Saturday, March 20, 2010

LINGKUNGAN: Perusakan Alam Kalimantan Sistematis


Perusakan tanaman dan kehidupan di Pulau Kalimantan ternyata berlangsung sistematis selama hampir 50 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari eksploitasi hutan yang dilakukan habis-habisan dan pengerukan tambang besar-besaran.

Sampai tahun 80-an, jutaan hektar hutan Kalimantan dibabat oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Setelah era itu berakhir, kini sekitar 200 juta ton batu bara dikeruk tiap tahunnya. Akibatnya, warga Kalimantan hidup dalam krisis air, krisis pangan, dan krisis energi.

Peneliti pada Sekolah Ekonomika Demokratik, Hendro Sangkoyo, mengemukakan itu saat kuliah umum di Universitas Mulawarman, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (10/3).

Hendro mengatakan, perusakan sistematis bermula dari kebijakan tata guna lahan guna pemanfaatan sumber daya alam, yang disebutnya instrumen regulasi atau protokol yang tidak beres, dari hasil persekongkolan penguasa dan pengusaha.

”Kebijakan melahirkan bentang alam dikapling-kapling oleh pengurus publik (penguasa) untuk kepentingan pengusaha,” kata Hendro. Pengaplingan lahan dilakukan sejak awal Orde Baru.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Kahar Albahri menambahkan, setelah hutan habis, perusakan berlanjut dengan eksploitasi pertambangan. Untuk batu bara, di Kaltim terdapat 1.212 kuasa pertambangan (KP) yang diterbitkan pemerintah kabupaten/kota dan 33 izin dari pusat. Sekitar 120 juta ton batu bara dikeruk dari bumi Kaltim setiap tahun.

Padahal, eksploitasi hutan dan mineral telah mengubah fungsi bentang alam yang semula sebagai ekosistem pelindung kehidupan di dalamnya. Kerusakan hutan mengakibatkan manusia kehilangan sumber air. Pembukaan lahan untuk tambang membuat warga petani kehilangan sumber-sumber pangan. Yang ironis, sebagian besar hasil hutan dan mineral ternyata diekspor.

”Tidak mengherankan kalau sepuluh tahun mendatang Kalimantan benar-benar menghadapi krisis air, pangan, dan energi,” kata Hendro.

Untuk itu, masyarakat dan pemerintah perlu sadar dan secepatnya mengubah persepsi atau rasionalitas terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Harus dibuat neraca produksi dan konsumsi air, pangan, dan energi yang jelas guna menjamin kehidupan warga pada masa mendatang.

Dia menyarankan, semua peraturan ditelisik dan yang merugikan diganti. Namun, aturan yang baru harus cerdas dan kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat. ”Kearifan-kearifan lokal perlu dipertahankan. Apa yang bisa dikerjakan untuk menyelamatkan Kalimantan segera dikerjakan,” katanya.

Di Jambi, muncul desakan kepada kalangan pembeli dan kreditor untuk menghentikan sementara penggunaan produk kertas dan bubur kertas dari produsen dalam negeri. Penghentian sementara itu berlaku hingga para produsen melaksanakan komitmen tidak menebang kayu dalam hutan alam dan hutan gambut, serta menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat dalam hutan.

Menurut Rivani Noor, Direktur Community Alliance for Pulp Paper Advocacy (Cappa), industri kertas dan bubur kertas masih mengandalkan pembukaan lahan hutan hujan tropis di Sumatera dan Kalimantan. ”Sektor industri ini berencana mengeringkan lahan g
ambut untuk perkebunan industri seluas sembilan juta hektar,” ujarnya kemarin.(BRO/ITA)

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...