Friday, December 18, 2009

Konservasi Energi ala Jepang

Dua kali krisis energi menjadi pengalaman berharga bagi Jepang. Tak pelak,berbagai kebijakan dan tindakan dilakukan. Mengembangkan energi terbarukan merupakan alternatif yang tidak bisa ditawar.

Dua krisis minyak yang terjadi pada tahun 1973 dan 1979 menjadi pengalaman pahit bagi Jepang.Ketika itu, Jepang yang ketergantungannya terhadap minyak bumi sebagai sumber energi primer mencapai 77%, perekonomiannya terpukul akibat lonjakan harga minyak di pasar internasional. Namun, bukanlah Jepang jika tidak belajar dari pengalaman. Krisis itu justru menjadi momentum bagi Negeri Matahari terbit itu untuk menata kembali struktur konsumsi energinya.Mereka menjalankan dua langkah sekaligus, yakni peningkatan efisiensi energi (penghematan) dan mengembangkan energi terbarukan.

Pascakrisis energi kedua (1979), Jepang mengeluarkan kebijakan rasionalisasi penggunaan energi berbentuk Undang-Undang Konservasi Energi, terutama pada sektor industri, perkantoran, jasa, dan alat-alat elektronik. Berbagai kebijakan penghematan energi di Jepang difokuskan pada empat sektor, yaitu peralatan elektronik,konsumsi energi di perumahan serta bangunan komersial, industri, dan transportasi. Dalam revisi peraturannya dibuat semakin spesifik tentang sejauh mana peralatan dan berapa energi yang boleh dan tidak boleh digunakan.

Lahirlah sistem yang dikenal sebagai Top Runner Standards, yakni upaya menyeleksi produkproduk yang paling efisien menggunakan energi. Sistem ini ternyata efektif untuk menekan konsumsi energi di Jepang. Ibarat kompetisi, industri di Jepang berlomba-lomba mengembangkan dan memasarkan produkproduk yang hemat energi. Mulai dari peralatan elektronik hingga mobil, dikembangkan sedemikian rupa sehingga lebih hemat energi. Salah satu contoh keberhasilan adalahpengembanganprodukindustri automotif. Mobil hibrida, jenis mobil yang menggunakan dua sumber energi,yaitu bahan bakar minyak (BBM) dan listrik,kini telah menjadi kendaraan populer di Jepang.

Di pasar domestik,mobil yang konsumsi BBM-nya jauh lebih hemat dibanding mobil konvensional ini menjadi salah satu yang paling laris. Di bidang pengembangan energi alternatif yang lebih terbarukan, Jepang juga termasuk pionir. Bagi mereka,pengembangan energi terbarukan mutlak harus dilakukan. Selain memiliki tren harga yang terus menurun seiring perkembangan teknologi, energi terbarukan juga relatif lebih ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan komitmen Jepang emisi gas rumah kaca secara lebih ambisius.

Seperti diketahui, berdasarkan Protokol Kyoto, Jepang berkomitmen mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan lima gas rumah kaca (greenhouse gas) lainnya sebesar 6% dibanding level emisi pada 1990 selama periode 2008–2012. Negara itu sukses mengurangi ketergantungan pada minyak sebagai sumber energi. Proporsi minyak sebagai sumber energi turun drastis dari puncaknya 77% total sumber energi pada era sebelum krisis energi pertama tahun 1973, menjadi 57,1% tahun 1997, dan 47,1% pada 2006. Pada Mei 2006,Pemerintah Jepang merilis Strategi Energi Nasional Baru, yang mencantumkan target-target kuantitatif pengelolaan energi hingga 2030.

Di antara strategi itu,yakni mengurangi peran minyak bumi sebagai sumber energi hingga menjadi di bawah 40% total sumber energi, menaikkan efisiensi energi hingga 30%, serta menekan biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya,serta menaikkan peran pembangkit listrik tenaga nuklir. Jepang mendorong pengembangan energi terbarukan melalui berbagai cara, seperti pemberian insentif perpajakan, subsidi, dan dana penelitian.Tak heran jika kemudian pengembangan energi terbarukan seolah menjadi gerakan masif di Jepang.

Saat Seputar Indonesia berkunjung ke Jepang, November lalu, tampak jelas kesungguhan pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta masyarakat lokal untuk mengembangkan energi terbarukan. Salah satu yang gencar dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Jepang berharap kapasitas PLTS dapat mencapai 4,82 gigawatt (GW) pada 2010, naik signifikan dibanding 1,92 GW pada 2007. Di Kota Hokuto, Prefektur Yamanashi, misalnya saat ini sedang dibangun PLTS berkapasitas 2 MW.

PLTS memang cocok dikembangkan di Hokuto lantaran kota ini termasuk salah satu daerah di Jepang yang menerima sinar matahari lebih banyak dibanding wilayah lain. Proyek PLTS ini ditargetkan tuntas pada tahun 2010 mendatang dan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan listrik bagi 650 rumah tangga. Proyek tersebut hanya salah satu contoh pengembangan energi terbarukan di Yamanashi.

Di kotakota lain komitmen pemerintah lokal dan masyarakat untuk mengembangkan energi terbarukan juga terlihat.Pemerintah kota Tsuru, misalnya, pada 2004,memutuskan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air berskala kecil (micro-hydro system). Memanfaatkan aliran air di kanal Kachugawa, pembangunan pembangkit listrik itu dikerjakan 21 Februari 2005 hingga 31 Oktober 2005.Pembangkit itu dioperasikan mulai 6 April 2006 dan mampu menghasilkan listrik hingga 20 kilowatt (KW). Sebagian kebutuhan pembiayaan pembangunan pembangkit listrik ini dipenuhi dari partisipasi warga melalui pembelian obligasi.

Berbagai kebijakan dan tindakan Jepang tersebut menunjukkan keseriusan negara itu dalam mengembangkan energi terbarukan. Mereka sadar bahwa energi terbarukan merupakan alternatif yang tidak bisa ditawar. (masirom)
 
Saturday, 12 December 2009 
 
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/289956/34/

1 comment:

Anonim said...

saLut buat Jepang..

kita perLu beLajar banyak...

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...