Pasar minyak kelapa sawit mentah internasional tahun 2010 diprediksi lebih prospektif daripada tahun ini. Pemulihan perekonomian dunia pascakrisis yang dipandu India dan China membuat permintaan minyak sawit mentah naik tajam.
Persaingan sengit antara konsumsi makanan dan energi pun bakal terulang seperti tahun 2008 seiring kebijakan sejumlah negara mewajibkan biodiesel mulai tahun 2010. Para produsen minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia dan Malaysia harus memanfaatkan momentum ini untuk menggenjot produksi demi merespons kenaikan permintaan.
Hal ini mencuat dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference) 2009 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/12).
Prediksi tersebut merupakan analisis Thomas Mielke dari Oil World (lembaga kajian minyak nabati yang berbasis di Hamburg, Jerman), Derom Bangun dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ambono Janurianto dari Bakrie Sumatera Plantation, dan John Baker dari Rabobank International.
Mielke menuturkan, pasokan minyak nabati sejak September 2009 sampai Februari 2010 terbatas sehingga harga masih berpotensi naik dalam lima pekan mendatang. Produksi minyak bunga matahari dan kanola yang melemah juga membuat ketergantungan pada CPO dan kedelai meningkat.
CPO kini mencapai 56 persen ekspor dunia dan mencatat pertumbuhan pangsa pasar tertinggi dari minyak nabati lain. Pangsa pasar CPO dunia tumbuh dari 11,4 juta ton tahun 1990 menjadi 46,6 juta ton tahun 2009.
Menurut Derom, Januari-Februari 2010 merupakan masa permintaan CPO melonjak, terutama dari India dan China. Derom memperkirakan, harga CPO di Rotterdam bisa berkisar 800-825 dollar AS per ton dan 2.700 dollar AS per ton di Malaysia pada kuartal I-2010. (Ham)
Jumat, 4 Desember 2009 | 03:12 WIB
Nusa Dua, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/03125767/pasar.cpo.pada.2010.prospektif
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Friday, December 4, 2009
Thursday, December 3, 2009
Kebutuhan Listrik: Dilematis Kawasan Industri
Kondisi kelistrikan yang masih tak menentu membuat kawasan industri menghadapi dilema. Pemerintah mendorong pengelola kawasan industri agar mendorong investasi, namun penyediaan listrik belum juga bisa dipenuhi. Kawasan industri tidak bisa apa-apa.
Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional HKI bertajuk ”Meningkatkan Daya Saing Investasi dan Industri Melalui Pengembangan Kawasan Industri Pascaperaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009” di Jakarta, Rabu (2/12).
Sanny mengatakan, sesuai PP No 24/2009, HKI sangat menyambut baik karena industri didorong oleh pemerintah untuk masuk ke kawasan industri. Namun, di sisi lain, kawasan industri juga diwajibkan menyediakan fasilitas penunjang berupa pembangkit dan distribusi energi listrik.
”Di sinilah situasi dilematisnya. HKI masih menghadapi hambatan besar dalam memperoleh perizinan usaha kelistrikan,” kata Sanny.
Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Indradjid Kartowiyono mengakui, ”Pasokan listrik untuk industri saat ini menghadapi problematika besar. Sudah pasokan listrik tidak stabil, pasokan yang ada pun tidak andal atau reliable sehingga menyebabkan byarpet.”
Akibatnya, produksi terganggu, banyak produksi rusak, pembeli produk mengenakan penalti keterlambatan, biaya meningkat, dan investor enggan datang untuk berinvestasi. Pada beberapa jenis industri, mesin produksi menjadi rusak.
Tak heran, menurut Indradjid, timbul persepsi risiko pada pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industrinya. Karena upaya yang dilakukan PLN terlambat dan tidak mendapat respons positif dari pemerintah, pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industri mempunyai gagasan untuk menyediakan sendiri pembangkit listrik untuk kawasannya.
”Untuk mengejar listrik murah, dipakailah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG),” tutur Indradjid.
Listrik lambat
Deputi Direktur Distribusi Jawa-Bali PT PLN Ngurah Adnyana mengatakan, pertumbuhan penyediaan energi listrik tidak sebanding dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Idealnya, pertumbuhan PDB sebesar 6 persen, butuh pertumbuhan listrik 9 persen untuk memasok kebutuhan industri.
Menurut Ngurah, sejak tahun 2000-2008, pertumbuhan listrik hanya 2,4 persen. Sebelumnya masih bisa 10 persen. Awal tahun 2000 memang belum dirasakan krisis listrik, tetapi ternyata tahun 2009 menjadi puncak krisis listrik.
Ngurah mengatakan, krisis listrik disebabkan oleh neraca daya pembangkit negatif karena investasi tidak ada. Banyak penandatanganan kontrak pembangunan pembangkit tidak terealisasi sesuai rencana. Selain itu, banyak terdapat bottleneck di dalam sistem penyaluran karena kendala transmisi dan trafo.
Dia mengakui, kondisi itu terjadi karena investasi yang dibutuhkan tidak memadai. Dalam memproduksi, PLN tidak diperkenankan mengambil margin keuntungan. Menurut Ngurah, sampai tahun 2015 butuh investasi Rp 704 triliun untuk penyediaan generator, transmisi, dan distribusi.
”Itu artinya setiap tahun mulai saat ini kita butuh minimal Rp 100 triliun untuk investasi. Sementara, PLN hanya memperoleh Rp 80 triliun dari hasil pengumpulan tarif listrik,” jelas
Ngurah.
Energi terbarukan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Energi Terbarukan Indonesia (Asperneti) Djamillius, Rabu (2/12) di Jakarta, mengatakan, perlu regulasi yang mendorong investasi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya. Sejauh ini, pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit listrik belum dikembangkan di Indonesia. Padahal hal itu bisa meningkatkan rasio elektrifikasi nasional.
”Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya bisa jadi salah satu jalan mengatasi krisis penyediaan energi listrik,” kata Djamillius.
Dalam roadmap nasional, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang dari pembangkit listrik berbasis tenaga surya mencapai 1.500 megawatt (MW) atau 5 persen dari total permintaan energi listrik nasional tahun 2025. Ini berarti target pertumbuhan listrik yang dihasilkan energi surya 50 MW per tahun.
”Untuk memenuhi kebutuhan itu, kita sebaiknya tidak jadi importir, tetapi harus bisa memproduksi sendiri untuk mencapai kemandirian energi,” kata Presiden Direktur AZET, perusahaan energi surya, Abdul Kholik, yang juga pengurus Asperneti.
Namun, hingga kini hal ini belum diimplementasikan secara luas di Indonesia karena kendala pendanaan dan rendahnya minat para pelaku usaha untuk mengembangkan energi terbarukan itu. Oleh karena harga listrik dari energi surya Rp 1.150 per kWh dinilai terlalu rendah dan butuh waktu terlalu lama untuk menutup biaya investasi.
”Biaya investasi awal pembangkit listrik tenaga surya jauh lebih tinggi dibanding pembangkit berbasis energi fosil,” kata dia. Sebagai perbandingan, biaya investasi pembangkit berbasis batu bara 1,2 dollar AS per watt, sedangkan energi surya 9 dollar AS per watt.
Atas dasar itu, pihaknya mengusulkan agar ada regulasi yang mendorong investasi untuk membangun pembangkit listrik berbasis tenaga surya. Jika dinilai menguntungkan, maka penyedia listrik swasta akan tertarik untuk membangunnya. (OSA/evy)
Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional HKI bertajuk ”Meningkatkan Daya Saing Investasi dan Industri Melalui Pengembangan Kawasan Industri Pascaperaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009” di Jakarta, Rabu (2/12).
Sanny mengatakan, sesuai PP No 24/2009, HKI sangat menyambut baik karena industri didorong oleh pemerintah untuk masuk ke kawasan industri. Namun, di sisi lain, kawasan industri juga diwajibkan menyediakan fasilitas penunjang berupa pembangkit dan distribusi energi listrik.
”Di sinilah situasi dilematisnya. HKI masih menghadapi hambatan besar dalam memperoleh perizinan usaha kelistrikan,” kata Sanny.
Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Indradjid Kartowiyono mengakui, ”Pasokan listrik untuk industri saat ini menghadapi problematika besar. Sudah pasokan listrik tidak stabil, pasokan yang ada pun tidak andal atau reliable sehingga menyebabkan byarpet.”
Akibatnya, produksi terganggu, banyak produksi rusak, pembeli produk mengenakan penalti keterlambatan, biaya meningkat, dan investor enggan datang untuk berinvestasi. Pada beberapa jenis industri, mesin produksi menjadi rusak.
Tak heran, menurut Indradjid, timbul persepsi risiko pada pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industrinya. Karena upaya yang dilakukan PLN terlambat dan tidak mendapat respons positif dari pemerintah, pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industri mempunyai gagasan untuk menyediakan sendiri pembangkit listrik untuk kawasannya.
”Untuk mengejar listrik murah, dipakailah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG),” tutur Indradjid.
Listrik lambat
Deputi Direktur Distribusi Jawa-Bali PT PLN Ngurah Adnyana mengatakan, pertumbuhan penyediaan energi listrik tidak sebanding dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Idealnya, pertumbuhan PDB sebesar 6 persen, butuh pertumbuhan listrik 9 persen untuk memasok kebutuhan industri.
Menurut Ngurah, sejak tahun 2000-2008, pertumbuhan listrik hanya 2,4 persen. Sebelumnya masih bisa 10 persen. Awal tahun 2000 memang belum dirasakan krisis listrik, tetapi ternyata tahun 2009 menjadi puncak krisis listrik.
Ngurah mengatakan, krisis listrik disebabkan oleh neraca daya pembangkit negatif karena investasi tidak ada. Banyak penandatanganan kontrak pembangunan pembangkit tidak terealisasi sesuai rencana. Selain itu, banyak terdapat bottleneck di dalam sistem penyaluran karena kendala transmisi dan trafo.
Dia mengakui, kondisi itu terjadi karena investasi yang dibutuhkan tidak memadai. Dalam memproduksi, PLN tidak diperkenankan mengambil margin keuntungan. Menurut Ngurah, sampai tahun 2015 butuh investasi Rp 704 triliun untuk penyediaan generator, transmisi, dan distribusi.
”Itu artinya setiap tahun mulai saat ini kita butuh minimal Rp 100 triliun untuk investasi. Sementara, PLN hanya memperoleh Rp 80 triliun dari hasil pengumpulan tarif listrik,” jelas
Ngurah.
Energi terbarukan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Energi Terbarukan Indonesia (Asperneti) Djamillius, Rabu (2/12) di Jakarta, mengatakan, perlu regulasi yang mendorong investasi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya. Sejauh ini, pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit listrik belum dikembangkan di Indonesia. Padahal hal itu bisa meningkatkan rasio elektrifikasi nasional.
”Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya bisa jadi salah satu jalan mengatasi krisis penyediaan energi listrik,” kata Djamillius.
Dalam roadmap nasional, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang dari pembangkit listrik berbasis tenaga surya mencapai 1.500 megawatt (MW) atau 5 persen dari total permintaan energi listrik nasional tahun 2025. Ini berarti target pertumbuhan listrik yang dihasilkan energi surya 50 MW per tahun.
”Untuk memenuhi kebutuhan itu, kita sebaiknya tidak jadi importir, tetapi harus bisa memproduksi sendiri untuk mencapai kemandirian energi,” kata Presiden Direktur AZET, perusahaan energi surya, Abdul Kholik, yang juga pengurus Asperneti.
Namun, hingga kini hal ini belum diimplementasikan secara luas di Indonesia karena kendala pendanaan dan rendahnya minat para pelaku usaha untuk mengembangkan energi terbarukan itu. Oleh karena harga listrik dari energi surya Rp 1.150 per kWh dinilai terlalu rendah dan butuh waktu terlalu lama untuk menutup biaya investasi.
”Biaya investasi awal pembangkit listrik tenaga surya jauh lebih tinggi dibanding pembangkit berbasis energi fosil,” kata dia. Sebagai perbandingan, biaya investasi pembangkit berbasis batu bara 1,2 dollar AS per watt, sedangkan energi surya 9 dollar AS per watt.
Atas dasar itu, pihaknya mengusulkan agar ada regulasi yang mendorong investasi untuk membangun pembangkit listrik berbasis tenaga surya. Jika dinilai menguntungkan, maka penyedia listrik swasta akan tertarik untuk membangunnya. (OSA/evy)
Kamis, 3 Desember 2009 | 03:14 WIB
Laut Makin Pelan Menyerap Karbon Dioksida
Direktur Lembaga Kajian Biosfer Universitas Yale, Amerika Serikat, Jefrey Park, dalam laporan ilmiah yang dituangkan di Geophysical Research Letters baru-baru ini mengemukakan, kondisi lautan mampu menyerap sekitar 40 persen karbon dioksida dari aktivitas manusia. Profesor geologi dan geofisika ini menyimpulkan hasil penelitiannya setelah melakukan kajian mendalam dengan memanfaatkan data-data dari stasiun pengamatan di Hawaii, Alaska, dan Antartika. Tidak tanggung-tanggung, data itu dikumpulkan dari stasiun pengamatan selama 50 tahun terakhir. Dari hasil pengamatan juga terungkap, temperatur laut secara perlahan terus naik. Naiknya temperatur laut secara global juga ternyata menyebabkan makin berkurangnya kemampuan laut dalam menyerap karbon dioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia. ”Peningkatan temperatur laut itu juga dipengaruhi oleh makin banyaknya kandungan karbon dioksida. Bayangkan, jika laut tidak mampu lagi menyerap karbon dioksida, lautan akan menjadi seperti soda,” kata Jeffrey Park. (Sciencedaily.com/NAW)
Senin, 30 November 2009 | 08:34 WIB
Penyerapan Karbon: Posisi Tawar Laut Indonesia
Peranan laut sebagai penyerap dan penyebar bahang (heat) yang mampu mengontrol perubahan iklim telah mendapat perhatian sejak awal era 1980-an oleh beberapa lembaga riset internasional. Dalam kurun waktu tersebut, para ahli kelautan mencoba memikirkan aspek lainnya, yaitu transportasi material laut yang berkaitan erat dengan neraca (budget) CO di lapisan permukaan laut-atmosfer. Dengan demikian, sangat memungkinkan untuk memprediksi perubahan iklim sebagai respons dari naiknya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Awal riset siklus karbon laut global tahun 1984 dilakukan dengan program Global Ocean Flux Study (GOFS) di Amerika Serikat. Pada tahun 1987 kegiatan ini diperluas pada level internasional menjadi Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS) yang pada umumnya mempelajari proses-proses yang mengontrol variasi temporal fluks karbon di laut dalam skala global dan kaitannya dengan pertukaran di atmosfer, dasar laut, dan daerah batas dengan daratan (pesisir), serta respons laut terhadap perubahan iklim.
Belakangan ini riset sejenis mulai mendapat perhatian di kalangan peneliti kelautan Indonesia, khususnya menjelang berakhirnya periode Protokol Kyoto pada 2012. Kesimpulan awal seolah-olah memberikan harapan bahwa laut kita berpotensi menyerap karbon di atmosfer sekitar 250 juta ton per tahun. Ide ini semakin bergulir maju menjelang pertemuan Kopenhagen, Desember 2009, yang intinya ingin mengusulkan perdagangan karbon laut. Benarkah laut mampu menyerap CO di atmosfer?
Pelepas karbon
Hasil studi setelah JGOFS, lautan global secara alami adalah pelepas karbon ke atmosfer. Ini terjadi sebelum era industri. Perkembangan industri menghasilkan emisi CO ke atmosfer (karbon antropogenik) akibat penggunaan minyak bumi diikuti perubahan lahan serta pembukaan hutan. Data Global Carbon Project (GCP) tahun 2007 menyebutkan, dari total emisi karbon global ke atmosfer sejumlah 9 Peta gram C per tahun (1 Pg > 10 pangkat 15 gram), 26 persen bagian diserap lautan global, 29 persen oleh daratan (hutan), sisanya (46 persen) terakumulasi di atmosfer.
Direktur GCP Canadel dan kawan-kawan (2007) menyebutkan, akumulasi CO di atmosfer tahun 1960 berkisar 40 persen dan pada 2007 menjadi 46 persen. Potensi penyerapan oleh hutan cenderung konstan, artinya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer.
Publikasi Le Quéré dan kawan-kawan (2007) di jurnal Science menyebutkan, penurunan tingkat efisiensi laut menyerap karbon berkaitan erat dengan menurunnya kemampuan lautan di lintang tinggi selatan (southern ocean) sebesar 30 persen dalam 20 tahun terakhir.
Sebetulnya, peta fluks CO global atmosfer-laut yang dihasilkan oleh Takahashi dan kawan-kawan (2002) menunjukkan, tidak semua lautan berfungsi sebagai penyerap karbon antropogenik. Lautan tropis pada umumnya berfungsi sebagai pelepas, sementara perairan subtropis dan lintang tinggi berfungsi sebagai penyerap. Karena itulah, Pertemuan Para Pihak (COP-15) di Kopenhagen, Denmark, sangat krusial dalam menentukan nasib umat manusia. Sekali lautan global berubah menjadi pelepas karbon ke atmosfer, efeknya mampu menaikkan temperatur Bumi dengan cepat sehingga bisa mengakibatkan perubahan iklim secara mendadak (abruptly climate change).
Potensi laut Indonesia
Posisi laut Indonesia yang berada di tropis memiliki indikasi kuat sebagai pelepas karbon. Tingginya temperatur permukaan laut dalam hal ini lebih dominan sehingga mengakibatkan tekanan parsial CO di permukaan laut lebih tinggi dari atmosfer. Hal ini mengakibatkan perairan tropis berfungsi sebagai pelepas karbon dibandingkan dengan laut di lintang menengah dan tinggi.
Tinjauan peranan lautan global, pada prinsipnya, memandang proses penyerapan karbon antropogenik secara keseluruhan dan bukan dalam tingkat regional. Inilah yang membedakan dengan kemampuan hutan sehingga laut tidak tepat untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon.
Beberapa catatan seandainya laut (Indonesia) tetap ingin dipaksakan dalam mekanisme perdagangan karbon adalah sejauh mana keakuratan data yang dimiliki. Dunia internasional melalui JGOFS telah melakukan riset sekitar 25 tahun, sementara kita baru memulainya. Peranan perairan di sekitar hutan mangrove dan terumbu karang yang didengungkan di dalam negeri sebagai penyerap karbon pada kenyataannya tidak demikian.
Hasil riset perairan hutan mangrove di Papua Niugini, India, Bahama, dan Florida menunjukkan sebagai pelepas karbon (Borges dan kawan-kawan, 2003). Demikian juga terumbu karang, di mana proses kalsifikasi (pembentukan karang) lebih dominan dibandingkan dengan fotosintesis sehingga lagi-lagi laut berfungsi sebagai pelepas karbon. Ini dikemukakan oleh Gattuso dan kawan-kawan (1999) sebagai makalah pamungkas—mengakhiri perdebatan selama 10 tahun sebelumnya.
Sementara itu, fitoplankton memang mampu menyerap karbon melalui proses fotosintesis. Namun, mekanisme sistem karbonat laut dalam hal ini lebih dominan. Sintesis proyek 10 tahun JGOFS Amerika Serikat melaporkan, dari 1.000 unit karbon yang diserap fitoplankton, hanya 1 unit dapat diekspor ke dasar laut dalam (kedalaman lebih dari 1.000 meter). Sekitar 90 persen mengalami proses daur ulang menjadi anorganik karbon di permukaan laut (sampai kedalaman 100 meter) dan akhirnya dilepaskan kembali ke atmosfer.
Demikian juga beberapa lokasi high nutrient low chlorophyll (HNLC) yang direkayasa dengan menambahkan unsur besi untuk meningkatkan proses fotosintesis (teori John Martin), pada akhirnya pun tidak efektif. Pertumbuhan fitoplankton, lagi-lagi, mengalami daur ulang dan kemudian melepaskan karbon ke atmosfer. Demikian, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi delegasi RI dalam proses negosiasi di Kopenhagen, khususnya mengenai peranan laut.
Senin, 30 November 2009 | 08:31 WIB
Penulis: Alan Koropitan, Peneliti Siklus Biogeokimia Laut serta Lektor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor
Awal riset siklus karbon laut global tahun 1984 dilakukan dengan program Global Ocean Flux Study (GOFS) di Amerika Serikat. Pada tahun 1987 kegiatan ini diperluas pada level internasional menjadi Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS) yang pada umumnya mempelajari proses-proses yang mengontrol variasi temporal fluks karbon di laut dalam skala global dan kaitannya dengan pertukaran di atmosfer, dasar laut, dan daerah batas dengan daratan (pesisir), serta respons laut terhadap perubahan iklim.
Belakangan ini riset sejenis mulai mendapat perhatian di kalangan peneliti kelautan Indonesia, khususnya menjelang berakhirnya periode Protokol Kyoto pada 2012. Kesimpulan awal seolah-olah memberikan harapan bahwa laut kita berpotensi menyerap karbon di atmosfer sekitar 250 juta ton per tahun. Ide ini semakin bergulir maju menjelang pertemuan Kopenhagen, Desember 2009, yang intinya ingin mengusulkan perdagangan karbon laut. Benarkah laut mampu menyerap CO di atmosfer?
Pelepas karbon
Hasil studi setelah JGOFS, lautan global secara alami adalah pelepas karbon ke atmosfer. Ini terjadi sebelum era industri. Perkembangan industri menghasilkan emisi CO ke atmosfer (karbon antropogenik) akibat penggunaan minyak bumi diikuti perubahan lahan serta pembukaan hutan. Data Global Carbon Project (GCP) tahun 2007 menyebutkan, dari total emisi karbon global ke atmosfer sejumlah 9 Peta gram C per tahun (1 Pg > 10 pangkat 15 gram), 26 persen bagian diserap lautan global, 29 persen oleh daratan (hutan), sisanya (46 persen) terakumulasi di atmosfer.
Direktur GCP Canadel dan kawan-kawan (2007) menyebutkan, akumulasi CO di atmosfer tahun 1960 berkisar 40 persen dan pada 2007 menjadi 46 persen. Potensi penyerapan oleh hutan cenderung konstan, artinya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer.
Publikasi Le Quéré dan kawan-kawan (2007) di jurnal Science menyebutkan, penurunan tingkat efisiensi laut menyerap karbon berkaitan erat dengan menurunnya kemampuan lautan di lintang tinggi selatan (southern ocean) sebesar 30 persen dalam 20 tahun terakhir.
Sebetulnya, peta fluks CO global atmosfer-laut yang dihasilkan oleh Takahashi dan kawan-kawan (2002) menunjukkan, tidak semua lautan berfungsi sebagai penyerap karbon antropogenik. Lautan tropis pada umumnya berfungsi sebagai pelepas, sementara perairan subtropis dan lintang tinggi berfungsi sebagai penyerap. Karena itulah, Pertemuan Para Pihak (COP-15) di Kopenhagen, Denmark, sangat krusial dalam menentukan nasib umat manusia. Sekali lautan global berubah menjadi pelepas karbon ke atmosfer, efeknya mampu menaikkan temperatur Bumi dengan cepat sehingga bisa mengakibatkan perubahan iklim secara mendadak (abruptly climate change).
Potensi laut Indonesia
Posisi laut Indonesia yang berada di tropis memiliki indikasi kuat sebagai pelepas karbon. Tingginya temperatur permukaan laut dalam hal ini lebih dominan sehingga mengakibatkan tekanan parsial CO di permukaan laut lebih tinggi dari atmosfer. Hal ini mengakibatkan perairan tropis berfungsi sebagai pelepas karbon dibandingkan dengan laut di lintang menengah dan tinggi.
Tinjauan peranan lautan global, pada prinsipnya, memandang proses penyerapan karbon antropogenik secara keseluruhan dan bukan dalam tingkat regional. Inilah yang membedakan dengan kemampuan hutan sehingga laut tidak tepat untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon.
Beberapa catatan seandainya laut (Indonesia) tetap ingin dipaksakan dalam mekanisme perdagangan karbon adalah sejauh mana keakuratan data yang dimiliki. Dunia internasional melalui JGOFS telah melakukan riset sekitar 25 tahun, sementara kita baru memulainya. Peranan perairan di sekitar hutan mangrove dan terumbu karang yang didengungkan di dalam negeri sebagai penyerap karbon pada kenyataannya tidak demikian.
Hasil riset perairan hutan mangrove di Papua Niugini, India, Bahama, dan Florida menunjukkan sebagai pelepas karbon (Borges dan kawan-kawan, 2003). Demikian juga terumbu karang, di mana proses kalsifikasi (pembentukan karang) lebih dominan dibandingkan dengan fotosintesis sehingga lagi-lagi laut berfungsi sebagai pelepas karbon. Ini dikemukakan oleh Gattuso dan kawan-kawan (1999) sebagai makalah pamungkas—mengakhiri perdebatan selama 10 tahun sebelumnya.
Sementara itu, fitoplankton memang mampu menyerap karbon melalui proses fotosintesis. Namun, mekanisme sistem karbonat laut dalam hal ini lebih dominan. Sintesis proyek 10 tahun JGOFS Amerika Serikat melaporkan, dari 1.000 unit karbon yang diserap fitoplankton, hanya 1 unit dapat diekspor ke dasar laut dalam (kedalaman lebih dari 1.000 meter). Sekitar 90 persen mengalami proses daur ulang menjadi anorganik karbon di permukaan laut (sampai kedalaman 100 meter) dan akhirnya dilepaskan kembali ke atmosfer.
Demikian juga beberapa lokasi high nutrient low chlorophyll (HNLC) yang direkayasa dengan menambahkan unsur besi untuk meningkatkan proses fotosintesis (teori John Martin), pada akhirnya pun tidak efektif. Pertumbuhan fitoplankton, lagi-lagi, mengalami daur ulang dan kemudian melepaskan karbon ke atmosfer. Demikian, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi delegasi RI dalam proses negosiasi di Kopenhagen, khususnya mengenai peranan laut.
Senin, 30 November 2009 | 08:31 WIB
Penulis: Alan Koropitan, Peneliti Siklus Biogeokimia Laut serta Lektor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor
Kebutuhan Listrik Masih Meresahkan
Pemadaman listrik bergilir di Jakarta dan sekitarnya lebih cepat teratasi dari tanggal 19 Desember yang dijadwalkan pemerintah. Namun, di luar Pulau Jawa, pemadaman masih akan berlangsung. Pasokan listrik yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan.
Intinya, listrik yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat luas di negeri ini masih tetap meresahkan. ”Sejumlah proyek dari paket proyek 10.000 megawatt (MW) belum akan beroperasi tahun ini,” ujar Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Fahmi Mochtar di Komisi XI DPR, pekan lalu.
Fahmi mengatakan, tidak ada satu pun dari 25 proyek pembangunan pembangkit listrik di luar Jawa akan beroperasi mulai tahun 2009. Proyek yang termasuk dalam paket proyek 10.000 MW tersebut terhambat penyelesaiannya akibat lambatnya proses pembangunan awal, yang seharusnya dimulai tahun 2006, rata-rata baru efektif tahun 2008.
”Di luar Jawa ada 25 lokasi. Ada di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Kalimantan Selatan. Kami perkirakan baru beroperasi tahun 2010 sebesar 121 MW dan tahun 2011 sebesar 1.500 MW,” ujar Fahmi.
Padahal, di sebagian daerah sudah terjadi defisit listrik saat beban puncak. Di beberapa daerah, pemadaman riskan terjadi karena pasokan listrik yang pas-pasan. Begitu terjadi kerusakan pada pembangkit, pemadaman tidak terhindarkan.
Defisit listrik yang akut sudah terjadi di sejumlah wilayah termasuk di Sumatera Selatan dan Barito, Kalimantan Selatan, yang dikenal sebagai pemasok batu bara, sumber energi di banyak pembangkit listrik di negeri ini. Di Sumatera bagian selatan dan tenggara misalnya, defisit listrik mencapai 178,7 MW. Defisit listrik juga terjadi di Barito (defisit 59,17 MW), Palu (10 MW), Kepulauan Riau (4,3 MW), Sorong (1,15 MW), Kendari (3,5 MW), dan Kupang (1,5 MW).
”Untuk Jawa dan Bali, pada Desember ini kami harap ada pembangkit listrik yang akan beroperasi sebanyak 900 MW dari PLTU Banten Labuan dan Rembang 300 MW sebanyak satu unit. Kemudian, tahun 2010 ada 3.200 MW dan pada tahun 2011 ada 1.970 MW,” ujar Fahmi.
Untuk Jakarta dan sekitarnya, Manajer Komunikasi Korporat PT PLN Ario Subijoko, Minggu, menyatakan, perbaikan trafo di gardu induk Cawang, Jakarta Timur, diperkirakan selesai pekan depan. Lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan pemerintah, yakni 19 Desember .
”Jika tak ada kendala cuaca, terutama hujan, perbaikan di gardu induk Cawang kemungkinan bisa selesai lebih cepat dari jadwal,” kata Ario. Berdasarkan hasil pengecekan terakhir, perbaikan yang dilakukan di gardu induk Cawang telah mencapai 96 persen.
Saat ini semua peralatan sudah terpasang. Jadi, proses perbaikan sudah memasuki tahap akhir, yaitu pengujian beban daya dan peralatan yang sudah terpasang untuk memastikan kelayakan operasi dan keamanannya. ”Pengetesan peralatan yang terpasang itu butuh waktu beberapa hari,” ujarnya.
Infrastruktur usang
Namun, pembenahan sistem kelistrikan di Jakarta dan sekitarnya butuh waktu lama. ”Kendalanya bukan pada kapasitas pembangkit, melainkan transmisi dan gardu induk. Saat ini beban daya pada mayoritas gardu induk 90 persen atau lebih sehingga beban tak bisa dialihkan jika ada satu trafo terganggu,” katanya.
Soal transmisi dan gardu induk ini menjadi sumber keresahan lainnya. Listrik di Jawa dan Bali bisa saja kembali mengalami pemadaman bergilir apabila terjadi kerusakan sebagaimana pada trafo induk di Cawang dan Kembangan, Jakarta Barat, akhir September lalu.
Pemerhati bidang kelistrikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tumiran, meminta pemerintah perlu segera membenahi infrastruktur dan jalur distribusi listrik nasional untuk menjamin ketersediaan listrik. Anggota Dewan Energi Nasional ini menegaskan, usangnya peralatan dan belum memadainya jaringan transmisi sebagai penyebab utama krisis listrik yang tengah melanda saat ini.
”Sebenarnya krisis listrik di Jawa dan Bali tidak disebabkan oleh suplai yang tidak memadai, tetapi lebih karena peralatan listrik yang tua dan kerap mengalami kerusakan, tapi tidak ada cadangan,” kata Tumiran di Yogyakarta belum lama ini.
Menurut Tumiran, pemerintah perlu segera meremajakan peralatan yang telah usang dan menambah cadangan sehingga bisa digunakan saat peralatan utama rusak. Pemerintah juga perlu menambah jalur transmisi di samping menambah pembangkit baru. Jalur transmisi listrik saat ini dinilai masih terlalu kecil dan kurang efisien. ”Jangan hanya menambah pembangkit saja, karena kalau pembangkit ditambah, tetapi saluran distribusi tak ada, tak ada gunanya,” ujarnya.
Menurut Emy Perdanahari, Direktur Bina Program Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pihaknya menargetkan adanya penambahan kapasitas pembangkit listrik tahun 2010 sebesar 7.819 MW dan total 30.613 MW tahun 2014. Juga ada penambahan jaringan transmisi sepanjang 13.170 km sirkuit (kms) tahun 2010 dan total 27.779 kms tahun 2014. Upaya lain adalah interkoneksi sistem penyaluran untuk Pulau Sumatera melalui jaringan 275 kilovolt tahun 2010 dan penambahan gardu induk 17.820 megavolt ampere pada tahun 2010.
Emy menjelaskan, berdasarkan rencana umum kelistrikan nasional tahun 2008-2027, kebutuhan investasi untuk pembangkit, jaringan transmisi, dan gardu induk, serta jaringan distribusi, diperkirakan mencapai 208,7 miliar dollar AS. Jadi, kebutuhan investasi per tahun sekitar Rp 100 triliun. ”Pemerintah hanya mampu mendanai 10-20 persen dari kebutuhan,” ujarnya.
Fahmi membenarkan, ada kebutuhan pendanaan untuk pembangunan transmisi (penghubung daya antara pembangkit listrik dalam proyek 10.000 MW tahap pertama dan konsumen) yang belum diketahui sumbernya. Saat ini proyek pembangunan transmisi membutuhkan dana dalam bentuk valuta asing senilai 933 juta dollar AS atau Rp 9,33 triliun. PLN baru mendapatkan komitmen pendanaan senilai 727 juta dollar AS atau Rp 7,27 triliun dari berbagai sumber. Atas dasar itu, masih ada kekurangan 206 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,06 triliun yang belum jelas sumber dananya.
”Sisanya itu harus kami cari dari penerbitan obligasi. Adapun untuk kebutuhan dana dalam bentuk rupiah mencapai Rp 13,1 triliun. Kami sudah memproses Rp 4,9 triliun. Sisanya sudah ditutup dengan obligasi senilai Rp 5,2 triliun,” ungkap Fahmi.
Untuk pendanaan proyek pembangkit listriknya sendiri, kebutuhan valuta asingnya mencapai 4,9 miliar dollar AS. Hingga saat ini PLN telah memenuhi 4,47 miliar dollar AS. Sisanya, 458 juta dollar AS, masih diproses dan diperkirakan tuntas pada Desember 2009.
”Sementara untuk pendanaan dalam bentuk rupiah, kebutuhannya mencapai Rp 19,1 triliun, dan sudah ditandatangani senilai Rp 18,9 triliun. Sisanya masih dalam proses negosiasi melalui PT BRI (Bank Rakyat Indonesia),” ujar Fahmi.
Tak ada investasi
Dana yang cukup besar ini meyakinkan bahwa perbaikan transmisi listrik belum bisa segera. Krisis listrik masih mungkin berulang. Jika demikian, jangan pernah berharap ada investasi baru terutama pada daerah-daerah yang masih mengalami defisit listrik. Nasib serupa terjadi pada daerah-daerah yang masih mengalami pemadaman bergilir.
Padahal, listrik mutlak diperlukan untuk kegiatan investasi dan selanjutnya menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen yang ditargetkan pemerintah. Investasi terutama pada sektor industri yang padat karya diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru, menekan angka pengangguran sebesar 9,25 juta orang, dan menampung penambahan rata-rata angkatan kerja 2,26 juta per tahun.
”Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah,” ujar ekonom Faisal Basri soal defisit pasokan listrik yang berakibat pemadaman bergilir.
Menurut Faisal, pada triwulan III-2009 sektor ini tumbuh 1,3 persen, lebih rendah dari dua triwulan sebelumnya yang notabene sudah sangat rendah, yakni 1,5 persen. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. ”Ironisnya, yang paling terpukul adalah usaha kecil menengah karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset,” ujar Faisal.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM) Sandiaga S Uno mengatakan, ”Bagi UMKM, listrik itu seperti darah. Kalau kurang darah, pasti terkulai.”
Kadin memperkirakan kerugian UMKM mencapai Rp 50.000 per bulan karena listrik yang mati-hidup. Jadi, kalau berdasarkan hitungan Badan Pusat Statistik, ada 50 juta UMKM, berarti total kerugian mencapai Rp 2,5 triliun per bulan.
”Target pendapatan juga akan turun 20-25 persen. Kami yakin sekarang ada risiko penurunan untuk pencapaian pertumbuhan tahun 2009 dan tahun 2010. Kondisi ini sangat disayangkan, padahal momentum kita sedang bagus di dunia internasional,” kata Sandiaga.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar Dedy Wijaya di Bandung mengatakan, pemadaman listrik bergilir yang dilakukan PLN sangat memberatkan dunia usaha. ”Apalagi pemadaman sering dilakukan tanpa pemberitahuan,” ujarnya.
Menurut Dedy, mesin-mesin berkapasitas besar seperti yang digunakan pada industri tekstil dan garmen memerlukan daya listrik yang besar. Kendati dapat disiasati dengan menggunakan genset, biaya operasionalnya jauh lebih mahal.
Kini pengusaha juga diminta kembali berkorban mengalihkan waktu kerja. Langkah ini dilakukan untuk mengoptimalkan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali. Dalam Peraturan Bersama Lima Menteri, kalangan dunia usaha industri dan komersial diminta berpartisipasi mengalihkan waktu kerjanya ke hari Sabtu dan Minggu.(EVY/GRE/ABK/OSA/HAR/PPG)
Intinya, listrik yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat luas di negeri ini masih tetap meresahkan. ”Sejumlah proyek dari paket proyek 10.000 megawatt (MW) belum akan beroperasi tahun ini,” ujar Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Fahmi Mochtar di Komisi XI DPR, pekan lalu.
Fahmi mengatakan, tidak ada satu pun dari 25 proyek pembangunan pembangkit listrik di luar Jawa akan beroperasi mulai tahun 2009. Proyek yang termasuk dalam paket proyek 10.000 MW tersebut terhambat penyelesaiannya akibat lambatnya proses pembangunan awal, yang seharusnya dimulai tahun 2006, rata-rata baru efektif tahun 2008.
”Di luar Jawa ada 25 lokasi. Ada di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Kalimantan Selatan. Kami perkirakan baru beroperasi tahun 2010 sebesar 121 MW dan tahun 2011 sebesar 1.500 MW,” ujar Fahmi.
Padahal, di sebagian daerah sudah terjadi defisit listrik saat beban puncak. Di beberapa daerah, pemadaman riskan terjadi karena pasokan listrik yang pas-pasan. Begitu terjadi kerusakan pada pembangkit, pemadaman tidak terhindarkan.
Defisit listrik yang akut sudah terjadi di sejumlah wilayah termasuk di Sumatera Selatan dan Barito, Kalimantan Selatan, yang dikenal sebagai pemasok batu bara, sumber energi di banyak pembangkit listrik di negeri ini. Di Sumatera bagian selatan dan tenggara misalnya, defisit listrik mencapai 178,7 MW. Defisit listrik juga terjadi di Barito (defisit 59,17 MW), Palu (10 MW), Kepulauan Riau (4,3 MW), Sorong (1,15 MW), Kendari (3,5 MW), dan Kupang (1,5 MW).
”Untuk Jawa dan Bali, pada Desember ini kami harap ada pembangkit listrik yang akan beroperasi sebanyak 900 MW dari PLTU Banten Labuan dan Rembang 300 MW sebanyak satu unit. Kemudian, tahun 2010 ada 3.200 MW dan pada tahun 2011 ada 1.970 MW,” ujar Fahmi.
Untuk Jakarta dan sekitarnya, Manajer Komunikasi Korporat PT PLN Ario Subijoko, Minggu, menyatakan, perbaikan trafo di gardu induk Cawang, Jakarta Timur, diperkirakan selesai pekan depan. Lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan pemerintah, yakni 19 Desember .
”Jika tak ada kendala cuaca, terutama hujan, perbaikan di gardu induk Cawang kemungkinan bisa selesai lebih cepat dari jadwal,” kata Ario. Berdasarkan hasil pengecekan terakhir, perbaikan yang dilakukan di gardu induk Cawang telah mencapai 96 persen.
Saat ini semua peralatan sudah terpasang. Jadi, proses perbaikan sudah memasuki tahap akhir, yaitu pengujian beban daya dan peralatan yang sudah terpasang untuk memastikan kelayakan operasi dan keamanannya. ”Pengetesan peralatan yang terpasang itu butuh waktu beberapa hari,” ujarnya.
Infrastruktur usang
Namun, pembenahan sistem kelistrikan di Jakarta dan sekitarnya butuh waktu lama. ”Kendalanya bukan pada kapasitas pembangkit, melainkan transmisi dan gardu induk. Saat ini beban daya pada mayoritas gardu induk 90 persen atau lebih sehingga beban tak bisa dialihkan jika ada satu trafo terganggu,” katanya.
Soal transmisi dan gardu induk ini menjadi sumber keresahan lainnya. Listrik di Jawa dan Bali bisa saja kembali mengalami pemadaman bergilir apabila terjadi kerusakan sebagaimana pada trafo induk di Cawang dan Kembangan, Jakarta Barat, akhir September lalu.
Pemerhati bidang kelistrikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tumiran, meminta pemerintah perlu segera membenahi infrastruktur dan jalur distribusi listrik nasional untuk menjamin ketersediaan listrik. Anggota Dewan Energi Nasional ini menegaskan, usangnya peralatan dan belum memadainya jaringan transmisi sebagai penyebab utama krisis listrik yang tengah melanda saat ini.
”Sebenarnya krisis listrik di Jawa dan Bali tidak disebabkan oleh suplai yang tidak memadai, tetapi lebih karena peralatan listrik yang tua dan kerap mengalami kerusakan, tapi tidak ada cadangan,” kata Tumiran di Yogyakarta belum lama ini.
Menurut Tumiran, pemerintah perlu segera meremajakan peralatan yang telah usang dan menambah cadangan sehingga bisa digunakan saat peralatan utama rusak. Pemerintah juga perlu menambah jalur transmisi di samping menambah pembangkit baru. Jalur transmisi listrik saat ini dinilai masih terlalu kecil dan kurang efisien. ”Jangan hanya menambah pembangkit saja, karena kalau pembangkit ditambah, tetapi saluran distribusi tak ada, tak ada gunanya,” ujarnya.
Menurut Emy Perdanahari, Direktur Bina Program Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pihaknya menargetkan adanya penambahan kapasitas pembangkit listrik tahun 2010 sebesar 7.819 MW dan total 30.613 MW tahun 2014. Juga ada penambahan jaringan transmisi sepanjang 13.170 km sirkuit (kms) tahun 2010 dan total 27.779 kms tahun 2014. Upaya lain adalah interkoneksi sistem penyaluran untuk Pulau Sumatera melalui jaringan 275 kilovolt tahun 2010 dan penambahan gardu induk 17.820 megavolt ampere pada tahun 2010.
Emy menjelaskan, berdasarkan rencana umum kelistrikan nasional tahun 2008-2027, kebutuhan investasi untuk pembangkit, jaringan transmisi, dan gardu induk, serta jaringan distribusi, diperkirakan mencapai 208,7 miliar dollar AS. Jadi, kebutuhan investasi per tahun sekitar Rp 100 triliun. ”Pemerintah hanya mampu mendanai 10-20 persen dari kebutuhan,” ujarnya.
Fahmi membenarkan, ada kebutuhan pendanaan untuk pembangunan transmisi (penghubung daya antara pembangkit listrik dalam proyek 10.000 MW tahap pertama dan konsumen) yang belum diketahui sumbernya. Saat ini proyek pembangunan transmisi membutuhkan dana dalam bentuk valuta asing senilai 933 juta dollar AS atau Rp 9,33 triliun. PLN baru mendapatkan komitmen pendanaan senilai 727 juta dollar AS atau Rp 7,27 triliun dari berbagai sumber. Atas dasar itu, masih ada kekurangan 206 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,06 triliun yang belum jelas sumber dananya.
”Sisanya itu harus kami cari dari penerbitan obligasi. Adapun untuk kebutuhan dana dalam bentuk rupiah mencapai Rp 13,1 triliun. Kami sudah memproses Rp 4,9 triliun. Sisanya sudah ditutup dengan obligasi senilai Rp 5,2 triliun,” ungkap Fahmi.
Untuk pendanaan proyek pembangkit listriknya sendiri, kebutuhan valuta asingnya mencapai 4,9 miliar dollar AS. Hingga saat ini PLN telah memenuhi 4,47 miliar dollar AS. Sisanya, 458 juta dollar AS, masih diproses dan diperkirakan tuntas pada Desember 2009.
”Sementara untuk pendanaan dalam bentuk rupiah, kebutuhannya mencapai Rp 19,1 triliun, dan sudah ditandatangani senilai Rp 18,9 triliun. Sisanya masih dalam proses negosiasi melalui PT BRI (Bank Rakyat Indonesia),” ujar Fahmi.
Tak ada investasi
Dana yang cukup besar ini meyakinkan bahwa perbaikan transmisi listrik belum bisa segera. Krisis listrik masih mungkin berulang. Jika demikian, jangan pernah berharap ada investasi baru terutama pada daerah-daerah yang masih mengalami defisit listrik. Nasib serupa terjadi pada daerah-daerah yang masih mengalami pemadaman bergilir.
Padahal, listrik mutlak diperlukan untuk kegiatan investasi dan selanjutnya menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen yang ditargetkan pemerintah. Investasi terutama pada sektor industri yang padat karya diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru, menekan angka pengangguran sebesar 9,25 juta orang, dan menampung penambahan rata-rata angkatan kerja 2,26 juta per tahun.
”Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah,” ujar ekonom Faisal Basri soal defisit pasokan listrik yang berakibat pemadaman bergilir.
Menurut Faisal, pada triwulan III-2009 sektor ini tumbuh 1,3 persen, lebih rendah dari dua triwulan sebelumnya yang notabene sudah sangat rendah, yakni 1,5 persen. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. ”Ironisnya, yang paling terpukul adalah usaha kecil menengah karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset,” ujar Faisal.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM) Sandiaga S Uno mengatakan, ”Bagi UMKM, listrik itu seperti darah. Kalau kurang darah, pasti terkulai.”
Kadin memperkirakan kerugian UMKM mencapai Rp 50.000 per bulan karena listrik yang mati-hidup. Jadi, kalau berdasarkan hitungan Badan Pusat Statistik, ada 50 juta UMKM, berarti total kerugian mencapai Rp 2,5 triliun per bulan.
”Target pendapatan juga akan turun 20-25 persen. Kami yakin sekarang ada risiko penurunan untuk pencapaian pertumbuhan tahun 2009 dan tahun 2010. Kondisi ini sangat disayangkan, padahal momentum kita sedang bagus di dunia internasional,” kata Sandiaga.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar Dedy Wijaya di Bandung mengatakan, pemadaman listrik bergilir yang dilakukan PLN sangat memberatkan dunia usaha. ”Apalagi pemadaman sering dilakukan tanpa pemberitahuan,” ujarnya.
Menurut Dedy, mesin-mesin berkapasitas besar seperti yang digunakan pada industri tekstil dan garmen memerlukan daya listrik yang besar. Kendati dapat disiasati dengan menggunakan genset, biaya operasionalnya jauh lebih mahal.
Kini pengusaha juga diminta kembali berkorban mengalihkan waktu kerja. Langkah ini dilakukan untuk mengoptimalkan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali. Dalam Peraturan Bersama Lima Menteri, kalangan dunia usaha industri dan komersial diminta berpartisipasi mengalihkan waktu kerjanya ke hari Sabtu dan Minggu.(EVY/GRE/ABK/OSA/HAR/PPG)
Senin, 30 November 2009 | 02:53 WIB
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...