curiga dengan kemampuan Bing selama ini.
Bukti pertama bahwa Bing menjiplak Google adalah dalam pencarian kata "tarsorrhaphy", prosedur bedah kelopak mata yang sangat jarang dilakukan. Pada pertengahan tahun 2010, Google mengamati hasil pencarian yang unik yang menghasilkan pencarian dengan kata kunci tersebut. Pengguna saat itu memasukkan pencarian dengan kata kunci yang salah, yakni "torsoraphy". Namun, mesin Google akan merekomendasikan istilah yang benar berikut hasil pencariannya.
"Saat itu, Bing tidak memberikan hasil pencarian dengan istilah yang salah itu. Kemudian, pada akhir musim panas, Bing mulai memberikan hasil pencarian kami kepada pengunjungnya tanpa menyatakan istilah yang benar. Hal tersebut sangat janggal," tulis Singhal.
Menurutnya, bagaimana mungkin mesin memberikan hasil pencarian dengan kata kunci yang bukan diminta pengunjung tanpa tahu istilah yang benar itu. Kalau memang tahu istilah yang benar, hasil pencarian dengan kata kunci yang benar tentu lebih banyak. Kenyataannya, hasil dengan istilah yang benar ternyata hanya satu alamat dan bercampur dengan kata kunci yang salah.
Ia mengatakan, beberapa bulan kemudian, Google pun mencatat bahwa jumlah alamat situs hasil pencarian di Google yang dijiplak Bing makin bertambah, baik dengan kata kunci yang populer maupun istilah yang salah ketik. Bahkan, kata dia, hasil pencarian yang menurut insinyur Google tak benar karena salah algoritme pun muncul di Bing.
"Kami sadari sesuatu tengah terjadi dan rasa penasaran kami makin kuat pada akhir Oktober 2010 saat betapa banyaknya hasil pencarian tertinggi di Google banyak yang sama dengan Bing. Pola statistik itu sulit sekali dikesampingkan. Untuk menguji hipotesis ini, kami butuh eksperimen untuk memastikan apakah Microsoft benar-benar menggunakan hasil pencarian Google di pemeringkatan Bing," ungkap Singhal.
Untuk membuktikan hipotesis tersebut, para insinyur Google pun melakukan eksperimen dengan membuat 100 hasil pencarian sintetis. Mereka menggunakan kata-kata kunci yang kecil kemungkinan digunakan pengguna, contohnya "hiybbprqag". Dalam eksperimen ini, Google menambahkan alamat situs tambahan dalam hasil pencarian yang tidak ada kaitannya dengan kata kunci tersebut.
"Kepada 20 insinyur kami berikan laptop yang sudah dipasangi Microsoft Windows baru dengan Internet Explorer 8 (IE8) yang dilengkapi Bing Toolbar. Selama proses instalasi, kami memilih fitur "Suggested Sites" di IE8 dan kami memilih pengaturan standar Bing Toolbar," ucap Singhal.
Kemudian, setiap orang diminta melakukan pencarian dengan kata kunci yang aneh-aneh tersebut di mesin pencarian Google lalu mengeklik alamat situs yang telah disisipkan sebelumnya. Dalam beberapa minggu kemudian, alamat situs yang khusus ditambahkan Google ternyata muncul di hasil pencarian Bing untuk kata kunci yang sama. Padahal, itulah satu-satunya alamat situs yang muncul di hasil pencarian Google dan sengaja ditambahkan.
Kata kunci yang dijadikan eksperimen Google antara lain hiybbprqaq yang diberi hasil pencarian pemesanan tiket di sebuah teater di Los Angeles. Kata kunci lainnyadelhipublicschool40 chdjob yang diberi hasil pencarian alamat web Credit Union. Adapun kata kunci juegosdeben1ogrande diberi hasil pencarian alamat web penjual perhiasan.
Dengan temuan itu, ia menyimpukan bahwa Microsoft memanfaatkan fitur Suggested Sites di IE8 dan Customer Experience Improvement Program di Bing Toolbar untuk mengirim data-data hasil pencarian pengguna di Google ke Microsoft. Bisa juga menggunakan metode lainnya agar hasil pencarian pengguna di Google bisa dijiplak Bing.
"Kami menantikan kompetisi dengan algoritme search engine yang asli, algoritme yang dibangun di inovasi intinya dan bukan hasil pencarian daur ulang dari kompetitor," tandas Singhal. Menurutnya, apa yang dilakukan Microsoft hanya akan menghasilkan pencarian murahan, yang tidak lengkap alias versi imitasi Google.
02 Februari 2011
Waspadai Belanja Via Internet
MARAK toko di dunia maya yang menawarkan harga menggiurkan tak langsung berarti kemudahan. Kanit Cyber Crime Direktorat II Ekonomi Khusus Mabes Polri, Kombes Sulistyo mengingatkan, penipuan toko-toko tersebut bukan terjadi hanya satu-dua kali. Polri menerima aduan semacam ini hingga ratusan dalam setahun, mulai dari tertipu Rp4 juta-Rp200 juta, bahkan hingga mancanegara.
"Ini cyber fraud, penipuan lewat internet. Yang benar itu kan kalau transaksi lewat internet, kirim uang lewat rekening, kemudian barang dikirim sesuai permintaan, itu yang benar. Tapi kalau yang penipu, kirim uang langsung goodbye, selesai, jangan harap," papar Sulistyo ditemuiMedia Indonesia di ruang kantornya di Mabes Polri belum lama ini. "Modusnya pintar. Dia kasih harga lebih murah. Otomatis orang lebih tertarik, padahal nggak dapat apa-apa, uang itu hilang."
Modus website toko-toko palsu ini, kata Sulistyo, ada dua. Modus yang pertama ialah bahwa toko tersebut benar-benar rekaan semata. "Satu lagi dia benar-benar aspal. Jadi perusahaan itu terdaftar di Departemen Perdagangan, tapi dia nggak produksi. Dia buka di internet, ini lho perusahaan saya lengkap izinnya semuanya macam-macam, kan tertarik orang. Nanti kalau misalnya kirim barang ke luar negeri, pake ini lho trontonnya apa, kapalnya apa. sesudah orang tertarik, kirim uang, begitu dicek, tokonya ada, tapi nggak usaha di bidang itu. Duit ilang," ujarnya.
Mabes Polri sebagai kantor tertinggi Kepolisian Indonesia sengaja mengkhususkan diri dalam laporan aduan penipuan dengan korban luar negeri dan antar wilayah Polda. Sepanjang 2010, Mabes Polri menerima 210 laporan semacam itu. Angka tersebut sebenarnya sudah sedikit lebih baik daripada 2009, yakni 225 kasus.
Di 2010, yang berhasil menjadi laporan (LP) hanya 18 saja. Yang berhasil berkasnya dilengkapi sehingga menunggu sidang di pengadilan berjumlah tujuh, namun awal bulan ini berhasil ditambahkan empat lagi. Sementara itu, yang berkasnya berhasil dilimpahkan tahap dua baru lima. Namun, tak banyak kasus yang dapat diselesaikan dalam setahun.
"Setahun ini segini laporanya di gudang, tapi paling berapa yang bisa kita jadikan LP," kata Sulistyo sambil mencontohkan tumpukan berkas setinggi sekitar setengah mter. "Di 2010 yang selesai empat (karena) minimnya personel. Kita juga banyak (tangani) yang lain lagi."
Selain minimnya personel, Sulistyo juga megeluhkan repotnya menangani kejahatan lintas negara. "Korban mengadunya ke KBRI-KBRI kita di sana (luar negeri). KBRI hubungi (Divisi) Hubinter, NCB (National Crime Bureau Interpol), NCB terusin ke kami. Kami bikin laporan informasi, sidik. Sudah diduga ini tersangkanya dari nomor rekening dan lain-lain, baru kita hubungi korban di luar negeri. Susah banget nih modalnya gede. Mereka kan cuma bikin laporan pengaduan. Kalau pun misalnya kita sudah tahu tersangkanya siapa, kita nggak bisa tangkap langsung soalnya LP (laporan) belum ada, berita acara pemeriksaan saksi korban belum ada, terpaksa harus terbang ke sana," ungkapnya.
Kesulitan soal jarak dan biaya pun belum seberapa. Pasalnya, mengatasi kejahatan cyber juga perlu kerja sama berbagai instansi. Tentu jadi hal mudah jika semua bekerja sama. Tapi bagaimana jika tidak? Sulistyo mengatakan, salah satu yang sulit ditembus merupakan server Blackberry di Kanada.
"Kita kan harus punya partner kerja, koordinasi yang baik, dengan provider, dengan Telkom untuk bisa pembelanjaan handphone ini milik siapa, kemudian website, IP addressnya milik siapa, ini semuanya kan dengan mereka-mereka itu," jelasnya. "Tapi kalau Blackberry, kita hubungan ke Amerika. Mereka cuma cepat untuk kasus teroris, pornografi, dan narkoba. Cepat itu hitungan bulan ya, sebulan lah. Soalnya kan harus ada surat, biasanya mesti dari Kabareskrim dulu."
Yang sulit lagi, lanjut Sulistyo, kalau IP Address yang digunakan sang penipu bodong alias tak jelas atas nama siapa. KTP yang dipakai untuk mendaftarkan IP Address tersebut merupakan KTP palsu untuk membuat rekening.
"Kita pernah ada laporan. Begitu lihat ini atas nama siapa, KTPnya dikejar, dia bilang 'Saya nggak tahu Pak, ini saya kemarin KTP dipinjam orang saya dikasih sejuta.' Ditanya, kenal orangnya atau ngga, 'Nggak kenal.' Selesai," ungkapnya.
Kasus cyber crime seperti ini, menurut Sulistyo, makan waktu ketika proses penyelidikan. Penyelidikan paling cepat ditempuh satu setengah bulan. Setelah itu, proses berikutnya akan berlangsung lebih cepat. Pasalnya, kejahatan semacam ini biasanya hanya melibatkan seorang tersangka, "Dia bekerja sendiri, manajemen tukang baso. Semuanya dia olah sendiri. paling dia minta suruhan pegawainya untuk mengambil uang di bank. Tapi, semua tersangka ini ahli IT."
Salah satu kasus yang menarik yang saat ini sedang ditangani pihaknya merupakan kasus pembelian kertas dari Qatar. Seorang penipu yang sampai saat ini belum tertangkap menjual kertas dengan harga miring, menipu calon pembeli hingga Rp200 juta.
"Tapi pintar, sampel kertasnya dikirim satu rim, jadi korbannya percaya dong. Kan pakai modal juga dia kirim satu rim sampel. Begitu korban percaya, dia bilang kurang, minta dikirim lagi Rp 200 juta. Setelah itu orangnya menghilang," kata Sulistyo.
Oleh karena itu, Sulistyo menghimbau agar calon pembeli toko online tidak mudah percaya terhadap harga menggiurkan. "Ya jangan mudah percaya dulu. Mungkin bisa cari dulu orang yang sudah beli di sana, benar ada apa tidak. Jangankan beli jauh-jauh, sudah kenal saja masih bisa ketipu," pungkasnya.(*/X-12)
04 Februari 2011
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/02/200898/270/115/Waspadai-Belanja-Via-Internet
"Ini cyber fraud, penipuan lewat internet. Yang benar itu kan kalau transaksi lewat internet, kirim uang lewat rekening, kemudian barang dikirim sesuai permintaan, itu yang benar. Tapi kalau yang penipu, kirim uang langsung goodbye, selesai, jangan harap," papar Sulistyo ditemuiMedia Indonesia di ruang kantornya di Mabes Polri belum lama ini. "Modusnya pintar. Dia kasih harga lebih murah. Otomatis orang lebih tertarik, padahal nggak dapat apa-apa, uang itu hilang."
Modus website toko-toko palsu ini, kata Sulistyo, ada dua. Modus yang pertama ialah bahwa toko tersebut benar-benar rekaan semata. "Satu lagi dia benar-benar aspal. Jadi perusahaan itu terdaftar di Departemen Perdagangan, tapi dia nggak produksi. Dia buka di internet, ini lho perusahaan saya lengkap izinnya semuanya macam-macam, kan tertarik orang. Nanti kalau misalnya kirim barang ke luar negeri, pake ini lho trontonnya apa, kapalnya apa. sesudah orang tertarik, kirim uang, begitu dicek, tokonya ada, tapi nggak usaha di bidang itu. Duit ilang," ujarnya.
Mabes Polri sebagai kantor tertinggi Kepolisian Indonesia sengaja mengkhususkan diri dalam laporan aduan penipuan dengan korban luar negeri dan antar wilayah Polda. Sepanjang 2010, Mabes Polri menerima 210 laporan semacam itu. Angka tersebut sebenarnya sudah sedikit lebih baik daripada 2009, yakni 225 kasus.
Di 2010, yang berhasil menjadi laporan (LP) hanya 18 saja. Yang berhasil berkasnya dilengkapi sehingga menunggu sidang di pengadilan berjumlah tujuh, namun awal bulan ini berhasil ditambahkan empat lagi. Sementara itu, yang berkasnya berhasil dilimpahkan tahap dua baru lima. Namun, tak banyak kasus yang dapat diselesaikan dalam setahun.
"Setahun ini segini laporanya di gudang, tapi paling berapa yang bisa kita jadikan LP," kata Sulistyo sambil mencontohkan tumpukan berkas setinggi sekitar setengah mter. "Di 2010 yang selesai empat (karena) minimnya personel. Kita juga banyak (tangani) yang lain lagi."
Selain minimnya personel, Sulistyo juga megeluhkan repotnya menangani kejahatan lintas negara. "Korban mengadunya ke KBRI-KBRI kita di sana (luar negeri). KBRI hubungi (Divisi) Hubinter, NCB (National Crime Bureau Interpol), NCB terusin ke kami. Kami bikin laporan informasi, sidik. Sudah diduga ini tersangkanya dari nomor rekening dan lain-lain, baru kita hubungi korban di luar negeri. Susah banget nih modalnya gede. Mereka kan cuma bikin laporan pengaduan. Kalau pun misalnya kita sudah tahu tersangkanya siapa, kita nggak bisa tangkap langsung soalnya LP (laporan) belum ada, berita acara pemeriksaan saksi korban belum ada, terpaksa harus terbang ke sana," ungkapnya.
Kesulitan soal jarak dan biaya pun belum seberapa. Pasalnya, mengatasi kejahatan cyber juga perlu kerja sama berbagai instansi. Tentu jadi hal mudah jika semua bekerja sama. Tapi bagaimana jika tidak? Sulistyo mengatakan, salah satu yang sulit ditembus merupakan server Blackberry di Kanada.
"Kita kan harus punya partner kerja, koordinasi yang baik, dengan provider, dengan Telkom untuk bisa pembelanjaan handphone ini milik siapa, kemudian website, IP addressnya milik siapa, ini semuanya kan dengan mereka-mereka itu," jelasnya. "Tapi kalau Blackberry, kita hubungan ke Amerika. Mereka cuma cepat untuk kasus teroris, pornografi, dan narkoba. Cepat itu hitungan bulan ya, sebulan lah. Soalnya kan harus ada surat, biasanya mesti dari Kabareskrim dulu."
Yang sulit lagi, lanjut Sulistyo, kalau IP Address yang digunakan sang penipu bodong alias tak jelas atas nama siapa. KTP yang dipakai untuk mendaftarkan IP Address tersebut merupakan KTP palsu untuk membuat rekening.
"Kita pernah ada laporan. Begitu lihat ini atas nama siapa, KTPnya dikejar, dia bilang 'Saya nggak tahu Pak, ini saya kemarin KTP dipinjam orang saya dikasih sejuta.' Ditanya, kenal orangnya atau ngga, 'Nggak kenal.' Selesai," ungkapnya.
Kasus cyber crime seperti ini, menurut Sulistyo, makan waktu ketika proses penyelidikan. Penyelidikan paling cepat ditempuh satu setengah bulan. Setelah itu, proses berikutnya akan berlangsung lebih cepat. Pasalnya, kejahatan semacam ini biasanya hanya melibatkan seorang tersangka, "Dia bekerja sendiri, manajemen tukang baso. Semuanya dia olah sendiri. paling dia minta suruhan pegawainya untuk mengambil uang di bank. Tapi, semua tersangka ini ahli IT."
Salah satu kasus yang menarik yang saat ini sedang ditangani pihaknya merupakan kasus pembelian kertas dari Qatar. Seorang penipu yang sampai saat ini belum tertangkap menjual kertas dengan harga miring, menipu calon pembeli hingga Rp200 juta.
"Tapi pintar, sampel kertasnya dikirim satu rim, jadi korbannya percaya dong. Kan pakai modal juga dia kirim satu rim sampel. Begitu korban percaya, dia bilang kurang, minta dikirim lagi Rp 200 juta. Setelah itu orangnya menghilang," kata Sulistyo.
Oleh karena itu, Sulistyo menghimbau agar calon pembeli toko online tidak mudah percaya terhadap harga menggiurkan. "Ya jangan mudah percaya dulu. Mungkin bisa cari dulu orang yang sudah beli di sana, benar ada apa tidak. Jangankan beli jauh-jauh, sudah kenal saja masih bisa ketipu," pungkasnya.(*/X-12)
04 Februari 2011
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/02/200898/270/115/Waspadai-Belanja-Via-Internet
Alamat Internet Habis, Bagaimana Selanjutnya?
Isu akan habisnya IPv4 sudah bergaung di kalangan pelaku internet beberapa tahun terakhir ini. Berbagai kalkulasi dilakukan, dan hingga pertengahan tahun lalu, habisnya freepool IPv4 di IANA (Internet Assigned Numbers Authority) diperkirakan pada sekitar pertengahan tahun 2011 ini.
Alokasi IP Address di dunia diatur oleh IANA, dan di bawahnya ada pembagian lima wilayah berdasarkan geografi. Indonesia bernaung di bawah Asia Pacific Network Information Centre (APNIC) yang berpusat di Australia.
1 Februari 2011, IANA mengabulkan permintaan APNIC dan memberikan 2 blok /8 terakhirnya. Dan, inilah saat habisnya freepool IPv4 di IANA. Memang, masih ada 5 blok /8 lagi yang disimpan IANA, tetapi blok tersebut segera dibagikan secara merata ke setiap wilayah: Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Afrika, dan Eropa. Lima blok terakhir ini juga akan dialokasikan ke pengguna dengan tata cara yang jauh lebih ketat dari sebelumnya dan jumlah maksimal yang jauh lebih kecil.
"Ini adalah sejarah besar dalam perkembangan internet di dunia meskipun telah diantisipasi jauh hari sebelumnya," ucap Raúl Echeberría, Direktur Number Resource Organization (NRO), yang merupakan perwakilan resmi lembaga pengelola IP Address di tiap wilayah. "Masa depan internet adalah IPv6. Semua komponen yang terkait harus melakukan langkah nyata untuk segera menggunakan IPv6," ujarnya.
Habisnya IPv4 ini memang merupakan pukulan yang cukup berat untuk sebagian besar negara di kawasan Asia Pasifik. "Kawasan ini merupakan wilayah dengan populasi terbesar di dunia dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hampir semua negara sedang mengembangkan infrastruktur internetnya dengan pesat." kilah Geoff Huston, Chief Scientist APNIC.
Kendala yang dihadapi
Ada beberapa kendala yang akan dihadapi dengan habisnya freepool IPv4 ini.
Pertama, penyedia infrastruktur dan jaringan akan sulit untuk memberikan alokasi IP publik ke pelanggan baru. Terpaksa dilakukan penggunaan IP private dengan proses penerjemahan alamat. Secara umum memang pelanggan bisa mengakses internet, tetapi ada beberapa aplikasi khusus yang menuntut adanya koneksi langsung menjadi tidak bekerja. Membuat ISP baru akan menjadi hal yang hampir mustahil dilakukan jika tidak tersedia alokasi IPv4 yang baru.
Kedua, di sisi penyedia server, adanya penambahan IP publik adalah syarat mutlak untuk menambahkan server. Server konten yang bertujuan untuk diakses banyak pengunjung dari internet membutuhkan IP publik. Tidak tersedianya IP publik secara langsung akan menghambat perkembangan industri konten.
Lakukan sekarang
Bagi penyedia konten, pemilik jaringan yang besar, kampus, bank, dan berbagai institusi yang memiliki jaringan serta konten internet, masih ada sedikit waktu untuk segera meminta alokasi IPv4 sekaligus langsung menjalankan IPv6.
Ada banyak keuntungan apabila kita memiliki IPv4 sendiri. Kita bisa berlangganan ke lebih dari satu ISP dan melakukan load balance serta sekaligus fail over untuk beberapa tautan upstreamtersebut. Kita juga lebih fleksibel untuk berpindah ISP karena tidak perlu mengubah alamat IP karena alamat IP yang kita gunakan memang dialokasikan secara permanen ke kita, tidak tergantung pada pinjaman IP dari ISP.
Untuk penyedia konten seperti perbankan, memiliki IP sendiri juga lebih baik dari sisi keamanan. Jika dilakukan whois pada alamat IP tersebut, data yang tercantum adalah identitas institusi kita sendiri, bukan ISP tempat kita berlangganan.
Institusi yang ingin mendapatkan alokasi IPv4 bisa menghubungi Indonesia Network Information Center (IDNIC) di web www.idnic.net atau e-mail hostmaster@idnic.net
Migrasi ke IPv6
Di masa depan, IPv6 adalah jawaban pasti atas masalah habisnya IPv4 ini. IPv6 menjanjikan jumlah yang jauh lebih banyak. Jika IPv4 hanya berjumlah 4,3 milyar IP, IPv6 berjumlah 4 triliun triliun triliun triliun IP. Sungguh perbedaan jumlah yang sangat signifikan.
Selain itu, IPv6 juga menjanjikan protokol keamanan yang lebih baik karena protokol keamanannya bersifat bawaan, tidak seperti IPv4 yang bersifat opsional.
Semua pihak yang terkait dengan penggunaan jaringan dan IP Address diharapkan saat ini juga mulai melakukan migrasi ke IPv6. Dalam beberapa waktu mendatang, IPv4 dan IPv6 berjalan bersamaan (dual-stack) hingga satu saat nanti kita bisa sepenuhnya menikmati penggunaan IPv6.
Penulis: Valens Riyadi, Kabid National Internet Registry Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...