Thursday, December 3, 2009

Kebutuhan Listrik: Dilematis Kawasan Industri

Kondisi kelistrikan yang masih tak menentu membuat kawasan industri menghadapi dilema. Pemerintah mendorong pengelola kawasan industri agar mendorong investasi, namun penyediaan listrik belum juga bisa dipenuhi. Kawasan industri tidak bisa apa-apa.

Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional HKI bertajuk ”Meningkatkan Daya Saing Investasi dan Industri Melalui Pengembangan Kawasan Industri Pascaperaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009” di Jakarta, Rabu (2/12).

Sanny mengatakan, sesuai PP No 24/2009, HKI sangat menyambut baik karena industri didorong oleh pemerintah untuk masuk ke kawasan industri. Namun, di sisi lain, kawasan industri juga diwajibkan menyediakan fasilitas penunjang berupa pembangkit dan distribusi energi listrik.

”Di sinilah situasi dilematisnya. HKI masih menghadapi hambatan besar dalam memperoleh perizinan usaha kelistrikan,” kata Sanny.

Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Indradjid Kartowiyono mengakui, ”Pasokan listrik untuk industri saat ini menghadapi problematika besar. Sudah pasokan listrik tidak stabil, pasokan yang ada pun tidak andal atau reliable sehingga menyebabkan byarpet.”

Akibatnya, produksi terganggu, banyak produksi rusak, pembeli produk mengenakan penalti keterlambatan, biaya meningkat, dan investor enggan datang untuk berinvestasi. Pada beberapa jenis industri, mesin produksi menjadi rusak.

Tak heran, menurut Indradjid, timbul persepsi risiko pada pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industrinya. Karena upaya yang dilakukan PLN terlambat dan tidak mendapat respons positif dari pemerintah, pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industri mempunyai gagasan untuk menyediakan sendiri pembangkit listrik untuk kawasannya.

”Untuk mengejar listrik murah, dipakailah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG),” tutur Indradjid.

Listrik lambat

Deputi Direktur Distribusi Jawa-Bali PT PLN Ngurah Adnyana mengatakan, pertumbuhan penyediaan energi listrik tidak sebanding dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Idealnya, pertumbuhan PDB sebesar 6 persen, butuh pertumbuhan listrik 9 persen untuk memasok kebutuhan industri.

Menurut Ngurah, sejak tahun 2000-2008, pertumbuhan listrik hanya 2,4 persen. Sebelumnya masih bisa 10 persen. Awal tahun 2000 memang belum dirasakan krisis listrik, tetapi ternyata tahun 2009 menjadi puncak krisis listrik.

Ngurah mengatakan, krisis listrik disebabkan oleh neraca daya pembangkit negatif karena investasi tidak ada. Banyak penandatanganan kontrak pembangunan pembangkit tidak terealisasi sesuai rencana. Selain itu, banyak terdapat bottleneck di dalam sistem penyaluran karena kendala transmisi dan trafo.

Dia mengakui, kondisi itu terjadi karena investasi yang dibutuhkan tidak memadai. Dalam memproduksi, PLN tidak diperkenankan mengambil margin keuntungan. Menurut Ngurah, sampai tahun 2015 butuh investasi Rp 704 triliun untuk penyediaan generator, transmisi, dan distribusi.

”Itu artinya setiap tahun mulai saat ini kita butuh minimal Rp 100 triliun untuk investasi. Sementara, PLN hanya memperoleh Rp 80 triliun dari hasil pengumpulan tarif listrik,” jelas
Ngurah.

Energi terbarukan

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Energi Terbarukan Indonesia (Asperneti) Djamillius, Rabu (2/12) di Jakarta, mengatakan, perlu regulasi yang mendorong investasi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya. Sejauh ini, pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit listrik belum dikembangkan di Indonesia. Padahal hal itu bisa meningkatkan rasio elektrifikasi nasional.

”Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya bisa jadi salah satu jalan mengatasi krisis penyediaan energi listrik,” kata Djamillius.

Dalam roadmap nasional, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang dari pembangkit listrik berbasis tenaga surya mencapai 1.500 megawatt (MW) atau 5 persen dari total permintaan energi listrik nasional tahun 2025. Ini berarti target pertumbuhan listrik yang dihasilkan energi surya 50 MW per tahun.

”Untuk memenuhi kebutuhan itu, kita sebaiknya tidak jadi importir, tetapi harus bisa memproduksi sendiri untuk mencapai kemandirian energi,” kata Presiden Direktur AZET, perusahaan energi surya, Abdul Kholik, yang juga pengurus Asperneti.

Namun, hingga kini hal ini belum diimplementasikan secara luas di Indonesia karena kendala pendanaan dan rendahnya minat para pelaku usaha untuk mengembangkan energi terbarukan itu. Oleh karena harga listrik dari energi surya Rp 1.150 per kWh dinilai terlalu rendah dan butuh waktu terlalu lama untuk menutup biaya investasi.

”Biaya investasi awal pembangkit listrik tenaga surya jauh lebih tinggi dibanding pembangkit berbasis energi fosil,” kata dia. Sebagai perbandingan, biaya investasi pembangkit berbasis batu bara 1,2 dollar AS per watt, sedangkan energi surya 9 dollar AS per watt.

Atas dasar itu, pihaknya mengusulkan agar ada regulasi yang mendorong investasi untuk membangun pembangkit listrik berbasis tenaga surya. Jika dinilai menguntungkan, maka penyedia listrik swasta akan tertarik untuk membangunnya. (OSA/evy)

Kamis, 3 Desember 2009 | 03:14 WIB

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...