Wednesday, September 30, 2009

Gajah Sumatera Pun Perlu Ruang Hidup

Amukan puluhan ekor gajah di perbatasan Provinsi Jambi-Provinsi Riau menyebabkan dua penduduk tewas, Sabtu (26/9). Lima rumah warga dan puluhan hektar kebun sawit juga rusak. Warga ketakutan, dan Minggu malam sebagian mengungsi.

Berdasarkan pantauan Wildlife Protection Unit, kerja sama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi dan Frankfurt Zoological Society (FZS), kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) sebelumnya terpantau kerap berada di areal eks hutan produksi PT Industries et Forest Asiatiques (IFA). Kawasan ini adalah habitat gajah karena topografinya landai dan menyimpan banyak sumber makanan.

Pemerintah lalu mengubah jalur pelintasan gajah yang terletak di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) itu menjadi lokasi transmigrasi dan perkebunan sawit sekitar 10 tahun lalu. Hampir semua jalur lintasan gajah berubah menjadi permukiman dan perkebunan.

Gajah sempat menghilang tiga tahun, kembali melintas ketika tanaman sawit mulai tumbuh. Gajah keluar menuju perbatasan hutan hingga ke perkebunan sawit. Pucuk-pucuk sawit muda milik warga yang tingginya belum sampai 2 meter menjadi santapan.

Kecerobohan pemerintah

Krismanko Padang, counterpart FZS-BKSDA Jambi, mengatakan, konflik satwa liar dengan manusia adalah buah dari kecerobohan pemerintah mengeluarkan izin pengelolaan hutan. Aspek ekologi dan kepentingan satwa kurang diperhatikan dalam menentukan peruntukan kawasan. Padahal, satwa pun membutuhkan ruang hidup.

”Untuk mencegah konflik berulang, pemerintah perlu mengalokasikan kawasan khusus untuk gajah sumatera. Masih ada hutan alam di Blok Punti Anai dan eks PT IFA, perbatasan Indragiri Hulu (Riau), dan Tebo (Jambi) yang kondisinya cocok untuk habitat gajah,” ujar Krismanko.

Jika area ini dikembangkan, dapat menjadi penghubung antara koridor TNBT dan Taman Nasional Tesso Nilo.

Korban manusia dan gajah dikhawatirkan terus berjatuhan jika konflik dibiarkan berlarut-larut. Gajah sumatera yang merupakan subspesies gajah asia ini hanya tinggal di Pulau Sumatera. Jumlahnya kini kurang dari 3.000 ekor. Sekitar 120 ekor di antaranya ada di blok Bukit Tigapuluh.

Sebagian besar gajah sumatera mati dibunuh manusia dengan cara diracun atau ditembak. Pembukaan hutan secara agresif untuk perkebunan juga telah merenggut 80 persen habitat gajah sumatera.

Direktur Jenderal Pengendalian Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori pernah mengingatkan pemerintah daerah dan BKSDA mengkaji lebih dalam upaya penanggulangan konflik gajah dan masyarakat. Baik Jambi maupun Riau termasuk daerah yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Satwa langka dan dilindungi membentuk habitat, seperti gajah sumatera dan harimau sumatera.

Menurut Darori, pemerintah daerah cenderung mengesampingkan keberadaan satwa liar dalam penataan kawasan.

Perlu ada penanganan konflik yang mempertimbangkan kebutuhan hidup satwa, setidaknya dengan mengembalikan area perlintasan satwa dilindungi sebagai kawasan konservasi. Satwa seperti gajah sumatera memerlukan ruang untuk tetap hidup. Jika habitatnya tidak diganggu, gajah tentu tak akan mencelakakan manusia.

(Irma Tambunan)

Selasa, 29 September 2009 | 04:15 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/0415240/gajah.sumatera.pun.perlu.ruang.hidup

1 comment:

Rani Octalia said...

Pembuatan koridor tampaknya hanya dan selalu menjadi wacana..
Pemda Jambi juga hanya mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan menjual hutannya ke pihak swasta...

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...