Friday, August 14, 2009

Kepulauan Riau: Ladang Empuk Eksploitasi Alam

Kepulauan Riau merupakan provinsi yang berbatasan dengan empat negara, yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Kepri memiliki luas laut 242.497 kilometer persegi (95 persen) dan luas darat 10.104 kilometer persegi dengan 2.408 pulau. Kekayaan sumber daya alam pun berlimpah. Dari minyak dan gas bumi (migas) di Kabupaten Natuna hingga bauksit di Kabupaten Bintan. Ikan dan hasil laut ada di seluruh perairan Kepri, khususnya perairan Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna. Ket Foto: Bauksit yang dibawa tongkang kemudian diangkut ke kapal-kapal tanker yang menunggu di beberapa titik di perairan Kepulauan Riau, seperti Pulau Telang, Bintan. Tongkang bermuatan bauksit yang ditarik dengan tugboat, akhir Juli lalu, dengan bebas dan leluasa keluar dari Sungai Hulu Riau, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, menuju kapal tanker yang menunggu di perairan Selat Malaka.

Ironisnya, kekayaan alam di daerah itu tidak mampu menggerakkan ekonomi dan pembangunan daerah. Misalnya, pembangunan infrastruktur listrik dan air bersih di Kabupaten Bintan, termasuk Kota Tanjung Pinang, sebagai daerah produsen bauksit seperti berjalan di tempat. Sebagian besar masyarakat di Bintan masih mengandalkan genset. Produksi dan distribusi air bersih terbatas. Waduk dari Sungai Pulai untuk memasok air bersih pun susut hingga 4 meter.

Contoh lain, ladang gas di Natuna belum mampu membuat Kepri dan wilayah lain di Sumatera terlepas dari ”penyakit akut”: krisis listrik! Kekayaan sumber daya kelautan belum digarap maksimal dan cenderung hanya menjadi potensi dan wacana seminar kelautan.

Intinya, tidak ada industri yang mampu memberikan nilai tambah dari kekayaan sumber daya alam yang ada. Hampir tidak ada industri yang dibangun dengan berbasis sumber alam dan berorientasi ekspor.

Industri di Batam, Bintan, dan Karimun lebih banyak merupakan industri ”tukang jahit” atau industri rakitan dan industri berat, seperti galangan kapal. Industri tersebut sarat dengan bahan baku impor dan mengandalkan tenaga buruh murah.

Industri yang berbasis bahan baku lokal dan kekayaan alam di daerah yang memberikan nilai tambah dan berorientasi ekspor tidak tergarap. Akibatnya, terjadi defisit neraca perdagangan di Kepri, yang punya tiga daerah—Batam, Bintan, dan Karimun—sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri menunjukkan, total nilai ekspor—baik migas maupun nonmigas—tahun 2008 sebesar 7,47 miliar dollar AS. Dari nilai itu, Batam memiliki kontribusi terbesar, yaitu sekitar 70 persen.

Akan tetapi, total nilai impor Kepri pada tahun yang sama— baik migas maupun nonmigas— mencapai 12,17 miliar dollar AS. Itu berarti, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar 4,7 miliar dollar AS. Dengan asumsi nilai tukar dollar AS Rp 10.000, defisit neraca perdagangan mencapai Rp 47 triliun.

Jika nilai impor dapat dihemat 50 persen, secara teori, setidaknya devisa sebesar Rp 20 triliun dapat dihemat dan uang berputar di dalam negeri lebih besar. Devisa sebesar Rp 20 triliun itu jauh lebih tinggi daripada nilai Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah di Provinsi Kepri dengan lima kabupaten dan kota yang masih di bawah Rp 5 triliun.

Eksploitasi

Salah satu sumber kekayaan alam di Kepri yang banyak dieksploitasi adalah bauksit. Tambang bauksit tumbuh sporadis di beberapa tempat di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Tambang bauksit dibuka oleh perusahaan swasta, baik asing maupun domestik.

Bauksit dari daerah-daerah tambang diangkut dengan truk ke dermaga-dermaga tongkang. Bauksit kemudian dimasukkan ke dalam tongkang di dermaga tongkang di pinggir-pinggir hutan-hutan bakau.

Tongkang yang membawa bauksit kemudian mengangkutnya ke kapal-kapal tanker yang menunggu di beberapa titik perairan Kepri, seperti Pulau Telang. Tongkang-tongkang yang ditarik dengan tugboat dengan bebas dan leluasa lalu lalang di selat-selat kecil menuju kapal yang menunggu di perairan.

Persoalannya, siapa yang bisa mengawasi volume ekspor bauksit yang diangkut dengan tongkang dari dermaga-dermaga kecil di hutan-hutan bakau ke kapal-kapal tanker? Pengawasan masih sangat lemah sehingga diduga kuat ada penyelewengan volume ekspor.

Penyelewengan itu memang sulit ditunjukkan dengan data pasti. Akan tetapi, ada beberapa data yang dapat mengindikasikan adanya penyelewengan ekspor bauksit, termasuk di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang, sebagai salah satu daerah penghasil bauksit.

Sebagai gambaran, dari laporan Shipping Intelligence Network disebutkan, Indonesia menjadi pemasok bauksit terbesar ke China. Dari 9,3 juta metrik ton (MT) impor bauksit China tahun 2006, sebesar 90,5 persen atau sekitar 8,4 juta MT diimpor dari Indonesia.

Dari data BPS yang diolah Departemen Perdagangan, volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China tahun 2006 hanya tercatat 7,2 juta MT. Itu berarti, ada selisih nilai ekspor dari Indonesia ke China dengan nilai impor bauksit China dari Indonesia sebesar 1,2 juta MT.

Dari laporan Bloomberg juga terlihat volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China cukup tinggi. Dari 12,5 MT impor bauksit China selama tujuh bulan pada tahun 2007, 8,81 MT diimpor dari Indonesia. Sementara dari laporan World Aluminium Market, pada periode Januari-Juni 2009 atau dalam semester I-2009 total volume impor bauksit China sebesar 7,15 juta MT. Dari jumlah volume itu, China mengimpor bauksit dari Indonesia 4,99 juta MT.

Dengan asumsi besaran volume impor bauksit China dari Indonesia pada semester II-2009 sama dengan semester I-2009 itu, volume impor bauksit China dari Indonesia tahun 2009 bisa mencapai 10 juta MT. Sayangnya, masih sulit mendapatkan data volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China versi BPS. Apalagi data volume ekspor bauksit dari Kabupaten Bintan. Data volume ekspor bauksit di Bintan selama ini cenderung ditutup-tutupi.

Perikanan

Selain bauksit, masih ada kekayaan alam yang ”dieksploitasi”. Produk perikanan selama ini dicuri oleh nelayan-nelayan asing di perairan Kepri, seperti di Natuna. Perairan laut Natuna merupakan perairan yang selalu menjadi incaran nelayan Vietnam dan Thailand.

Sayangnya, dari sekian banyak kapal asing yang ditangkap aparat TNI Angkatan Laut dan petugas dari Departemen Kelautan dan Perikanan, keberadaan dan pemanfaatan kapal-kapal tidak jelas. Sebagian besar kapal yang ditangkap dan disita itu kemudian rusak dan menjadi bangkai di beberapa pelabuhan.

Tarmizi, Ketua Ikatan Kerukunan Nelayan Kepulauan Anambas, mengungkapkan, saat ini setidaknya ada 24 kapal nelayan asing—baik Thailand maupun Vietnam—yang bersandar di Tarempa, Kabupaten Kepulauan Anambas. Kapal-kapal itu masih diproses secara hukum sehingga kapal dilego di Tarempa. Setelah diproses secara hukum, kapal-kapal asing itu dilelang. Pemenang lelang umumnya pengusaha kapal di Batam dan Tanjung Pinang.

”Saya mencurigai ada tangan-tangan perusahaan ikan Thailand dan Vietnam di Batam yang ikut lelang. Jadi, setelah dilelang, kapal beroperasi lagi di laut Anambas,” katanya.

Jika saja ratusan kapal yang ditangkap selama ini digunakan untuk kepentingan di daerah, manfaat yang diperoleh sangat besar. Misalnya, untuk menangkap ikan di perairan yang lebih jauh oleh para nelayan kita.

Selama ini, nelayan-nelayan pesisir hanya mengandalkan perahu kecil atau perahu pancung untuk menangkap ikan di perairan pulau-pulau, seperti Batam, Bintan, dan Karimun. Penangkapan ikan oleh kapal-kapal besar dilakukan pengusaha ikan dengan mempekerjakan nelayan lokal.

Berangkat dari kondisi itu, memang perlu ditinjau ulang strategi besar kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah, khususnya di Kepri yang juga menjadi daerah perbatasan.

Sejauh mana kontribusi kekayaan alam, baik itu migas, bauksit, maupun komoditas lain, yang dikelola bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat? Sejauh mana pula pengelolaan kekayaan laut, termasuk pulau-pulau kosong dan terluar, untuk menyejahterakan rakyat. Tanpa itu, daerah-daerah perbatasan yang kaya sumber alam justru hanya jadi ladang eksploitasi....

Kamis, 13 Agustus 2009 | 05:27 WIB

Penulis: Ferry Santoso

Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05273471/ladang.empuk.eksploitasi.alam.

2 comments:

Unknown said...

Klo mau protes masalah pertambangan yg ngga bertanggung jawab ke siapa ya??

Soalnya tanah orang tua saya di sebelah pertambangan bauksit di Tanjung pinang dan akhirnya pembuangan limbahnya di tanah orang tua saya. sehingga tanah nya tercemar.. ini sangat merugikan pihak kami.. bisa kasih saran, orang tua saya sudah protes ke pabrik tp tdk di gubris , orang tua saya tidak mau menjual tanahnya dikarenakan mau dijadikan tempat peristirahatan (daerahnya deket ama gunung bintan)yg semula asri jadi rusak.

Leonard Panjaitan said...

ada email mba Fadiah atau no hp agar saya bisa rekomendasikan mba ke LSM terkait. Kami punya networknya. Trims. Leo

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...