Thursday, December 3, 2009

Kebutuhan Listrik Masih Meresahkan

Pemadaman listrik bergilir di Jakarta dan sekitarnya lebih cepat teratasi dari tanggal 19 Desember yang dijadwalkan pemerintah. Namun, di luar Pulau Jawa, pemadaman masih akan berlangsung. Pasokan listrik yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan.

Intinya, listrik yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat luas di negeri ini masih tetap meresahkan. ”Sejumlah proyek dari paket proyek 10.000 megawatt (MW) belum akan beroperasi tahun ini,” ujar Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Fahmi Mochtar di Komisi XI DPR, pekan lalu.

Fahmi mengatakan, tidak ada satu pun dari 25 proyek pembangunan pembangkit listrik di luar Jawa akan beroperasi mulai tahun 2009. Proyek yang termasuk dalam paket proyek 10.000 MW tersebut terhambat penyelesaiannya akibat lambatnya proses pembangunan awal, yang seharusnya dimulai tahun 2006, rata-rata baru efektif tahun 2008.

”Di luar Jawa ada 25 lokasi. Ada di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Lampung, dan Kalimantan Selatan. Kami perkirakan baru beroperasi tahun 2010 sebesar 121 MW dan tahun 2011 sebesar 1.500 MW,” ujar Fahmi.

Padahal, di sebagian daerah sudah terjadi defisit listrik saat beban puncak. Di beberapa daerah, pemadaman riskan terjadi karena pasokan listrik yang pas-pasan. Begitu terjadi kerusakan pada pembangkit, pemadaman tidak terhindarkan.

Defisit listrik yang akut sudah terjadi di sejumlah wilayah termasuk di Sumatera Selatan dan Barito, Kalimantan Selatan, yang dikenal sebagai pemasok batu bara, sumber energi di banyak pembangkit listrik di negeri ini. Di Sumatera bagian selatan dan tenggara misalnya, defisit listrik mencapai 178,7 MW. Defisit listrik juga terjadi di Barito (defisit 59,17 MW), Palu (10 MW), Kepulauan Riau (4,3 MW), Sorong (1,15 MW), Kendari (3,5 MW), dan Kupang (1,5 MW).

”Untuk Jawa dan Bali, pada Desember ini kami harap ada pembangkit listrik yang akan beroperasi sebanyak 900 MW dari PLTU Banten Labuan dan Rembang 300 MW sebanyak satu unit. Kemudian, tahun 2010 ada 3.200 MW dan pada tahun 2011 ada 1.970 MW,” ujar Fahmi.

Untuk Jakarta dan sekitarnya, Manajer Komunikasi Korporat PT PLN Ario Subijoko, Minggu, menyatakan, perbaikan trafo di gardu induk Cawang, Jakarta Timur, diperkirakan selesai pekan depan. Lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan pemerintah, yakni 19 Desember .

”Jika tak ada kendala cuaca, terutama hujan, perbaikan di gardu induk Cawang kemungkinan bisa selesai lebih cepat dari jadwal,” kata Ario. Berdasarkan hasil pengecekan terakhir, perbaikan yang dilakukan di gardu induk Cawang telah mencapai 96 persen.

Saat ini semua peralatan sudah terpasang. Jadi, proses perbaikan sudah memasuki tahap akhir, yaitu pengujian beban daya dan peralatan yang sudah terpasang untuk memastikan kelayakan operasi dan keamanannya. ”Pengetesan peralatan yang terpasang itu butuh waktu beberapa hari,” ujarnya.

Infrastruktur usang

Namun, pembenahan sistem kelistrikan di Jakarta dan sekitarnya butuh waktu lama. ”Kendalanya bukan pada kapasitas pembangkit, melainkan transmisi dan gardu induk. Saat ini beban daya pada mayoritas gardu induk 90 persen atau lebih sehingga beban tak bisa dialihkan jika ada satu trafo terganggu,” katanya.

Soal transmisi dan gardu induk ini menjadi sumber keresahan lainnya. Listrik di Jawa dan Bali bisa saja kembali mengalami pemadaman bergilir apabila terjadi kerusakan sebagaimana pada trafo induk di Cawang dan Kembangan, Jakarta Barat, akhir September lalu.

Pemerhati bidang kelistrikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tumiran, meminta pemerintah perlu segera membenahi infrastruktur dan jalur distribusi listrik nasional untuk menjamin ketersediaan listrik. Anggota Dewan Energi Nasional ini menegaskan, usangnya peralatan dan belum memadainya jaringan transmisi sebagai penyebab utama krisis listrik yang tengah melanda saat ini.

”Sebenarnya krisis listrik di Jawa dan Bali tidak disebabkan oleh suplai yang tidak memadai, tetapi lebih karena peralatan listrik yang tua dan kerap mengalami kerusakan, tapi tidak ada cadangan,” kata Tumiran di Yogyakarta belum lama ini.

Menurut Tumiran, pemerintah perlu segera meremajakan peralatan yang telah usang dan menambah cadangan sehingga bisa digunakan saat peralatan utama rusak. Pemerintah juga perlu menambah jalur transmisi di samping menambah pembangkit baru. Jalur transmisi listrik saat ini dinilai masih terlalu kecil dan kurang efisien. ”Jangan hanya menambah pembangkit saja, karena kalau pembangkit ditambah, tetapi saluran distribusi tak ada, tak ada gunanya,” ujarnya.

Menurut Emy Perdanahari, Direktur Bina Program Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pihaknya menargetkan adanya penambahan kapasitas pembangkit listrik tahun 2010 sebesar 7.819 MW dan total 30.613 MW tahun 2014. Juga ada penambahan jaringan transmisi sepanjang 13.170 km sirkuit (kms) tahun 2010 dan total 27.779 kms tahun 2014. Upaya lain adalah interkoneksi sistem penyaluran untuk Pulau Sumatera melalui jaringan 275 kilovolt tahun 2010 dan penambahan gardu induk 17.820 megavolt ampere pada tahun 2010.

Emy menjelaskan, berdasarkan rencana umum kelistrikan nasional tahun 2008-2027, kebutuhan investasi untuk pembangkit, jaringan transmisi, dan gardu induk, serta jaringan distribusi, diperkirakan mencapai 208,7 miliar dollar AS. Jadi, kebutuhan investasi per tahun sekitar Rp 100 triliun. ”Pemerintah hanya mampu mendanai 10-20 persen dari kebutuhan,” ujarnya.

Fahmi membenarkan, ada kebutuhan pendanaan untuk pembangunan transmisi (penghubung daya antara pembangkit listrik dalam proyek 10.000 MW tahap pertama dan konsumen) yang belum diketahui sumbernya. Saat ini proyek pembangunan transmisi membutuhkan dana dalam bentuk valuta asing senilai 933 juta dollar AS atau Rp 9,33 triliun. PLN baru mendapatkan komitmen pendanaan senilai 727 juta dollar AS atau Rp 7,27 triliun dari berbagai sumber. Atas dasar itu, masih ada kekurangan 206 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,06 triliun yang belum jelas sumber dananya.

”Sisanya itu harus kami cari dari penerbitan obligasi. Adapun untuk kebutuhan dana dalam bentuk rupiah mencapai Rp 13,1 triliun. Kami sudah memproses Rp 4,9 triliun. Sisanya sudah ditutup dengan obligasi senilai Rp 5,2 triliun,” ungkap Fahmi.

Untuk pendanaan proyek pembangkit listriknya sendiri, kebutuhan valuta asingnya mencapai 4,9 miliar dollar AS. Hingga saat ini PLN telah memenuhi 4,47 miliar dollar AS. Sisanya, 458 juta dollar AS, masih diproses dan diperkirakan tuntas pada Desember 2009.

”Sementara untuk pendanaan dalam bentuk rupiah, kebutuhannya mencapai Rp 19,1 triliun, dan sudah ditandatangani senilai Rp 18,9 triliun. Sisanya masih dalam proses negosiasi melalui PT BRI (Bank Rakyat Indonesia),” ujar Fahmi.

Tak ada investasi

Dana yang cukup besar ini meyakinkan bahwa perbaikan transmisi listrik belum bisa segera. Krisis listrik masih mungkin berulang. Jika demikian, jangan pernah berharap ada investasi baru terutama pada daerah-daerah yang masih mengalami defisit listrik. Nasib serupa terjadi pada daerah-daerah yang masih mengalami pemadaman bergilir.

Padahal, listrik mutlak diperlukan untuk kegiatan investasi dan selanjutnya menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen yang ditargetkan pemerintah. Investasi terutama pada sektor industri yang padat karya diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru, menekan angka pengangguran sebesar 9,25 juta orang, dan menampung penambahan rata-rata angkatan kerja 2,26 juta per tahun.

”Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah,” ujar ekonom Faisal Basri soal defisit pasokan listrik yang berakibat pemadaman bergilir.

Menurut Faisal, pada triwulan III-2009 sektor ini tumbuh 1,3 persen, lebih rendah dari dua triwulan sebelumnya yang notabene sudah sangat rendah, yakni 1,5 persen. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. ”Ironisnya, yang paling terpukul adalah usaha kecil menengah karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset,” ujar Faisal.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM) Sandiaga S Uno mengatakan, ”Bagi UMKM, listrik itu seperti darah. Kalau kurang darah, pasti terkulai.”

Kadin memperkirakan kerugian UMKM mencapai Rp 50.000 per bulan karena listrik yang mati-hidup. Jadi, kalau berdasarkan hitungan Badan Pusat Statistik, ada 50 juta UMKM, berarti total kerugian mencapai Rp 2,5 triliun per bulan.

”Target pendapatan juga akan turun 20-25 persen. Kami yakin sekarang ada risiko penurunan untuk pencapaian pertumbuhan tahun 2009 dan tahun 2010. Kondisi ini sangat disayangkan, padahal momentum kita sedang bagus di dunia internasional,” kata Sandiaga.

Ketua Asosiasi Pengusaha  Indonesia (Apindo) Jabar Dedy Wijaya di Bandung mengatakan, pemadaman listrik bergilir yang dilakukan PLN sangat memberatkan dunia usaha. ”Apalagi pemadaman sering dilakukan tanpa pemberitahuan,” ujarnya.

Menurut Dedy, mesin-mesin berkapasitas besar seperti yang digunakan pada industri tekstil dan garmen memerlukan daya listrik yang besar. Kendati dapat disiasati dengan menggunakan genset, biaya operasionalnya jauh lebih mahal.

Kini pengusaha juga diminta kembali berkorban mengalihkan waktu kerja. Langkah ini dilakukan untuk mengoptimalkan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali. Dalam Peraturan Bersama Lima Menteri, kalangan dunia usaha industri dan komersial diminta berpartisipasi mengalihkan waktu kerjanya ke hari Sabtu dan Minggu.(EVY/GRE/ABK/OSA/HAR/PPG)

Senin, 30 November 2009 | 02:53 WIB

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...