Tuesday, August 18, 2009

Perubahan Iklim dan Pembangunan Ancam Populasi Penyu Jantan

Berdasarkan hasil penelitian penyu dari Universitas Udayana Bali, penyu betina menguasai lebih dari separuh populasi penyu di habitat Jawa Timur, Papua, dan Sunda Kecil. Ini menjadikan ancaman bagi keseimbangan populasi penyu.

Menyusutnya jumlah penyu jan tan ini karena perubahan iklim dengan suhu yang semakin panas dan pembangunan yang kurang terkontrol di sekitar pesisir pantai. Sementara keberhasilan penetasan telur penyu menjadi jantan bergantung kepada suhu udara di dalam pasir pantai yang tidak lebih dari 28 derajat celsius hingga 29 derajat celsius dan berada di bawah pepohonan sekitar pantai.

"Manusianya untuk memperbaiki alam dan habitat penyu ini perlu terus ditumbuhkan. Karena, tidak mudah meremajakan pantai yang rusak sehingga penyu-penyu dapat bertelur dan menetas dengan baik," kata Koordinator Marine Turtle Training dan Research Centre Universitas Udayana drh IB Windia Adnyana PHd, di Denpasar.

Ia menambahkan, tingkat keberhasilan penetasan penyu turun dari 90 persen menjadi 70 persen setiap tahunnya sejak 10 tahun terakhir. Misalnya di Kepala Burung (Papua), keberhasilan penetasan telur mulai berkurang dari 500 ekor per tahun.

Menurut Windia, memperbaiki pantai akibat abrasi atau erosi dengan menambahkan pasir dari pantai lain tidak selamanya baik untuk pengembangbiakan penyu. "Termasuk konservasi penyu pun tidak semuanya positif jika tidak dibarengi dengan memperbaiki alam aslinya seperti devegetasi. Pepohonan sekitar pantai untuk penyu berlindung," ujarnya.

Penelitian dilakukan sejak Oktober 2008 hingga sekarang bekerja sama dengan WWF. Dalam penelitian tersebut, peneliti Udayana mengumpulkan sekitar 400 ekor sampel penyu yang diambil air liur, cukilan kulit, dan darah untuk tes genetika. Dana yang dihabiskan sekitar Rp 1,5 miliar.

Dalam penelitian tersebut juga menemukan adanya perbedaan genetika penyu dari satu daerah dengan daerah lainnya, baik penyu lekang (Lepidochelys oliviacea ), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Meski penyu menyukai datang ke pantai lainnya, ia tetap bertelur di tempat asal mereka.

Windia menjelaskan selama ini penyu dianggap memiliki satu genetika sama dan bisa bertelur di mana saja. Pada penelitian tersebut terungkap, penyu memiliki genetika berbeda dan ditemukan untuk kawasan Jawa Timur, Sunda Kecil, dan Papua terdapat tiga kelompok.

Tiga kelompok genetika penyu tersebut adalah kelompok pertama di Pantai Kepala Burung (Papua) dan Laut Arafuru. Kelompok kedua terbagi menjadi dua, yaitu Jawa Timur-Bali-Jawa Tengah (Cilacap), dan Jawa Timur-Australia Barat. Kelompok ketiga berada di Kalimantan Timur hingga Laut Sulu.

Ia berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. "Kami ingin masyarakat luas mengerti dan paham mengenai penyu agar tidak melakukan hal yang percuma. Pelestarian penyu tidak hanya sebatas tidak memakan dan mencuri telur atau dagingnya saja. Habitat dan lingkungannya yang rusak juga perlu diperbaiki," tegas Windia.

Di Pulau Dewata, masyarakat mulai tidak mengonsumsi daging penyu khususnya pada upacara adat atau keagamaan setelah dilarang oleh pemerintah. Kompyang Rata, pedagang sate lilit di Denpasar, mengaku kesulitan mendapatkan daging penyu kembali.

Selasa, 18 Agustus 2009 | 12:51 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ayu Sulistyowati
DENPASAR, KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/18/12512775/perubahan.iklim.dan.pembangunan.ancam.populasi.penyu.jantan..

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...