Sunday, August 30, 2009

LIPI Rintis Bioelektrik di Desa Giri Mekar





Indonesia sudah lama mengenal pemanfaatan biogas untuk memasak. Namun, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung mengembangkan biogas yang dikonversi ke energi listrik yang bernama bioelektrik.

"Kami buat ini karena prihatin dengan krisis energi secara global. Selain itu, Indonesia menargetkan tahun 2025 sudah tercipta energi mix dan sudah memakai 30 persen energi terbarukan," kata Aep Saepudin, Kepala Sub Bidang Sarana Rekayasa Tenaga Listrik dan Mekatronik (Telimek) LIPI Bandung, di Bandung, Jawa Barat (14/8).

1.Ket. Foto 1: (mulai dari paling atas) Kotoran sapi yang dicampur dengan air dimasukkan ke dalam digester, semacam septi tank. Setelah kurang lebih 1 bulan, biogas sudah dihasilkan dan siap dipakai untuk bahan bakar kompor dan bioelektrik.
2. Ket Foto 2: Yaya Sudrajat Sumama, peneliti LIPI, menjelaskan pada para wartawan bagaimana kinerja biogas yang dikonversi untuk energi listrik dan bahan bakar kompor biogas.
3. Ket Foto 3: Masyarakat di Kabupaten Bandung, 70 persennya berprofesi sebagai peternak sapi. Ini menjadi potensi besar untuk mengembangkan biogas, sebagaimana ada di Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung Jabar (14/8).
4. Ket Foto 4: Peternak di Desa Giri Mekar Kecamatan Cilengkrang Jabar sedang mengisi digester dengan kotoran sapi dan air. Dari dalam digester inilah biogas dihasilkan.

Sejak 2008, ucap Aep, LIPI sudah melakukan penelitian bioelektrik. Tempat yang dipakai untuk percontohan adalah di Desa Giri Mekar, Kecamatan Cirengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Bahan baku energi yang dipakai adalah kotoran sapi. "Daerah sini dominan adalah peternak sapi," kata Aep singkat. Kecamatan Cilengkarang, menurut Marlan, Camat Cilengkrang, memiliki enam desa. Di pedesaan yang sebagian besar penduduknya peternak, memiliki 2.000 ekor sapi yang menghasilkan 300 ton kotoran tiap harinya.

"Selama ini kotorannya dibuang begitu saja. Kalau ke sana udaranya memang bau," tuturnya. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa bioelektrik berbasis kotoran sapi ini sangat relevan karena berdasarkan data 2007, sampai saat ini masih ada 1.500 kepala keluarga dari 11.000 kepala keluarga yang belum bisa menikmati listrik.

"Sebagian besar mereka itu sudah memanfaatkan listrik dengan cara menyambung listrik ke tetangganya yang punya," katanya.

Dengan memanfaatkan biolektrik, Aep melanjutkan, masyarakat bisa mendapatkan energi 700 watt dari tiga ekor sapi. Selain itu, mereka bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak atau gas untuk memasak dan solar sampai 70 persen.

"Biogas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk memasak, listrik, dan juga kompos yang berkualitas baik," tegasnya.

Menurut Kasubid Sarana Peralatan Transportasi LIPI Arifin Nur, proses bioelektrik itu dilakukan sebagai berikut:

Dari setiap kepala keluarga yang memiliki tiga ekor sapi per harinya akan dihasilkan 45 kg kotoran. Selanjutnya, kotoran itu dicampur air dengan perbandingannya 1:2.

Campuran tersebut lalu dimasukkan ke dalam ruang kedap udara yang dinamakan digester berukuran 2 meter persegi. Setelah kira-kira sebulan, lanjut Arifin, dari digester keluarlah gas metan (CH4).

"Gas inilah yang kita sebut sebagai energi biogas. Sayangnya, dengan teknologi sekarang biogas yang dihasilkan dan ditampung dalam plastik polyetilen treptalat baru 60 persen," katanya.

Untuk itu, saat ini LIPI sedang melakukan penelitian supaya gas metan yang dihasilkan bisa mencapai 90 persen. Gas metan tersebut kemudian dialirkan menggunakan pipa paralon ke mesin. Saat inilah biogas dikonversi ke bioelektrik.

Ada dua bentuk biolektrik. Pertama disalurkan ke genset berbahan bakar bensin, yang bisa langsung dimanfaatkan. Kedua ke genset bahan bakar solar, yang dinamakan dual fuel.

"Bioelektrik dual fuel ini dapat menggantikan 70 persen penggunaan bahan bakar solar. 30 persennya solar. Dari satu liter per jam jadi 0,4 liter per jam," tutur Arifin. Kemudian ia melanjutkan, dengan kebutuhan biogas 20 liter/menit pada beban 80 persen, berarti 8 kva (kilovolt ampare), engine membutuhkan biogas sebanyak 20 liter/menit. Atau setara dengan 120 liter/jam.

Diteruskan ke daerah lain

Setelah percontohan di Giri Mekar, menurut Aep, akan diteruskan ke desa-desa terdekat. Sedangkan LIPI berperan sebagai konsultan. "Potensinya, 71 persen penduduk di Kabupaten Bandung adalah peternak sapi. Dan 30 persen kebutuhan susu nasional dipenuhi kabupaten ini," ucapnya.

Untuk itu, ke depan ia berharap masyarakat di desa energinya sudah mandiri. Dan pertaniannya organik, yang pupuknya di dapat dari limbah biogas berbasis kotoran sapi. "Dari sapi yang mereka pelihara, mereka mendapat susunya, listrik, pupuk kompos. Kalau sapi potong, ditambah dapat kulit dan dagingnya," tutur Aep.

Biayanya berapa? Untuk buat reaktor dari fiber dengan kapasitas 2.500-3.000 liter harganya Rp 3,5 juta. Harga segitu sudah mendapatkan satu sistem reaktor, penampung gas, kompor, instalasi sudah terpasang, dan biaya pemasangan.

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...