Saturday, September 19, 2009

Kuncinya Mendekat pada Ibu Bumi


Para petani yang menerapkan metode organik tak memiliki resep tunggal untuk meningkatkan kesuburan lahan serta mengatasi gangguan hama dan penyakit tanaman. Masing-masing menemukan teknik sendiri. Kuncinya adalah mendekat pada ibu bumi, memahami keluh kesahnya, dan memberi apa yang dimauinya. Ket.Foto: Pekerja menaruh butiran kompos pada granulator yang berputar sebelum dipanaskan di PT Godang Tua Jaya Farming di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, awal April lalu. Di kawasan tersebut akan dibangun pengolahan sampah terpadu.

Kata kunci itu barangkali terdengar abstrak bagi sebagian orang. Namun, bagi petani yang telah menerapkannya, metode tersebut sangat nyata. Jauh lebih nyata dibandingkan dengan menggantungkan tanah mereka pada rezim pupuk dan pestisida kimia yang datang dari negeri yang entah.

Di samping teknik yang telah dikenal umum, dengan membuat kompos berbahan baku kotoran hewan atau dedaunan, sejumlah petani organik menemukan teknik dan bahan terbaik untuk pupuk sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing.

Misalnya, Purwanto, petani dari Dusun Kleben, Kelurahan Sidorejo, Godean, Sleman, Yogyakarta, menemukan pupuk dari fermentasi telur itik busuk—dipilih dari telur itik yang gagal menetas dari usaha penetasan telur yang dimilikinya.

Petani 34 tahun ini, selain mengolah lahan warisan mertua seluas 450 m, juga mengembangkan usaha penetasan bebek sejak tiga tahun terakhir. Setiap bulan dia menetaskan sekitar 2.500 telur dengan tingkat kegagalan sekitar 5 persen.

Limbah telur ini awalnya biang masalah karena biasanya dia membuang telur busuk itu ke sungai. Tetangganya protes karena muncul bau busuk yang luar biasa. ”Suatu malam saya menemukan ide, kenapa telur itu tidak saya pendam di dalam sawah? Telur kan makanan bergizi bagi manusia, pasti juga baik bagi padi,” demikian logika sederhananya.

Selama dua tahun terakhir dia mempraktikkan metode temuannya itu dan sudah sekitar 4.000 telur bebek lengkap dengan cangkangnya yang ditanam di sawah. ”Panenan ternyata bagus,” kata Purwanto.

Di Klaten, sekelompok petani memfermentasi limbah tetes tebu dari pabrik gula, yang sebelumnya menjadi masalah lingkungan. Sedangkan di Margoluwih, Sayegan, Yogyakarta, Kelompok Joglo Tani menggunakan air kencing kelinci untuk membuat pupuk.

Para praktisi organik ini percaya bahwa ibu bumi dan tanaman merupakan sosok yang hidup dan bernapas. Karena itu, kebutuhan terhadap unsur hara juga berlainan pada waktu, jenis tanaman, dan tempat yang berbeda. Dengan mengenal dan membaca tanda-tanda alam, para penggiat organik ini menemukan cara masing-masing.

”Saya pernah dianggap gila karena tiap hari merenung di tengah sawah,” kata Purwanto. Waktu itu tanaman padinya yang mulai menguning dikeroyok tikus. Beberapa resep tradisional dicoba, tetapi tak mempan. ”Tikus itu hewan pintar, mereka juga belajar,” katanya.

Dia akhirnya menemukan teknik merendam sawah saat malam—ketika tikus-tikus itu menyerbu—dan cepat mengeringkan kembali saat pagi. Demikian seterusnya. Untuk sementara padinya aman walaupun mungkin suatu saat tikus itu akan menemukan cara menyerang pada saat tengah hari bolong.

Di Purbalingga, pelopor pertanian organik, Mbah Gatot, menggunakan gula untuk melawan tikus. Pertama-tama, dia mencari liang tikus yang masih aktif, yaitu yang masih ada bekas lalu lintas hewan pengerat itu. Lalu di bagian luar liang ditaruh beberapa sendok gula merah atau gula putih. Tujuannya agar setiap ada tikus yang lewat, rambut tikus itu tertempel gula dan terbawa masuk jauh ke dalam liangnya. Gula akan mendatangkan semut, dan semut akan mengusir tikus. Itulah logikanya. Logika yang dipahami dan ditemukan dari hasil pengamatan sendiri, kemudian dicobakan.

Beberapa teknik itu gagal, sebagian berhasil. Tetapi, pada prinsipnya mereka berdialog, belajar, dan mencoba mandiri.

Teknik paling ampuh mengatasi tikus, menurut Purwanto, sudah dikenal oleh petani sejak lama, yaitu menggunakan predator tikus, misalnya ular, burung hantu, atau elang. ”Tetapi, sekarang predator tikus itu dihabisi oleh predator yang lebih rakus, manusia,” dan sebagai akibatnya, ”petani yang sekarang kesulitan melawan tikus itu,” kata Purwanto menerangkan konsep rantai makanan.

Jejaring hidup

Seperti ditulis oleh Rachel Carson dalam Silent Spring (1962), buku klasik yang mengubah cara pandang dunia Barat terhadap pupuk dan pestisida kimia, sejarah kehidupan adalah interaksi dengan lingkungan. Saling tergantung dan saling dukung. Tak ada yang tak berguna dalam jejaring alam ini, semua memiliki peranan.

Jauh sebelum manusia menjadi dominan, alam telah menemukan keseimbangannya sendiri. Manusia tidak mencipta apa-apa, termasuk tanaman pangan yang sekarang dikenal, mulai dari padi-padian, gandum, jagung, hingga umbi-umbian. Manusia hanya menyeleksi, memodifikasi, dan membiakkan dengan cepat yang diinginkannya serta menyisihkan yang dianggap tak berguna.

Aneka tanaman itu sudah ada di bumi, demikian juga serangga yang tergantung padanya. Dan, seperti manusia, spesies pesaing itu juga beradaptasi. Ketika kemudian manusia menganggap spesies itu sebagai hama dan menyerangnya dengan zat kimia mematikan, mereka pun belajar untuk bertahan dengan kemampuan adaptasi yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan manusia karena mereka jauh lebih tua.

Contoh yang populer adalah penggunaan dichloro diphenyl trichloroethane (DDT). Pada tahap awal penggunaannya, DDT dianggap pahlawan yang mampu mengalahkan serangga pengganggu, tetapi hanya sebentar karena muncul berbagai varian baru serangga yang lebih kebal terhadap racun ini. Demikian seterusnya, walaupun jenis dan dosis racun ditambah, spesies pesaing itu tetap bertahan dan semakin kebal.

Rachel Carson mengamati, alih-alih menghabisi hama pengganggu, racun kimia itu justru membunuh aneka spesies yang berguna bagi manusia, seperti lebah penyerbuk dan burung pemakan hama. Pada gilirannya, racun kimia yang ditujukan kepada spesies pengganggu juga menggerogoti tubuh manusia.
Singkatnya, menurut Rachel, ”perang dengan racun kimia tak akan pernah dimenangi manusia”.

Walaupun tak pernah membaca Silent Spring atau buku-buku sejenis itu, Purwanto tahu betul bahwa racun kimia memang bukan jawaban untuk pertanian. ”Kita cukup mendekat pada alam untuk tahu bahwa metode pertanian organik adalah yang terbaik untuk kehidupan,” kata petani muda dari dusun kecil ini. Dia sangat yakin gerakan menuju organik adalah perjuangan ”untuk keberlangsungan lingkungan, dan akhirnya untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi juga”.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...