Saturday, September 19, 2009

Pembajakan Gerakan Organik?


Mereka yang dulu merusak unsur hara tanah dengan pupuk kimia kini berlomba memproduksi pupuk organik. Sebuah pertobatan atau bentuk lain dari strategi pemasaran belaka yang ujungnya hanya akan membuat petani bergantung pada input pertanian dari luar? Ket.Foto: Petani memupuk tanaman bawang di areal pertanian yang curam di Desa Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (3/9). Meski jumlahnya belum banyak, petani di wilayah ini mulai menggunakan pupuk organik untuk menyuburkan tanaman yang sebagian besar berupa sayuran.

elihat peluang pasar organik yang terbuka lebar, perusahaan-perusahaan besar yang dulu bermain di sektor pupuk kimia kini masuk ke pasar yang baru terbuka ini. Misalnya, PT Pupuk Kalimantan Timur telah membangun pabrik pupuk organik berkapasitas 3.600 ton per tahun di Banyuwangi, Jawa Timur. Pupuk mereka diberi merek Zeorganik. Ke depan, mereka menargetkan bisa memproduksi pupuk organik hingga 10.000 ton per tahun.

PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) juga mengembangkan pupuk organik yang diberi nama Pusri Plus. Mereka mengklaim produknya berfungsi untuk memperbaiki tekstur dan struktur tanah karena mengandung bahan tambahan berupa strain mikroba, hayati yang berfungsi sebagai fiksasi nitrogen serta pelarut fosfor dan kalium.

Setelah membangun pabrik pupuk organik di Palembang tahun 2005, Pusri baru-baru ini juga membangun pabrik di Cianjur, Jawa Barat, di Lumajang, Jawa Timur, dan di Sragen, Jawa Tengah. Masing-masing pabrik mampu memproduksi hingga 3.000 ton per tahun.

Adapun Petrokimia Gresik telah memiliki 40 pabrik pupuk organik bermerek Petroganik dengan total kapasitas 400.000 ton per tahun, yang sebagian besar berlokasi di Jawa. Petrogres juga sedang membangun 33 pabrik di beberapa daerah, antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Tak hanya pemain besar, bisnis pupuk organik juga dilakukan pemain-pemain kecil dan menengah. Bahkan, sejumlah pemain menggunakan sistem multilevel marketing untuk menembus rumah tangga petani, misalnya NASA dari Yogyakarta.

Pupuk adalah bisnis yang menjanjikan. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, konsumsi urea nasional pada 2008 mencapai 5.699.951 ton, TSP sebesar 585.883 ton, ZA sebanyak 775.983 ton, dan NPK sebesar 1.175.027 ton.

Belum ada data pasti kebutuhan pupuk organik secara nasional. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran petani menuju organik dan gerakan Go Organik 2010 dari pemerintah, prospek ke depan tentunya sangat menjanjikan.

Apalagi awal bulan ini Komisi IV DPR telah menyetujui alokasi anggaran Rp 6,2 triliun untuk pengembangan pupuk organik yang diusulkan Departemen Pertanian. Alokasi anggaran ini digunakan untuk menutup kebutuhan pupuk anorganik tahun 2010 yang akan dikurangi subsidinya.

Benarkah ini menjadi angin segar bagi gerakan pertanian organik di Indonesia?

”Narkoba” jenis baru

”Kalau saya tidak akan mau membeli pupuk organik dari pabrik. Kalau bisa membuat sendiri dengan gampang dan gratis, kenapa harus beli?” kata W Riyanto, petani organik di Klaten.

Menurut Riyanto, pupuk organik pabrikan hanya akan membuat petani bergantung pada pihak luar. ”Itu seperti narkoba jenis baru. Seolah-olah baik, tapi tetap saja akan membuat kecanduan,” katanya. ”Petani memiliki semua bahan untuk dijadikan pupuk sendiri. Kemandirianlah yang dibutuhkan petani,” lanjutnya.

Direktur Cindelaras Fransiscus Wahono menyebutkan, gejala masuknya pemain-pemain besar dalam bisnis pupuk organik adalah upaya pembajakan terhadap gerakan organik. ”Ini adalah penyelewengan konsep dasar pertanian organik,” katanya.

Menurut Wahono, pertanian organik tidak hanya untuk memperbaiki struktur tanah dan menjaga keseimbangan alam, tetapi juga gerakan untuk membuat petani merdeka dari ketergantungan input pertanian.

Pertanian organik atau konvensional adalah pilihan teknologi, tetapi struktur pertanian organik jauh lebih besar dari itu. ”Organik adalah bagian dari gerakan kedaulatan pangan yang komponen dasarnya adalah reformasi agraria karena tanpa ada lahan yang memadai, petani organik tak akan mampu menguasai pasar,” ujarnya.

Selain itu, aspek lain yang harus dipersiapkan adalah memberikan akses modal kepada petani, kemandirian benih, teknik tanam dan pemeliharaan alami, pemrosesan hasil, hingga tata niaga yang adil.

Kesatuan konsep ini, menurut Wahono, yang tidak dipahami oleh pemerintah sehingga ketika kemudian pemerintah meluncurkan Go Organik 2010, yang mereka lakukan adalah banyak membuat proyek pelatihan kepada petani sambil mempromosikan pupuk organik bersubsidi buatan pabrik.

Enday, petani organik dari Garut, Jawa Barat, mengatakan, pelatihan organik kepada petani biasanya disisipi dengan promosi pupuk organik tertentu yang siap pakai. ”Kalau memang mau mendidik petani, kenapa tidak mengajari mereka membuat pupuk dan memberi modalnya juga?” kata Enday yang pernah menjadi pendamping proyek pemerintah untuk organik di wilayah Garut.

”Daripada menyubsidi pabrik untuk memproduksi pupuk organik, kenapa tidak pabriknya saja yang diberikan kepada petani? Sapi itu, lho, pabrik pupuk organik,” kata TO Suprapto, praktisi organik dari Godean, Yogyakarta.

Sikap pemerintah untuk beralih ke pupuk organik sepertinya juga masih setengah hati. Dengan melonjaknya harga minyak dunia, biaya untuk menyubsidi pupuk kimia akan semakin tinggi. Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (2/9), mengatakan, jika semua kebutuhan pupuk kimia dipenuhi, dibutuhkan anggaran subsidi sebesar Rp 24 triliun.

Oleh karena itu, pemerintah bermaksud mengembangkan pupuk organik sebagai substitusi pupuk anorganik. Seiring dengan itu, subsidi untuk pupuk anorganik 2010 diturunkan menjadi Rp 11,3 triliun dari tahun sebelumnya Rp 17,5 triliun. Selisih subsidi sebanyak Rp 6,2 triliun akan dialihkan ke pupuk organik.

Wahono menambahkan, produsen besar tersebut boleh-boleh saja memproduksi pupuk organik. Tetapi sebaiknya mereka mengorientasikan produknya untuk perusahaan-perusahaan perkebunan besar, bukan untuk petani skala kecil, yang membutuhkan gerakan kembali ke organik sebagai gerakan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan input pertanian dari luar.

Jika petani tetap dipaksa untuk menggunakan input pertanian dari luar, ini merupakan bentuk lain dari upaya memangkas kedaulatan petani. Dan, gerakan pertanian organik hanya akan menguntungkan para pebisnis, tetapi tak mengubah nasib petani menjadi lebih baik dan merdeka.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...