Saturday, March 20, 2010

Lingkungan Dibiarkan Rusak: PP Langgengkan Pertambangan Batu Bara

Pemerintah terkesan membiarkan kerusakan lingkungan terjadi di Pulau Kalimantan akibat praktik eksploitasi pertambangan yang sembarangan. Demikian, antara lain, disampaikan oleh aktivis Jaringan Advokasi Tambang.

Kerusakan tersebut berisiko mengantarkan pulau itu pada krisis energi, pangan, dan kehancuran lingkungan.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah menyatakan, mekanisme perizinan pertambangan telah gagal mengendalikan aktivitas pertambangan.

”Sejak tahun 1968, minyak buminya disedot, lalu hutannya dieksploitasi lewat hak pengusahaan hutan. Sekarang ribuan kuasa pertambangan batu bara menghancurkan lingkungan. Kalimantan butuh penyelamatan sebelum kerusakan ekologisnya tidak terpulihkan. Namun, tidak ada langkah nyata pemerintah untuk itu,” kata Siti Maemunah di Jakarta, Rabu (17/3).

Dia mengingatkan, industri ekstraktif di Kalimantan telah gagal mengangkat kesejahteraan warganya. ”Di Kalimantan ada 2.475 kuasa pertambangan, separuhnya ada di Kalimantan Timur. Batu bara di Kabupaten Kutai Timur dikeruk, tetapi 98 dari 135 desa di sana belum teraliri listrik. Di Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda ada 781 konsesi pertambangan batu bara, tetapi kedua daerah itu tetap menjadi kantong pengangguran,” kata Siti Maemunah.

Di Samarinda, pertambangan batu bara menghasilkan pendapatan asli daerah Rp 399 juta per tahun. ”Namun, pertambangan itu menyebabkan banjir. Untuk mengatasi banjir, Pemerintah Kota Samarinda harus mengeluarkan Rp 38 miliar untuk membangun polder. Itu jelas merugikan, tetapi justru akan diperluas. Di Kalimantan Tengah, pertambangan batu bara yang volumenya 1,5 juta ton per tahun akan dipacu menjadi 30 juta ton per tahun. Izin baru terus diterbitkan, sementara tumpang tindih areal kuasa pertambangan tak pernah dibenahi,” kata Siti.

Melanggengkan

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian Forqan menyatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, yang terbit 1 Februari lalu, tidak menunjukkan itikad pemerintah menyelamatkan hutan. ”Peraturan itu justru membangun celah bagi investor untuk mendapatkan dispensasi dari persyaratan pinjam-pakai kawasan hutan. Mekanisme kompensasi uang juga menyumirkan substansi bahwa pemerintah seharusnya menjaga kelestarian kawasan hutan,” kata Berry.

Menurut dia, PP itu tidak sejalan dengan target pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca 26 persen pada 2020. ”Pemerintah ingin menurunkan emisi dari alih fungsi lahan, tetapi justru menerbitkan PP yang mempermudah alih fungsi hutan,” kata Berry.

Setiap tahun, 200 juta ton batu bara dikeruk dari Kalimantan, 160 juta di antaranya diekspor, 40 juta ton untuk berbagai industri dan pembangkit listrik di Jawa dan Sumatera, sedangkan Kalimantan hanya kebagian 4 juta ton sehingga terjerat krisis listrik (Kompas, 10/3).

Peneliti pada Sekolah Ekonomika Demokratik, Hendro Sangkoyo, menyatakan, kehancuran lingkungan di Kalimantan tidak akan terhenti jika tidak ada perubahan paradigma pemanfaatan sumber daya alamnya.

”Beruntunglah Jakarta jarang mati lampu. Namun, sejatinya kita di Jakarta meningkatkan kualitas hidup dengan cara jorok, yaitu dengan menambang batu bara dan menghancurkan lingkungan hidup di Kalimantan,” kata Hendro.

”Eksploitasi SDA sebagaimana kasus pertambangan di Kalimantan melulu soal neraca keuangan negara. Paradigmanya bukan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks lebih besar, Pemerintah Indonesia tersandera kepentingan negara maju yang menjadi konsumen energi terbesar di dunia. Selama paradigmanya tidak berubah, sulit mengharapkan kebijakan berorientasi penyelamatan lingkungan,” kata Hendro.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Tachrir Fathoni menyatakan dalam suratnya kepada Kompas bahwa tidak benar jika pihaknya seolah-olah menyatakan bahwa ”pemutihan” kawasan hutan bermasalah dimungkinkan, antara lain, melalui revisi tata ruang, seperti dimuat dalam berita ”Enklave Dibatasi” (Kompas, 8/3). Menurut dia, hal itu tidak benar karena UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang Pasal 23 dan Pasal 26 menyatakan, tidak ada ”pemutihan” dalam proses revisi tata ruang. (row/*)

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...